Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ahli Bedah Kewenangan MK dalam Sengketa Pemilu

Mahkamah Konstitusi bisa mengoreksi pembuktian kuantitatif di tingkat kabupaten/kota.

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Saksi dari Tim Kampanye Na­­sional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Anas Nashikin (kiri), Candra Irawan, dan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Perbesar
Saksi dari Tim Kampanye Na­­sional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Anas Nashikin (kiri), Candra Irawan, dan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

JAKARTA - Para ahli yang hadir dalam sidang lanjutan sengketa pemilihan presiden membedah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) bisa ditangani Mahkamah Konstitusi sepanjang gugatan atas masalah tersebut tak diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Eddy-sapaan akrab Edward-MK bisa memutus sengketa tersebut dalam kerangka penanganan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). "Kalau tidak diterima oleh Bawaslu, persoalan TSM itu bisa diterima oleh MK, tapi konteksnya dalam PHPU," kata dia.

Sebagai ahli untuk tim hukum Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Eddy membeberkan konteks kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Menurut dia, pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.

Kecurangan TSM, menurut Eddy, terjadi apabila dampaknya sangat signifikan terhadap hasil pemilihan. Secara kuantitatif, dia menerangkan, kecurangan pemilu yang TSM terjadi apabila terjadi di 50 persen tempat pemungutan suara. "Kalau kita mau pakai metode kuantitatif, harus ada pembuktian di 50 persen plus 1 TPS," ujarnya.

Lebih dari itu, menurut Eddy, juga harus terbukti bahwa kecurangan tersebut dilakukan dengan niat sengaja. "Kecurangan itu pasti by intention, tidak mungkin karena kealpaan. Sehingga, niat memang harus dibuktikan. Lalu, terstruktur dan sistematis ini yang kemudian menimbulkan dampak masif," ucapnya.

Pakar hukum dari Universitas Islam As-Syafiíyah, Heru Widodo, mengatakan MK berwenang menangani sengketa pemilu jika putusan Bawaslu masih menyisakan persoalan setelah penanganan sengketa.

Mahkamah Konstitusi, menurut Heri, bisa melakukan koreksi terhadap pembuktian kuantitatif pelanggaran pemilu di tingkat kabupaten atau kota. Untuk itu, MK harus menyertakan bukti untuk menguji sejauh mana KPU tidak melaksanakan putusan dan rekomendasi Bawaslu serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. "Bisa saja MK masuk ke ranah yang mempengaruhi hasil, sepanjang signifikan," ujarnya.

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi mendalami kewenangannya memutus perselisihan hasil pemilihan umum yang terstruktur, sistematis, dan masif kepada para ahli yang dihadirkan dalam sidang lanjutan sengketa pemilihan presiden.

Hakim konstitusi Suhartoyo mengatakan kewenangan lembaganya seolah-olah dibatasi pada persoalan sengketa hasil pemilu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. "Kalau sudah ada pembatasan demikian, apakah memang sudah tertutup (bagi MK) untuk menangani sengketa hasil pemilu yang TSM?" ujar dia dalam persidangan di Gedung MK, kemarin.

Suhartoyo berpendapat kehadiran lembaga-lembaga yang berwenang dalam menangani pelanggaran pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilu, Sentra Penegakan Hukum Terpadu, dan peradilan umum, seolah-olah menghilangkan kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil pemilu. "Kalau tidak diidentifikasi, action-action itu ada pengaruhnya dalam menentukan hasil," ujar dia.

Pertanyaan soal kewenangan juga terlontar dari hakim konstitusi lain, Aswanto. Menurut dia, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Bawaslu dianggap sebagai lembaga superbody yang memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran pemilu. "Apakah ada hubungannya perubahan-perubahan kewenangan itu dengan pembagian proses penanganan tadi, baik dengan sengketa proses maupun sengketa hasil?" ujar dia.

Sementara itu, hakim konstitusi Saldi Isra mempertanyakan posisi pembuktian saintifik dalam proses pembuktian perkara. Ia mempertanyakan seberapa besar peluang pembuktian saintifik dapat digunakan untuk menciptakan keadilan substantif ketika dihadapkan pada fakta hukum. "Seberapa besar pengaruh scientific evidence dalam pembuktian jika dihadapkan dengan legal evidence," Saldi menanyakan.

Menjawab Saldi, Eddy menjelaskan bahwa bukti saintifik hanya berperan sebagai bukti sekunder yang harus disandingkan dengan bukti-bukti lain. Dalam memutus perkara, menurut dia, hakim MK mempertimbangkan bukti primer, seperti surat, keterangan saksi, keterangan berbagai pihak, sebagai bukti utama. "Apakah yang sekunder bisa meyakinkan, itu dikembalikan kepada pertimbangan hakim," ujarnya.

BUDIARTI UTAMI PUTRI | ARKHELAUS WISNU

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus