Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Sumanto, dokter para tahanan politik di Pulau Buru, kembali dari Jakarta. Dan ia membawa oleh-oleh yang amat berarti: sebuah buku akupunktur.
Di Pulau Buru yang sepi obat itu, akupunktur adalah harapan. Tedja Bayu, seorang mantan tahanan politik yang ditahan di sana sepanjang 1970-1979, mengenang kondisi lingkungannya saat itu: ”Banyak tapol meninggal karena stres, penyakit kulit, busung lapar, atau penyakit lain.”
Di Pulau Buru, segalanya serba tipis. Ada masanya ketika tiap-tiap hari, Bayu dan beberapa temannya mendapat jatah 125 butir jagung. Supaya tidak lekas habis, ”Makannya ditusuki biting.” Banyak yang bertahan dengan makan segala hal. Makan kecoa, bahkan makan satu sarang tawon, tanpa peduli sengatan tawon-tawon pemiliknya. Miris, tapi itu membuat para tahanan sadar akan pentingnya kesehatan. ”Obat yang tersedia di klinik hanya obat batuk hitam (OBH). Sakit batuk pakai OBH, sakit kudis OBH, sampai disentri pun obatnya OBH,” tutur Bayu, kini 61 tahun.
Ya, hari itu Sumanto membawa buku teori akupunktur dalam bahasa Inggris. Pulau Buru sebenarnya memiliki dua dokter yang punya pengetahuan akupunktur: Sumanto dan Kapt. Sumerapi—keduanya selalu menularkan pengetahuannya kepada para tahanan. Setelah kedatangan buku itu, akupunktur menjadi sangat populer.
Akupunktur membutuhkan jarum dengan pangkal berbentuk parabola—tujuannya mendesak jaringan kulit masuk, menekan titik saraf tertentu. Dan mereka menemukan cara memperoleh alat itu. Satu kali Bayu dan temantemannya mendapat giliran membongkar muatan dari kapal di pelabuhan Namlea. Saat itulah mereka mencuri sling, gulungan kawat kapal yang dalamnya berisi kawat baja.
Mereka kreatif. Di Pulau Buru, jarum didapat dengan memotong-motong kawat baja. Di Salemba, Jakarta, para tahanan politik mengolah senar gitar nomor lima, senar yang biasa dipakai menambal panci, menjadi jarum. Pulau Buru dan Salemba sama saja. Tapi di Salemba, mereka mengadalkan perputaran tahanan dari Tangerang untuk mendapatkan buku-buku tentang akupunktur.
”Itu pun masih dalam aksara Tionghoa. Anak-anak muda Tionghoalah yang menyelundupkan buku itu dan menerjemahkannya untuk kami,” kata Putu Oka, mantan tahanan politik di Salemba. Untuk mempelajari titik akupunktur, Oka dan teman-temannya menggunakan kertas rokok atau merayu kepala unit untuk meminjamkan pensil. Kadang kala mereka juga menggunakan kain blacu bekas kantong terigu yang disulam gambar tubuh manusia. ”Kalau ada blacu, sebagian untuk dibuat celana, sebagian lagi untuk belajar.”
Di tahanan, Oka berkenalan dengan Lie Tjhan Sien, seorang dokter yang mahir akupunktur dan pernah belajar ilmu ini ke Korea. Tjhan Sien mengajak Oka mempelajarinya. ”Awalnya saya ragu. Buku yang diperbolehkan hanyalah buku agama,” kata Oka. Belum lagi penjagaan sangat ketat. Diskusi serius, bahkan berkumpul lebih dari dua orang, dilarang.
Putu Oka Sukanta kini seorang ahli herbal dan membuka praktek akupunktur. Ia lebih dikenal sebagai sastrawan. Pada 1966, saat ia baru 26 tahun, tanpa pengadilan Oka ditangkap dan menjadi tahanan politik. Selain berprofesi sebagai guru SMA, Oka aktif di Lekra, lembaga kebudayaan yang dianggap berhubungan dengan PKI.
Sedangkan Tedja Bayu sewaktu diangkut ke Pulau Buru merupakan mahasiswa Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada dan aktivis CGMI—tak menjadi ahli akupunktur. Ia hanya menggambar, menggandakan peta tubuh dan titik akupunktur dari buku yang dibawa Sumanto di kertas roti. Dengan peta titik akupunktur itu, pengetahuan akupunktur menyebar di Pulau Buru. Dari 18 unit, ada satu-dua orang yang amat mahir teknik pengobatan itu.
Utami Widowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo