Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-hari pikuk itu dimulai Kamis pekan lalu. Ratusan kendaraan, ribuan orang, jutaan bendera, juga pamflet dan umbul-umbul tiba-tiba memenuhi ruang di sekeliling kita. Di jalan-jalan, di kantor, di tembok gedung, bahkan hingga di kamar tidur—lewat siaran televisi atau anak kita yang pulang dengan kaus bergambar partai politik di badan. Semua meneriakkan pesan yang sama: "Pilihlah saya: partai A, calon anggota legislatif X, nomor urut sekian."
Pemilu 2004 memang berbeda dengan pemilu sebelumnya: presiden dipilih langsung dan rakyat mencoblos tak hanya partai, tapi juga nama calon anggota legislatif. Masih ada pula pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Itulah sebabnya di tempat-tempat umum mendadak muncul nama dan gambar orang yang tak selalu kita kenal.
Meriah, hiruk-pikuk, gembira—mungkin menyebalkan. Tapi itulah harga demokrasi: jalan yang dipilih untuk menetapkan pemerintahan yang kuat dan dipercaya. Di ujungnya, kita berharap keadilan dan kesejahteraan ditegakkan. Semudah itukah? Barangkali tidak.
Pemilu 1999, yang diyakini merupakan pemilu paling demokratis selain Pemilu 1955, terbukti tak sepenuhnya melahirkan perangkat negara yang mumpuni: parlemen jadi sangkar koruptor, pemerintahan jadi peranti partai mengeduk keuntungan materiil. Janji-janji dalam kampanye menguap seiring berakhirnya pemilu.
"You campaign in poetry, you govern in prose," kata Mario Cuomo, Gubernur New York 1983-1994. Setelah tiga dasawarsa dikekang Orde Baru, kita terharu dengan Pemilu 1999, tapi tak menemukan "prosa"—metafora Cuomo untuk sebuah kekuasaan yang humanistis—dalam pemerintahan setelahnya.
Kita berharap "puisi" lahir dalam Pemilu 2004, dan pemerintahan setelahnya adalah sebuah kekuasaan yang humanistis. Harapan yang moga-moga tak terlalu muluk.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo