Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 20 Oktober 2004 malam, setelah tiga kali mengundurkan jadwal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan kabinetnya. Waktu menjelang tengah malam ketika ia—didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla—menyebutkan 36 pembantunya, yang terdiri atas 3 menteri koordinator, 18 menteri departemen, 13 menteri negara, dan 2 pejabat setingkat menteri.
Yudhoyono menamai jajaran menteri pemerintahannya itu Kabinet Indonesia Bersatu. Menurut Jusuf Kalla, kabinet itu merupakan hasil kompromi banyak pihak. "Berulang kali disusun, beberapa nama dibongkar pada menit-menit terakhir," kata Kalla, yang kini terpilih kembali menjadi wakil presiden mendampingi Joko Widodo, kepada Tempo, Jumat tiga pekan lalu.
Menurut Kalla, Yudhoyono menginginkan kabinetnya diisi banyak profesional. Karena diperlukan pula keterwakilan daerah, agama, juga suku, keduanya sepakat menyusun matriks. Waktu itu Presiden dan wakilnya juga sepakat 60 persen kabinet diisi orang nonpartai. Sisanya baru diberikan sebagai jatah partai penyokong.
Di antara para calon, menurut Kalla, seseorang bisa saja memenuhi semua kriteria. Misalnya Freddy Numberi, yang memenuhi kolom matriks dari pensiunan tentara, profesional, mewakili Indonesia timur, plus beragama Kristen. Ia pun diputuskan menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Ada pula Mari Elka Pangestu, yang memenuhi unsur perempuan dan profesional, yang kemudian ditunjuk menjadi Menteri Perdagangan.
Menurut Kalla, jatah partai juga diwajibkan memenuhi aneka syarat. Di antaranya integritas dan kompetensi. "Kalau tidak profesional, kami minta ganti," ujarnya.
Aneka kriteria itu membuat penentuan jatah partai tak mudah dilakukan. Dari 15 kursi, jatah terbesar diberikan kepada Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan, yang mencalonkan sejak awal. Tapi beberapa partai kemudian juga bergabung. Apalagi beberapa calon juga muncul dari jalur lain: kedekatan dengan Yudhoyono dan Kalla.
Matrikulasi yang sama dipakai Yudhoyono dalam menyusun kabinet pada periode kedua pemerintahannya, ketika ia berduet dengan Boediono. Kali ini ia menambah prosesnya, yaitu melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan. Calon-calon diundang ke Cikeas untuk mengikuti seleksi. Mereka diminta meneken pakta integritas dan diwawancarai soal visi dan misi masing-masing kalau menjadi menteri. Lolos dari tahap ini, mereka wajib ikut pemeriksaan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa, di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Ujian inilah yang dipakai sebagai alasan oleh Yudhoyono ketika mencoret Nila Anfasa Moeloek meski guru besar itu sudah mengikuti wawancara sebagai calon Menteri Kesehatan.
Menurut anggota staf khusus presiden, Heru Lelono, model seleksi ini dilakukan karena situasi pada 2009 berbeda dengan lima tahun sebelumnya, ketika Yudhoyono berduet dengan Kalla. Waktu itu Demokrat hanya memiliki tujuh persen kursi DPR. Agar pemerintahannya efektif, Yudhoyono memilih politik akomodatif. Adapun pada 2009, Demokrat menguasai DPR.
Agustina Widiarsi, Kartika Candra, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo