Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAYANGAN berita televisi itu mengejutkan Inspektur Jenderal Oegroseno, Ahad dua pekan lalu. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara itu menyimak 18 terduga pelaku perampokan Bank CIMB Niaga di Medan, pertengahan Agustus lalu, diberitakan tertangkap. Tiga di antaranya tewas, beberapa lainnya terluka tembak.
Diberitakan, operasi penangkapan di wilayah Deli Serdang dan Tanjungbalai itu dilakukan oleh aparat kepolisian. Oegro makin terkejut setelah dimintai konfirmasi: Kepala Kepolisian Resor Deli Serdang justru tak tahu apa-apa. ”Saya minta dicek,” kata Oegro kepada Tempo .
Akhirnya, laporan bersambung televisi tentang perkembangan penangkapan membuat Oegro tak tenang. Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian itu memilih turun ke lapangan. Di sebuah rumah sakit tempat beberapa korban tembak dirawat, Oegro tahu penggerebekan dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Pasukan ini, menurut Oegro, memang sedang berada di Medan untuk memburu jaringan kelompok teroris. Pada saat bersamaan, Kepolisian Daerah Sumatera Utara juga sedang mengejar pelaku perampokan Bank CIMB Niaga yang merenggut nyawa Brigadir Satu Polisi Immanuel Simanjuntak, 28 tahun.
Karena berbeda kasus, tak ada koordinasi antara Kepolisian Daerah dan Detasemen Khusus. Detasemen juga tidak memberitahukan bahwa Ahad petang itu akan ada operasi pengejaran teroris di wilayah Sumatera Utara. Oegro dikabarkan gusar akan aksi yang tidak dikoordinasikan itu. ”Kapoldanya agak tersinggung,” kata Iskandar Hasan, juru bicara Kepolisian.
Sumber Tempo di Kepolisian menyatakan operasi yang dilakukan Detasemen Khusus bersifat rahasia. Selama ini, hampir di setiap operasinya, Kepala Detasemen memang tidak memberi tahu kepala kepolisian daerah setempat. ”Seperti sudah menjadi standar operasi yang tidak tertulis,” katanya.
Detasemen Khusus Antiteror juga jarang melibatkan pasukan wilayah. Kecuali untuk operasi berskala besar, seperti penggerebekan teroris di Temanggung dan Solo, Jawa Tengah, tahun lalu. Pasukan wilayah harus dalam kendali Detasemen Khusus—yang belum tentu paham situasi lokal.
Akibatnya, tak jarang terjadi kesalahpahaman di lapangan. Tapi, ”Umumnya, setelah diberi pengertian, mereka bisa memaklumi,” kata sumber Tempo, yang tidak membantah sikap eksklusif pasukan Detasemen Khusus. Karena berasal dari sekian banyak unsur di Kepolisian, Detasemen dianggap paling elite. Anggotanya orang-orang pilihan. Sampai sekarang, jumlah mereka sekitar 400 personel.
Anggota Detasemen Khusus Antiteror menjalani latihan di Pusat Pendidikan Reserse Kepolisian di kawasan Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, serta Pusat Latihan dan Pendidikan Antiteror Nasional di kompleks Akademi Kepolisian, Semarang. Instruktur mereka didatangkan dari berbagai negeri.
Pasukan yang dibentuk pada 2003 ini juga mendapat suplai dana yang tidak sedikit. Melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik, pemerintah Amerika Serikat mengucurkan Rp 150 miliar pada awal pembentukan Detasemen. Dengan dana melimpah, pasukan ini bisa membeli senjata canggih, seperti senapan serbu Colt M4, senapan penembak jitu Armalite AR-10, dan shotgun Remington 870.
Setiap anggota Detasemen dilengkapi peralatan individual dan tim, alat komunikasi personal, GPS, kamera pengintai malam, alat penyadap dan perekam mikro, pesawat interceptor, serta mesin pengacak sinyal. Unit penjinak bom dilengkapi peralatan pendukung, seperti detektor logam terbaru, sarung tangan dan masker khusus, rompi dan sepatu antiranjau darat, serta kendaraan taktis peredam bom.
Sayang, di hampir setiap operasinya, pasti jatuh korban jiwa. Terduga pelaku terorisme tak jarang ditembak mati di tempat (lihat boks ”Tewas di Tangan Densus”). Mungkin karena itu, menurut Ketua Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Usman Hamid, operasi yang dilancarkan Detasemen Khusus sering tidak mengindahkan hak asasi manusia. ”Metode yang digunakan mirip gaya Orde Baru,” katanya.
Tudingan Usman dibantah Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Menurut Bambang, musuh yang dihadapi polisi adalah kelompok yang pernah berlatih militer di Afganistan. Mereka fasih menggunakan berbagai jenis senjata api, membuat bom, hingga taktik penyerangan di berbagai medan. ”Mereka diindoktrinasi bahwa polisi itu kafir yang darahnya halal,” kata Bambang.
KEBERADAAN Komisaris Jenderal Gorries Mere dalam operasi perburuan kelompok teroris di Medan mendapat sorotan. Jabatan Gorries selaku Kepala Badan Narkotika Nasional, menurut Usman, tak ada hubungannya dengan terorisme. ”Buat apa Gorries di sana?” Usman bertanya. ”Kalau dia memang dibutuhkan, kembalikan saja ke Densus Antiteror.”
Sumber Tempo menyatakan Gorries tak bisa dilepaskan dari Detasemen Khusus 88 Antiteror. Gorries sejak awal terlibat dalam pembentukan pasukan ini. Ia dianggap mumpuni dalam hal terorisme, dan memiliki jaringan luas di dunia internasional. Karena kemampuan inilah, meski tak masuk struktur Detasemen Khusus, ia selalu dilibatkan dalam operasi pengejaran.
Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, meski sebuah operasi intelijen bersifat rahasia, seharusnya kepala kepolisian daerah diberi tahu. Hanya, yang seharusnya memberi tahu bukan Kepala Detasemen Khusus, melainkan Kepala Kepolisian sebagai penanggung jawab langsung sebuah operasi. ”Sebab, dalam sukses dan gagalnya sebuah operasi, Kapolda ikut bertanggung jawab,” kata Hendro kepada Tempo.
Gorries Mere tak mau berpolemik mengenai keberadaannya di Detasemen Khusus, atau tentang tidak adanya koordinasi dengan kepala kepolisian daerah dalam operasi pengejaran teroris. ”Semua kami lakukan untuk kepentingan negara,” katanya.
Erwin Dariyanto, Cornila Desyana, Ramidi
Tewas di Tangan Densus
BISA dibilang tak ada operasi Detasemen Khusus 88 yang tak membawa korban jiwa. Mereka yang tewas kebanyakan terkait dengan terorisme, kendati ada pula polisi dan warga biasa.
9 November 2005, Batu
Dr Azahari dan dua anak buahnya tewas dalam operasi Densus 88 di Batu, Jawa Timur.
7 Agustus 2009, Temanggung
Lima orang tewas dalam operasi Densus di Desa Temanggung, Jawa Tengah. Tiga dari lima orang itu, yakni, Ibrohim, Dani Dwi Permana, dan Ikwan Maulana, diduga ikut aksi peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta, 17 Juli 2009.
8 Agustus 2009, Bekasi
Aher Setiawan, 28 tahun, dan Eko Joko Sarjono alias Eko Peyang, 27 tahun, tewas dalam penggerebekan oleh Densus di kompleks Nusaphala, Jati Asih, Bekasi, Jawa Barat.
17 September 2009, Surakarta
Noor Din Moh. Top dan tiga pengawalnya tewas dalam operasi penggerebekan di Kampung Kepoh Sari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta.
9 Oktober 2009, Ciputat
Syaifuddin Zuhri dan M. Syahrir tewas dalam operasi penyergapan oleh Densus di sebuah rumah di Ciputat, Tangerang, Banten.
5 Maret 2010, Aceh
Satu orang yang diduga sebagai teroris, dua warga, dan tiga anggota Brimob tewas dalam operasi Densus di Kampung Kambeu, Desa Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar, Aceh.
9 Maret 2010, Pamulang
Tiga orang berinisial YI, BR, dan H tewas dalam penggerebekan di Pamulang, Tangerang, Banten. Mereka diduga terkait dengan kelompok teroris jaringan Aceh.
12 Mei 2010, Jakarta dan Cikampek
Lima orang tewas dalam operasi Densus di Cawang, Jakarta Timur, dan Cikampek, Jawa Barat.
14 Juni 2010, Klaten
Yuli Karsono tewas tertembak dalam operasi antiteror Densus di Dusun Cungkrungan, Blangwetan, Klaten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo