Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sjamsu Rahardja
EPISODE ”No Reservations” celebrity chef Anthony Bourdain sempat menampilkan kehidupan masyarakat dan restoran di kota-kota industri Amerika Serikat yang meredup. Buffalo, Detroit, Rochester, dan Syracuse merupakan kota-kota industri pada zaman keemasan produk manufaktur seperti Carrier, Kodak, General Motors, dan General Electrics. Simbol baby boomers itu rontok diterjang produk Jepang, Meksiko, dan Cina. Lalu mereka terempas krisis ekonomi global 2008.
Sebelas ribu kilometer barat daya West Coast Amerika, kegelisahan serupa mulai dialami Indonesia. Mengalami surplus cukup lama, banyak yang khawatir pada defisit neraca perdagangan Indonesia US$ 129 juta pada Juli lalu. Anjuran ”mewaspadai” pertumbuhan impor bermunculan. Artikel-artikel bernuansa ”import phobia” ditulis di media massa, mengaitkan lonjakan impor sebagai bencana terhadap perekonomian dalam negeri. Popularitas merkantilisme keperkasaan ekonomi Indonesia harus tecermin dalam kemampuan mengakumulasi surplus neraca perdagangan—kembali bangkit.
Pentingkah sikap reaktif terhadap peningkatan impor pada Juli lalu itu? Postur neraca pembayaran luar negeri RI secara keseluruhan kokoh. Kuatnya arus masuk modal asing membuat surplus komponen neraca finansial. Kalaupun ada risiko koreksi arus modal asing jangka pendek, risiko keluar modal asing (sudden reversal) seperti di akhir 2008 cukup kecil. Salah satu alasannya, perekonomian global terus mengalami pemulihan meskipun platonik dan tersedak-sedak.
Kita juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa dari Januari hingga Juli 2010, RI telah mengakumulasi surplus neraca perdagangan US$ 9,6 miliar. Kedua komponen itu membuat cadangan devisa Indonesia meningkat. Paling tidak, cadangan yang dikuasai Bank Indonesia pada awal Agustus 2010 mencapai US$ 78,8 miliar. Dengan kata lain, defisit neraca perdagangan Indonesia US$ 129 juta pada Juli bisa dibilang relatif kecil.
Mari kita bandingkan dengan neraca perdagangan beberapa negara di kawasan Asia. Akibat menguatnya nilai tukar nominal, kurs mata uang Thailand menguat yang membuat defisit perdagangan US$ 939 juta pada Juli 2010. Sementara itu, besarnya investasi asing mendorong pertumbuhan ekonomi Vietnam. Akibatnya, neraca perdagangan negara itu hingga Agustus 2010 mengakumulasi defisit US$ 8,1 miliar
Dari kacamata teori ekonomi makro, peningkatan impor Indonesia belakangan ini sebenarnya wajar. Impor meningkat sejalan dengan pertumbuhan permintaan agregat domestik atau penguatan riil nilai tukar. Prospek pertumbuhan perekonomian domestik telah mengundang peningkatan investasi, khususnya foreign direct investment. Pada 2009 saja, rasio investasi terhadap produk domestik bruto Indonesia mencapai angka tertinggi sejak krisis 1998, yakni 31 persen di atas rasio Malaysia, Filipina, dan Thailand. Peningkatan investasi inilah pendorong peningkatan impor barang modal yang mencapai 20 persen total impor Indonesia.
Lalu apakah kita harus diam saja melihat lonjakan impor? Dalam rezim devisa bebas yang kita anut, solusi termudah untuk mengurangi laju impor adalah sebuah paradoks. Impor dapat berkurang dengan membiarkan lonjakan impor menjadi penghambat penguatan nilai tukar rupiah. Lalu pada gilirannya akan mengurangi pertumbuhan impor, terutama kategori barang ”konsumtif”.
Meskipun begitu, ada alasan valid dari seruan untuk menekan impor, yakni melindungi kinerja industri dalam negeri. Industri manufaktur dalam negeri menyerap 12 persen total tenaga kerja dan menyumbang 28 persen dari produk domestik bruto nasional. Penelitian Dani Rodrik, Ricardo Hausmann, dan Jason Huang dari Universitas Harvard menunjukkan kemampuan mengembangkan industri manufaktur yang memiliki nilai tambah dan inovatif berpengaruh terhadap tren pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Toh, solusi masalah industri dalam negeri bukan dengan menekan impor. Yang harus dilakukan adalah pembenahan tuntas sisi penawaran dengan menambah infrastruktur fisik dan memangkas tingginya biaya transaksi. Akses terhadap energi dan rantai logistik yang efisien juga kunci bagi revitalisasi pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri.
Kita perlu ingat bahwa 70 persen impor Indonesia adalah bahan baku bagi industri dalam negeri dan barang modal yang terkait dengan investasi. Walau begitu, kategorisasi tersebut sebetulnya kurang relevan. Sebab, bagaimanapun, impor merupakan hak dan input bagi konsumen, produsen, dan eksportir Indonesia.
Menerapkan kebijakan pembatasan impor bisa mendatangkan masalah. Sebab, sulit mengkuatifikasi dampak ekonomisnya. Pembatasan impor secara ”amatiran” juga menyebabkan biaya tinggi dan membuka peluang korupsi. Bisa dibayangkan, berapa ”biaya administif” yang harus dibayar dunia usaha jika daftar barang impor yang harus diinspeksi di pelabuhan bertambah? Berapa biaya tambahan jika setiap kontainer berisi barang yang sama perlu diurus izinnya? Ujung-ujungnya, biaya yang dibebankan ke masyarakat tidak sebanding dengan manfaat bagi industri.
Lebih celaka, jika pembatasan impor justru menambah biaya dan mengurangi fleksibilitas produsen Indonesia guna memperoleh input dan teknologi penting buat daya saing produk mereka. Maka janganlah kita melindungi dada dengan menembak kaki sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo