Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGATUR lalu lintas udara menghubungi pilot AirAsia QZ 7911: turunkan ketinggian dari 38 ribu ke 25 ribu kaki. Terbang dari Denpasar menuju Bandung, pada pukul 14.30, Kamis empat pekan lalu, pesawat sedang melintasi Madin–titik navigasi udara di atas Laut Jawa, sebelah utara Semarang.
Mendekati Cirebon, di peta navigasi berkode CA, sistem peringatan pencegah tabrakan antarpesawat—TCAS—berbunyi. "Traffic… traffic…." Pertanda buruk, artinya di depan AirAsia ada pesawat lain yang akan membentur. Pilot Kapten Achmad Soerdjo memperhatikan radar. Seperti tertulis dalam laporan pengaduan ke pengatur lalu lintas udara Bandar Udara Soekarno-Hatta, Boeing 737-300 Sriwijaya Air mendekat dari arah barat dengan ketinggian 30 ribu kaki.
Tak lama, TCAS kembali menyalak. Kali ini: "Climb… climb…." Penanda pesawat Sriwijaya di radar kokpit, yang semula kuning, berganti jadi merah. Bahaya semakin dekat: tabrakan segera terjadi. Kapten Achmad secepat mungkin menarik tuas kemudi. Air Asia kembali menanjak. Nyawa penumpang dua pesawat terhindar dari petaka.
Direktur Keselamatan dan Keamanan AirAsia Sonny M. Sasono serta Direktur Keselamatan dan Keamanan Sriwijaya Air Toto Soebandoro membenarkan peristiwa itu. "Ini tergolong insiden serius," kata Sonny. Anehnya, seperti tertulis dalam pengaduan, petugas pengatur lalu lintas tak mengetahui insiden yang disebut near-missed ini. Kopilot AirAsia, Prasetya Fontey, yang melaporkan kejadian itu, hanya disodori permintaan maaf.
Menurut Sonny, maskapainya sepanjang tahun ini sudah mengirim empat laporan ke pengatur lalu lintas udara Soekarno-Hatta. Satu insiden yang juga cukup serius terjadi pada 13 April lalu. Ketika itu, AirAsia QZ 7780 siap lepas landas. Kepada Kapten Yohannes Ferru Maulanda, tertulis dalam laporan, pemandu sudah memberi izin. Pesawat berancang-ancang mengudara dan sudah melaju 100 meter di landasan.
Tiba-tiba, petugas pengawas dengan nada panik memerintahkan pesawat membatalkan takeoff. Ferru langsung mengerem pesawat. Tak lama, ia mendengar di radio penghubung, pilot pesawat Garuda melaporkan pesawatnya, yang hendak mendarat, kembali ke udara. Jika Ferru terlambat mengikuti instruksi petugas, "Bisa saja terjadi tabrakan dengan Garuda," ujar Sonny.
Berdasarkan data yang diperoleh Tempo, hingga paruh tahun ini, setidaknya ada 40 pengaduan maskapai yang mengeluhkan pengaturan lalu lintas udara. "Ada sejumlah insiden serius, ada juga insiden kecil," kata seorang sumber.
Selain soal near-missed, maskapai mengeluhkan pengaturan pendaratan yang kurang baik oleh petugas. Pada pertengahan April lalu, misalnya, pesawat Emirates dari Dubai akan mendarat di Cengkareng. Pilot memutuskan menolak mendarat ke jalur yang ditetapkan petugas. "Menurut pilot, angin saat itu terlalu kencang. Kalau dipaksakan, pesawat bisa ke luar landasan," kata Untari Dewi, Airport Services Officer Emirates.
Pilot kemudian meminta jalur lain. Tapi petugas ngotot pesawat harus mendarat melalui jalur tersebut. Akhirnya, pilot kembali mengudara dan berputar-putar selama 45 menit. Setelah kekuatan angin berkurang, barulah pilot kembali meminta izin mendarat. "Saya sudah melapor ke ATC (air traffic control), tapi mereka bilang tak ada masalah."
Masalah lain, sejumlah maskapai mengeluhkan kualitas radio komunikasi di Soekarno-Hatta. Pilot Lion Air, Arie Susanto, melaporkan radio pengawas pada frekuensi 124,35 sempat diterobos frekuensi radio komersial pada 24 Mei lalu. Frekuensi itu ternyata mengalami gangguan sejak malam hingga pagi selama tujuh jam.
Sonny Sasono bercerita, terganggunya sistem komunikasi di Soekarno-Hatta bukan hal baru. Sewaktu ia masih terbang, pada 2005, alat komunikasinya juga terjebol gelombang radio lain. "Saya mendengar lagu dangdut dari radio amatir," ujarnya.
Pelaksana Harian General Manager Senior Air Traffic Services Bandara Soekarno-Hatta Mulya Abdi mengatakan belum mengetahui laporan near-missed yang terjadi antara AirAsia dan Sriwijaya. Ia menilai mustahil petugas pengatur tak mengetahui kejadian seperti itu. "Yang pasti, tak mungkin itu kesengajaan," katanya.
Vice President Air Traffic Services Soekarno-Hatta Sutrisno Jaya Putra juga mengaku belum mengetahui kejadian yang diadukan maskapai. Sutrisno mengatakan near-missed belum tentu terjadi karena kelalaian petugas pemandu lalu lintas udara. Bisa juga itu karena cuaca atau kelalaian pilot sendiri.
Sutrisno mengakui peralatan yang digunakan petugas ATC sudah cukup berumur. Tapi ia menilai peralatan itu masih layak digunakan. Sutrisno mengatakan semua insiden kecil atau serius pasti ditindaklanjuti air traffic service. "Kami tetap mengutamakan keamanan," ujarnya.
DARI ketinggian sekitar 60 meter, di dalam menara pengatur Soekarno-Hatta, tujuh petugas sibuk mengatur lalu lintas udara ketika Tempo berkunjung, Kamis siang pekan lalu. Sebagian mengenakan headset untuk berkomunikasi dengan pilot. Seorang petugas beberapa kali melongok bergantian ke arah utara dan selatan, mengatur pesawat takeoff dan landing di landasan sepanjang 3.600 meter. Pengawasan saat ini hanya dilakukan dari sisi utara karena peralatan di bagian selatan belum berfungsi. "Agustus nanti bakal dioperasikan peralatan untuk bagian selatan," kata Mulya Abdi.
Kesibukan juga terasa di ruang monitor di samping menara. Sekitar 70 petugas menghadapi monitor, mengawasi jalur penerbangan. Tak ada lagi petugas mengutak-atik telepon seluler atau asbak rokok di aula besar itu, seperti yang ditemukan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan saat berkunjung Februari lalu.
Mulya mengakui, sebelum kunjungan Dahlan Iskan, ada satu-dua petugas merokok di ruang yang seharusnya steril itu. "Sekarang tidak ada lagi," katanya. Para petugas hanya merokok di ruang istirahat, yang terpisah dari ruang monitor. Di ruang ini disediakan televisi dan sofa, lengkap dengan mesin penyedia kopi, gratis. Bahkan di ruang istirahat menara disediakan kursi pijat.
Mulya mengklaim unit ATC paling diperhatikan oleh manajemen bandara. Memang, di sebelah ruang istirahat disediakan ruang tidur dengan sembilan tempat tidur bertingkat dua untuk petugas lelaki. Di bagian lain, tersedia kamar khusus perempuan. Aturannya, petugas bekerja maksimal dua jam diselingi istirahat 45 menit. "Kami memberi fasilitas terbaik untuk petugas ATC," ujar Mulya.
Data air traffic service yang salinannya diperoleh Tempo menunjukkan Soekarno-Hatta masih kekurangan personel. Baru sekitar 59 persen kebutuhan personel tersedia. Sumber Tempo menyebutkan kekurangan tenaga membuat beban kerja petugas kian berat. Saat jam sibuk, misalnya, satu petugas bisa mengawasi belasan hingga 20-an pesawat.
Sumber itu mengatakan para petugas juga tak pernah lagi menjaga kemampuannya melalui latihan menggunakan simulator. Bukan tak ada, simulator yang telah dibeli teronggok di satu ruangan karena tak bisa digunakan. "Ruang simulator selalu dikunci," katanya.
Corporate Secretary Angkasa Pura II Hari Cahyono membantah data tersebut. Menurut dia, pengaturan petugas ATC sudah cukup baik sehingga beban kerja tak berlebihan. "Data dari mana? Saya tidak sependapat disebut kurang," ujarnya. Tapi Hari mengakui ketersediaan tenaga ATC tak sebanding dengan perkembangan bisnis penerbangan. "Jangankan ATC, pilot pun kurang."
Vice President Air Traffic Services Soekarno-Hatta Sutrisno Jaya Putra mengatakan pelatihan terus diberikan kepada petugas ATC, meski tak menggunakan simulator. "Tak ada kewajiban menggunakan simulator," katanya. Aturan itu sebenarnya disebutkan di regulasi keamanan penerbangan sipil bagian 69 dan diadopsi di Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 tahun 2009.
Toh, Sutrisno berkilah para petugas tetap menjalani uji kinerja tiap enam bulan untuk memperpanjang lisensi mengatur lalu lintas udara. Bedanya, uji kinerja digelar langsung di monitor pemantau pesawat dengan didampingi sejumlah instruktur. "Ini standar yang kami jalani." Sutrisno menyatakan tak ada standar jumlah lalu lintas yang harus diawasi petugas.
Prinsip kerja ATC sejatinya jelas: melayani pesawat yang lebih dulu datang. Pengecualian hanya untuk kondisi darurat. Nyatanya, prinsip itu tak melulu berlaku. Salip-menyalip di udara sudah kerap terjadi. Kepada Tempo, sejumlah petinggi maskapai mengeluhkan sikap petugas ATC yang mendahulukan pesawat yang tiba belakangan.
Seorang manajer maskapai swasta lokal bercerita, tiap bulan ia harus menyetor lebih dari 30 tiket penerbangan ke petugas ATC supaya tak ditaruh di urutan buncit. Mendarat duluan berarti menghemat avtur. Toh, harga tiket itu tak seberapa besar dibandingkan dengan harga avtur. "Pernah ada sekumpulan petugas ATC presentasi. Mereka sanggup membantu maskapai kami menghemat avtur," kata manajer ini.
Mulya Abdi membantah kabar itu. "Tak mungkin mengubah urutan begitu saja," ujarnya. Tapi ia mengakui petugas ATC yang memiliki kartu anggota Indonesia Air Traffic Controllers Association bisa membeli tiket dengan harga diskon.
Presiden asosiasi itu, I Gusti Ketut Susila, membantah ada pembagian tiket gratis. "Tunjukkan kepada kami siapa penerimanya, pasti kami tindak," katanya.
Pramono, Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo