Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Tak Ada Kaus, Karung Pupuk pun Jadi

Modal cekak tak menghalangi calon anggota DPD bersiasat mencari dukungan. Jurus "meruwat" orang gila pun dikeluarkan.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Tak Ada Kaus, Karung Pupuk pun Jadi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kampanye tanpa kaus partai ibarat makan tanpa kerupuk. Tidak penting benar, tapi memang membuat renyah. Setidaknya itulah yang sedang dirasakan Petrus Sarijo, 43 tahun, seorang petani yang didaulat menjadi calon anggota legislatif daerah oleh komunitas petani di kawasan Pemalang, Jawa Tengah.

Sarijo sering merasa tidak enak hati jika para pendukungnya menanyakan atribut kampanye untuk upaya menaikkan popularitasnya. "Mana kausnya? Kampanye kok tidak bagi-bagi kaus." Tentunya ucapan ini terasa seperti "todongan" bagi calon anggota dewan perwakilan daerah (DPD) nomor 20 dari 54 calon di Jawa Tengah itu. "Saya sedih jika ada yang minta kaus," kata Sarijo.

Kesedihan warga Desa Pulisen, Boyolali, itu beralasan. Ia nyaris tak lagi punya modal untuk membeli kaus atau sekadar stiker kampanye. Jika dibandingkan dengan mantan Gubernur Jawa Tengah Soewardi, mantan Menteri Koperasi Subiakto Tjakrawerdaya, atau para calon anggota DPD lainnya di Jawa Tengah, Sarijo jelas bukan tandingan. Ia merasa tak cuma kalah "modal". Sarijo juga kalah beken.

Tapi, bagi para petani desa, Sarijo bukan orang baru. Sejak 1980-an, Sarijo telah bergelut di organisasi tani. Namanya menjulang hingga seantero kabupaten di Jawa Tengah. Wajar jika dalam sebuah pertemuan petani di Jawa, Sarijo didaulat untuk maju ke pencalonan. "Mereka juga menyiapkan ribuan KTP sebagai dukungan," tuturnya.

Mulanya, modal Sarijo Rp 150 juta. Uang sebanyak itu dikumpulkan dari honornya sebagai fasilitator pelatihan pertanian. Namun uang itu sudah tak jelas rimbanya. Kini hidup Sarijo sehari-hari bergantung penuh pada usaha istrinya sebagai pemilik toko kendaraan bermotor. Repotnya, ketika musim "jual kecap" tiba, Sarijo, yang lagi butuh biaya, justru nyaris tak punya uang untuk memodali pengadaan atribut kampanyenya.

Tapi Sarijo tak berkecil hati. Kelompok tani di 29 kabupaten di Jawa Tengah siap menyokongnya. Sarijo tinggal menjentikkan jari dan "klik", semuanya beres. Soal tim kampanye, misalnya, ayah tiga anak ini tak perlu bingung. Ada sejumlah relawan dari Komite Perjuangan Petani Jawa yang siap membantu mengkampanyekan dirinya. Termasuk membuatkan forum pertemuan untuk kampanye dirinya.

Selain mendapat kemudahan "berkampanye", Sarijo memperoleh dukungan logistik peralatan kampanye secara sukarela. Jangan bayangkan dalam bentuk paket kaus, pamflet, atau spanduk dari sebuah percetakan, dukungan itu berupa karung bekas pupuk urea yang disablon dengan gambar dirinya. "Semuanya dipasang pada saat kampanye," ujarnya.

Namun, berapa pun besarnya bantuan, tetap saja sang calon anggota DPD yang harus pintar-pintar menarik dukungan. Apalagi jika sang calon bermodal cekak. Djawahir Muhammad, contohnya. Seniman gaek Semarang ini sadar penuh membutuhkan modal besar untuk bersaing dengan para calon anggota DPD "papan atas" di Jawa Tengah.

Untuk maju dalam pencalonan DPD, jebolan Fakultas Pendidikan Seni Universitas Semarang ini dulunya menguras tabungan Rp 30 juta. Uang itu digunakan untuk mencari dukungan 6.000 KTP, persyaratan administratif, mobilitas, konsolidasi, dan pembuatan tetek-bengek peraga kampanye pemilu.

Uang tabungan itu tak seluruhnya miliknya. Sebagian lagi milik istri dan kedua anaknya. Yang bikin Djawahir tambah pusing, kini ia dihadapkan pada kebutuhan dana kampanye yang cukup besar. Jika memang terpaksa, mobil satu-satunya, sedan Mazda keluaran 1987, juga sebidang tanah di Jomblang, Semarang, akan dijual.

Meski demikian, lelaki kelahiran Semarang pada 14 Januari 1954 ini tak kehilangan ide untuk menarik dukungan. Salah satunya menggelar acara "Ruwatan Indonesia Gila" di Lapangan Simpang Lima, 24 Maret mendatang. Dibantu seorang paranormal, Djawahir akan "meruwat" orang gila yang berkeliaran di Semarang untuk disembuhkan. "Acara ini juga sekaligus kritik kepada elite politik yang gila urusan duniawi," kata Djawahir.

Masih ada lagi. Djawahir juga menyiapkan kegiatan bersih-bersih dengan mengumpulkan sampah plastik di jalan protokol Semarang. Juga membersihkan Sungai Berok yang sarat sampah.

Kegiatan kampanye ini tidak hanya murah, tapi juga nyeleneh. Upaya itu dimaksudkan agar masyarakat "tak lupa" dengan dirinya. "Saya akan dikenal sebagai calon anggota DPD yang tidak main uang," ujarnya. Soal mau memilih atau tidak, itu urusan nanti.

Widiarsi Agustina, Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus