Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matanya merem. Bocah raksasa itu tampak tengah tidur pulas. Diameter kepalanya lima meter. Sungguh amat besar. Rambutnya yang agak lebat dibelah tengah. Pipinya yang tembam itu retak-retak.
Fantasi kita, kepala itu jatuh dari langit, lalu menggelundung dan nyemplung ke lubang tanah galian sedalam dua meter. Atau kepala itu menyembul, sementara badan, kaki, dan kakinya sesungguhnya masih berada jauh dalam bumi. Yang jelas, anak itu seperti tengah bermimpi. Anak itu seolah-olah mendengkur. Kita yang berdiri di depannya hanya setinggi hidungnya. Kita seolah-olah liliput yang tak berani mengusiknya. Takut ia terbangun. Takut membuyarkan mimpinya. Takut ia menangis.
Patung yang terbuat dari tanah liat di halaman Taman Budaya Yogyakarta itu menjadi karya yang menarik perhatian pengunjung Art Jog 2011, Juli lalu. Bahkan polisi sempat datang menyaksikan "kehebohan" itu.
Karya Eddi Prabandono, 47 tahun, itu memang menggedor. Banyak karya gigantik dibuat perupa kita, tapi karya Eddi terasa lain. Karya itu terasa mampu membawa kita ke alam imajinasi yang kaya. Patung yang diberi nama Luz Series #5 itu bertolak dari nama anaknya: Luz Prabandono Miyagi, hasil pernikahannya dengan wanita Jepang, Nana Miyagi.
Ide membuat serial ini muncul saat dia mengikuti artist residence di studio program NAP, Awaji City, Hyogo, pada 2007. Anak dan istrinya diboyong dari Okinawa. Saat anaknya tertidur, dia mendapatkan ide, membuat karya yang menampilkan imaji seorang bayi berusia delapan bulan, berpipi chubby, dengan mata terpejam, dan mulut yang sedikit terbuka.
Pada 2008, dia membuat lukisan di atas kanvas. Karya itu dia namai Luz Series #1. Setahun kemudian, lahir seri kedua berupa patung aluminium, lalu menyusul yang ketiga, patung dari tanah liat. Ketiga karya itu ia pamerkan secara tunggal di ÂSIGIarts, Jakarta, Agustus 2009.
Tempo melihat, Luz seri kelima adalah salah satu karya seni rupa kita yang paling menarik pada 2011. Untuk membuat seri kelima ini, Eddi mengangkut berkubik-kubik tanah liat dari Kasongan, Bantul, yang dikenal sebagai pusat gerabah di Yogyakarta. Selama dua pekan, dia dibantu 15 orang dari Djoeroe Toekang, sebuah studio patung milik Badari Mustaq, seniman patung di Kasihan, Bantul. "Seminggu dikonsep di studio, seminggu dibuat di lokasi," katanya.
Awalnya, ia khawatir karyanya ini akan dirusak cuaca: retak karena terpanggang terik matahari atau rusak akibat air hujan. Namun di sinilah tantangannya. Ia merawat patung seperti merawat anaknya sendiri. Saat panas terik, patung itu ia semprot air. Sebaliknya, saat hujan mulai rintik, buru-buru ia menutupinya dengan plastik. "Tiap pagi saya bersihkan," ujarnya.
Eddi lahir di Pati, Jawa Tengah, 18 Juli 1964. Ia sempat kuliah di Desain Interior dan Pertamanan di Politeknik Jawa Dwipa dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas 17 Agustus 1945. Keduanya di Semarang.
Eddi tumbuh dalam keluarga kontraktor. Ia juga pernah bekerja di dunia kontraktor. Bekerja dalam tim dengan alat berat adalah kesehariannya. Ia kemudian kuliah di Jurusan Grafis Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Mulanya ia berkarya dengan kanvas. Namun itu tak berlangsung lama. Eddi lalu beralih ke instalasi dan patung. "Lukisan dan kertas tak lagi mampu menampung ide-ide saya," katanya.
Sejak 2008, lahirlah karya-karya tiga dimensi. Green, Green, Green Go Ahead, pada 2009, adalah karya instalasi pohon bonsai yang ditanam di atas troli, lengkap dengan sepasang spion di gagang pendorongnya. Karya itu merupakan idiom agar orang mulai mengawasi kelestarian lingkungan.
Pada Biennale Jogja 2009, Eddi membuat Closet (Toilet), yakni pipa setinggi sembilan meter dengan puncaknya berupa closet. Menurut Eddi, karya itu merupakan gambaran sulitnya mendapatkan toilet bersih dan layak di sepanjang Jalan Malioboro. "Eh, sudah dapat, ternyata mampet lagi."
Ia mengaku sejak 2008 membuat karya-karya yang cenderung "bodoh" dan fun. "Saya tak peduli, bahkan dengan karya stupid," katanya. Yang terpenting, karyanya bisa diingat orang dan berhasil menyampaikan pesan.
Lewat patungnya, Eddi menyajikan karya yang mampu mengganggu benak. Tiba-tiba ada kepala bayi raksasa tergeletak dan tidur terus-menerus. Eddi tengah mempersiapkan Luz Series #6, yang akan dipamerkan di Art Street, Singapura, pada 12 Januari. Ia berharap karya itu adalah Luz Series terakhirnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo