Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERACIK tuak menjadi keseharian Katarina Megawati, 28 tahun, dari komunitas Buluso Rayo, Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara. Pada Jumat, 4 September lalu, misalnya, saat ia meramu tuak di satu tong besar di dapur rumahnya. Tong itu berdampingan dengan tempayan berisi pengasi, minuman adat setempat yang juga bikinan Katarina. Tak hanya piawai membuat pengasi dan arak, Katarina juga bisa membikin ciu. Kemampuan itu ia pelajari dari ibu dan kakak perempuannya. Sebab, di sana, perempuanlah yang banyak menjadi peramu minuman tradisional. “Tapi saya hanya bikin, enggak suka minum, he-he-he…,” ujarnya lewat sambungan telepon, Rabu, 9 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Katarina menjelaskan, hampir setiap rumah di daerahnya menyetok tuak dan pengasi. Namun, ketimbang untuk kebutuhan harian, penyediaan itu lebih bertujuan buat kepentingan tradisi. Misalnya untuk upacara kematian, kelahiran, syukuran, juga suguhan tamu. Dalam acara tersebut, tak jarang warga datang membawa buah tangan berupa minuman tradisional. Adapun bila kebetulan si empunya hajat kebetulan sedang kehabisan stok, ia tak segan meminjam kepada tetangganya. “Utang” itu nantinya dilunasi dengan pengasi atau tuak juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengasi dibuat dari bahan dasar ubi yang melalui proses fermentasi. Tanaman umbi itu dipilih yang sudah tua. Umbi yang sudah dimasak kemudian dicampur dengan ragi yang dibikin sendiri oleh Katarina. Proses membuat ragi itu berlangsung sekitar sebulan dengan bahan tumbukan beras dan rempah-rempah. Adonan itu kemudian disimpan di tempayan atau guci yang dipakai orang suku Dayak Bulusu secara turun-temurun.
Sayangnya, kekayaan tradisi itu kerap bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan sosial. Banyaknya kasus kriminal dengan pelaku habis menenggak minuman beralkohol berlebihan turut menjadi pemantik giatnya kampanye anti-minuman keras. Padahal, Raymond berkeyakinan, bila dimanfaatkan dengan baik, minol bisa menjadi obat.
Sementara pengasi di sana dianggap sakral, tuak dan ciu biasa diperjualbelikan. Katarina menyebutkan satu tuak yang dikemas dalam botol plastik 600 mililiter dia jual Rp 15 ribu. Sedangkan ciu kemasan botol plastik 450 mililiter ia hargai Rp 35 ribu. Dalam sekali proses produksi, Katarina bisa menghasilkan enam jeriken atau sekitar 30 liter. Sebagian minuman beralkohol alias minol itu dijual eceran, tapi ada juga yang diambil oleh pemborong dengan harga lebih murah. “Dijual ke luar kampung karena di sini hampir semua rumah jualan tuak dan ciu,” tuturnya.
Begitu juga Dani, pengemudi di salah satu rumah sakit swasta di Pontianak, Kalimantan Barat, yang bekerja sambilan sebagai peramu tuak berlabel Sagalas. Dani terpikir menjual tuak karena ingin minuman tradisional ini bersaing dengan minuman beralkohol lain, termasuk produk impor. “Saya ingin tuak tak punah ditelan zaman, karena selama ini kebanyakan hanya dipakai di acara adat seperti pernikahan dan perayaan panen,” ujarnya lewat panggilan telepon, Rabu, 9 September lalu.
Dani merintis usaha ini sejak tujuh tahun lalu, tapi baru mengantongi izin edar pada 2019. Dia membuat tuak dari fermentasi beras pulut dengan ragi. Awalnya, tuak bikinannya dikemas dengan plastik. Belakangan, Dani beralih ke botol beling yang dia beli di Surabaya agar tuak racikannya bisa lebih awet. Dalam sebulan, dia dua kali memproduksi tuak dengan kadar alkohol di bawah 5 persen. Dalam setiap proses, dia menghasilkan sekitar 100 botol tuak. Dani menjual Sagalas lewat jejaring pertemanannya dan media sosial seharga Rp 35-40 ribu.
• • •
ANTROPOLOG Universitas Indonesia yang meneliti minuman beralkohol, Raymond Michael Menot, mengatakan minol di Indonesia mesti ditinjau dari sudut pandang budaya dan kebiasaan masyarakat. Sejumlah daerah di Nusantara memiliki tradisi menggunakan minol dalam acara adat, seperti di kalangan suku Dayak, Kalimantan; dan Toraja, Sulawesi Selatan. Ada juga minuman keras yang menjadi bagian dari kebiasaan minum sehari-hari di beberapa daerah, terutama perkotaan. Misalnya lapen di Yogyakarta, ciu Bekonang di Sukoharjo, ciu Cikakak di Banyumas, sopi di Nusa Tenggara Timur, swansrai di Papua, serta sagoer di Sulawesi Utara.
Ihwal bagaimana sejarah menenggak minol menjadi kebiasaan dan tradisi, Raymond mengatakan hal itu belum terjawab sampai sekarang. Sebab, teknologi pembuatan tuak sudah lama ada di Cina ataupun di Barat, tapi tak terdeteksi waktunya. Raymond menjelaskan, bukti paling awal berada di Cina dari residu di guci tanah liat berumur 7.000 tahun sebelum Masehi. Bukti itu mengungkap sudah adanya minuman beralkohol dari proses fermentasi.
Di Indonesia, ada yang menyebutkan orang-orang mulai minum minuman keras pada masa penjajahan. “Sedangkan dalam sejarah Hindu di Indonesia, minuman itu lekat dengan ritual upacara kerajaan,” tuturnya, Ahad, 6 September lalu, melalui sambungan telepon. Nama minuman yang digunakan di satu daerah dengan yang lain di Indonesia pun mirip, seperti baram di Kalimantan dan brem di Bali. “Tapi, kalau menilik sejarahnya, yang agama lokalnya muncul lebih dulu itu Kaharingan di kesukuan Dayak, Kalimantan.”
Sayangnya, kekayaan tradisi itu kerap bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan sosial. Banyaknya kasus kriminal dengan pelaku habis menenggak minuman beralkohol berlebihan turut menjadi pemantik giatnya kampanye anti-minuman keras. Padahal, Raymond berkeyakinan, bila dimanfaatkan dengan baik, minol bisa menjadi obat. Arak Bali, misalnya, diklaim bisa mempercepat penyembuhan pasien Covid-19. “Kalau ini diteliti lagi, saya yakin di masa depan kita punya alternatif pengobatan. Tapi ya hal ini memang bertabrakan dengan urusan moral,” ucap Raymond, yang juga anggota Asosiasi Antropologi Indonesia.
Produksi dan peredaran minuman beralkohol di Indonesia terus menjadi polemik. Sejumlah daerah memagari urusan itu lewat peraturan yang di antaranya melarang peredaran minuman tersebut. Selain Yogyakarta, yang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2015 yang mengatur peredaran minuman beralkohol, Bupati Tuban di Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang melarang masyarakat menjual dan mengonsumsi tuak di tempat umum dan terbuka.
Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat juga tengah menggodok Rancangan Undang-undang Minuman Beralkohol. Rancangan wet yang masuk daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2020-2024 itu diusulkan tiga partai politik: Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional. Pada pasal 5 draf RUU yang belakangan beredar lagi di media sosial, termuat larangan produksi minuman beralkohol semua golongan, termasuk yang tradisional seperti sopi, arak, sagoer, juga tuak. Minuman beralkohol, bila RUU itu jadi disahkan, hanya boleh dikonsumsi untuk kepentingan terbatas di tempat yang diizinkan regulasi. Daerah pun bakal tak bergigi karena tak lagi berwenang mengatur peredaran minol.
Raymond Michael Menot./YouTube
Berpuluh tahun sebelum ini, Presiden Soeharto lebih dulu meneken Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1977 yang membagi minuman beralkohol ke tiga golongan: A untuk minuman dengan kadar etanol 1-5 persen, B (6-20 persen), dan C (21-55 persen). Keputusan itu juga menetapkan produksi minol harus seizin Menteri Perindustrian dengan pembatasan lokasi edar. Kemudian, pada 2015, Menteri Perdagangan meneken aturan yang melarang minol golongan A dijual di minimarket dan toko kelontong.
Peneliti arak Tuban, Ismail Surendra, mengatakan minuman keras, termasuk yang tradisional di Indonesia, sangat lekat dengan politik. Ini terutama bisa dilihat dari kebijakan daerah, seperti Tuban, yang mengalami pergeseran pencitraan wilayah. Dulu daerah itu disebut sebagai “Bumi Ronggolawe” dan menjadi pelabuhan utama Kerajaan Majapahit. Bahkan sejarah mencatat Ronggolawe, legenda asal Tuban, pernah mengusir pasukan Mongol dengan cara memabukkan tentara yang dipimpin Jenghis Khan itu memakai arak. Sedangkan saat ini Tuban lebih dikenal sebagai “Bumi Wali” karena memiliki banyak destinasi wisata religi, dari masjid hingga makam pemuka agama Islam, termasuk Sunan Bonang.
Arak Tuban pernah menjadi primadona di pesisir utara Jawa. Ismail mengenang momen belasan tahun lalu, saat ia masih berusia sekolah menengah pertama dan mulai menenggak arak Tuban. Ketika itu, arak Tuban bahkan punya strata. Arak dibagi berdasarkan kadar etanolnya, dari yang rendah sampai yang bisa membikin kliyengan. “Dulu arak menjadi salah satu komoditas yang dikenal, bahkan diproduksi besar-besaran dan ada koperasi di desa untuk membantu penjualannya,” katanya, Rabu, 9 September lalu. Sayangnya, Ismail melanjutkan, seiring dengan waktu, peningkatan kuantitas produksi itu tak dibarengi kualitas. Cara memasak dan kualitas airnya juga sudah berbeda. “Sekarang pun bicara arak di sana sudah sangat sensitif,” tuturnya. Bahkan warga tak segan melapor kepada polisi bila mendapati ada tetangganya yang memproduksi arak di rumah.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo