Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

All Eyes on Papua: Tiga Kerugian Jika Hutan Adat Tak Dikembalikan ke Suku Awyu dan Moi

Dua suku di Papua mengguat pemerintah yang memberikan izin kepada dua perusahaan untuk mendirikan kebun sawit di hutan adat

4 Juni 2024 | 13.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perwakilan masyarakat suku Awyu Papua dan suku Moi menggelar doa dan ritual adat di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, 27 Mei 2024. Mereka menuntut Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum dan membatalkan izin perusahaan sawit untuk melindungi hutan adat di Papua. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan keduanya kini sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komaruddin, mengatakan hutan adat tersebut harus dikembalikan ke pemilik aslinya, yakni Suku Awyu dan Suku Moi. “Harusnya hutan adat tersebut dikembalikan kepada masyarakat adat selaku pemilik hutan adat tersebut,” ujar Asep ketika dihubungi, Selasa, 4 Juni 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Asep, konflik ini terjadi lantaran proses pelepasan hak adatnya tidak melibatkan masyatakat adat selaku pemilik dari hutan adat tersebut.

Suku Awyu menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari Suku Awyu. 

Sementara sub Suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. 

Asep mengungkap tiga kerugian yang akan muncul apabila konflik ini terus berlanjut. Keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS ini dapat merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi.

Potential lose-nya, jika terus dibiarkan akan berdampak pada, pertama, kehilangan ruang hidup bagi masyarakat adat yang selama ini hidup bersama alam,” tuturnya. 

Kedua, hutan adat itu juga merupakan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, sehingga masyarakat adat bisa kehilangan biodiversitas yang ada dalam hutan alam tersebut.

Ketiga, kata Asep, pembukaan hutan yang sangat luas ini akan mengakibatan pelepasan emisi karbon. “(Ini) yang akan menambah kontribusi pelepasan karbon Indonesia yang akan memperparah krisis iklim,” ucapnya. 

Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer. Hal ini dapat memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air.

Belakangan ini, media sosial tengah diramaikan dengan mengunggah poster dan tagar bertajuk ‘All Eyes on Papua’. Tagar itu ramai digunakan sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat Papua yang tengah berjuang untuk menolak pembangunan perkebunan sawit di Papua.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus