Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Manuver Lompat Pagar

Kubu pro-Jokowi di partai Ka'bah mulai bergerilya. Yakin bisa mengerek suara di luar pemerintahan.

4 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK biasanya Mbah Moen gelisah. Kiai sepuh ini mondar-mandir di ruang depan kediamannya pada Sabtu dua pekan lalu. Rupanya, tamu yang dia nanti tak kunjung tiba. "Beliau tak sabar menunggu kami," kata Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa kepada Tempo. "Biasanya kami yang menunggu." Suharso sowan ke Pondok Pesantren Al-Anwar, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, bersama politikus muda PPP asal Rembang, Muhammad Arwani Thomafi.

KH Maemoen Zubair, yang biasa disapa Mbah Moen, 86 tahun, adalah Ketua Majelis Syariah PPP. Fatwanya menjadi acuan penentu kebijakan strategis organisasi, termasuk arah politik partai setelah pemilihan presiden. Kabar hasil pemilihan presiden dan wakil presiden itulah yang membikin Kiai Maemoen gelisah. Penetapan resmi oleh Komisi Pemilihan Umum memang baru digelar pada 22 Juli. Tapi kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah luas tersiar dari tabulasi data mayoritas pemilih.

Menurut Suharso, Kiai Maemoen berpesan supaya PPP berperan membuat negara stabil demi mewujudkan amar ma'ruf nahi munkar. Jadi partai mesti menerima apa pun keputusan KPU dan Mahkamah Konstitusi. Dia menambahkan, Kiai Maemoen bahkan berpesan kepada Sekretaris Jenderal Romahurmuziy agar PPP tidak beroposisi. "Artinya, harus di dalam pemerintahan," ujarnya. Romahurmuziy tak menjawab ketika dimintai konfirmasi.

Petuah Kiai Maemoen menjadi "senjata" bagi Suharso untuk menarik gerbong PPP ke pihak presiden terpilih. Suharso bersehati bersama Romahurmuziy, Wakil Ketua Umum Emron Pangkapi, Ketua Majelis Pakar Barlianta Harahap, Ketua Majelis Pertimbangan Zarkasih Noor, dan Wakil Ketua Umum Lukman Hakim Saifuddin, yang kini Menteri Agama.

Pentolan kubu penyokong Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di partai ini antara lain Ketua Umum Suryadharma Ali, Wakil Sekretaris Jenderal Syaifullah Tamliha, dan Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz.

Perseteruan kedua kubu menyeruak setelah pemilihan umum legislatif pada 9 April lalu. Penurunan perolehan suara PPP dan kedatangan Suryadharma dalam kampanye Partai Gerakan Indonesia Raya di Senayan pada 23 Maret menjadi pemicunya. Suryadharma diyakini akan menyeret PPP menyokong Prabowo.

Kubu Suryadharma dinilai menyalahi hasil Musyawarah Kerja Nasional II di Bandung pada 7-8 Februari 2013. Dalam forum tertinggi di bawah muktamar yang dihadiri pengurus pusat dan provinsi itu, muncul tujuh tokoh yang dipandang layak didukung sebagai calon presiden atau wakil presiden. Di antaranya Suryadharma, Jokowi, dan Kalla. Tak ada nama Prabowo.

Kubu Suharso merapat ke Jokowi, yang diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Suharso mengklaim disokong 24 pengurus provinsi. Mantan Menteri Perumahan Rakyat itu juga dekat dengan Jusuf Kalla semenjak menjadi eksekutif di Bukaka, grup usaha milik keluarga Kalla.

Konflik dua kubu diwarnai saling pecat. "Yang ngadem-ngademin Mbah Maemoen,"­ kata Djan Faridz pada Kamis dua pekan lalu. Toh, kubu pro-Jokowi kalah dalam rapat pimpinan nasional di Hotel Aston, Jakarta, Mei lalu. "Kami gagal meyakinkan bahwa Pak Jusuf Kalla yang bakal mendampingi Jokowi," ucap Lukman Hakim. Waktu itu partai penyokong utama Jokowi—PDIP, NasDem, dan Partai Kebangkitan Bangsa—belum memutuskan calon wakil presiden. Baik Lukman maupun Suharso menampik soal uang sebagai musabab kekalahan.

Nah, Suryadharma kemudian tersandung setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dia sebagai tersangka kasus korupsi proyek penyelenggaraan haji 2012-2013. Mundur sebagai Menteri Agama, dia menghilang dari peredaran sejak sebelum kampanye pemilihan preside pada 9 Juni. Kubu lawannya aktif berkampanye. "Kami menetralkan kampanye hitam," kata Suharso.

Jokowi-Kalla kemudian ditetapkan sebagai pemenang dengan 53 persen suara pada 22 Juli lalu. Namun hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum itu digugat oleh pasangan Prabowo-Hatta ke Mahkamah Konstitusi, Jumat dua pekan lalu. Mereka menolak hasil pemilu yang mereka nilai sarat kecurangan dan manipulasi.

Sebelumnya, Jokowi menyatakan siap merangkul partai bekas seteru. "Kenapa tidak?" ucapnya. Bahkan Kalla memastikan PPP bakal bergabung. "Tambahannya bisa Golkar, Demokrat, dan PPP," kata Kalla kepada Tempo pada 18 Juli lalu.

Bandul politik berubah. Sekretaris Majelis Pakar PPP Ahmad Yani, anggota tim sukses Prabowo, membuka peluang partainya pindah haluan ke Jokowi. Wakil Ketua Umum Achmad Dimyati Natakusumah menyeberang ke kubu Suharso. "Kalau diajak, PPP akan bergabung," katanya.

Barlianta menilai kesalahan Suryadharma tak terobati. "Sehabis Lebaran, kami bentuk panitia muktamar. Suryadharma­ sudah pasti berhenti," katanya kepada Tempo. Ia mengacu pada hasil Mukernas II Bandung bahwa muktamar dipercepat dari semula Mei 2015 menjadi sebulan setelah pemilihan presiden.

Suharso mengajukan alternatif lain, yakni diadakan mukernas untuk menunjuk pelaksana tugas ketua umum dan muktamar tetap digelar pada 2015. "Supaya jelas lebih awal posisi PPP dalam pemerintahan baru." Ia menyatakan mayoritas pengurus provinsi siap lompat pagar, di antaranya Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Gorontalo. Suharso memastikan gerakannya akan digeber mulai awal bulan ini.

Pengurus partai di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur punya pendapat berbeda. Mereka menyatakan ingin berada di luar pemerintahan. Menjadi partai pemerintah sejak 2001, menurut mereka, justru membuat suara PPP melorot terus. "Saya melihat manuver Mas Suharso itu tak etis," ujar Ketua PPP Provinsi Yogyakarta Syukri Fadholi. Ketua PPP Jawa Timur Mussyafak Noer menambahkan, "Semestinya dipercepat pembicaraan tentang koalisi." Tapi mereka sepakat meminta Suryadharma segera mundur.

Sekretaris PPP Jawa Barat Yusuf Puadz menyatakan menunggu mukernas untuk mengevaluasi dukungan terhadap Prabowo. Sikap lebih tegas muncul dari Sulawesi Selatan setelah Jokowi-Kalla memperoleh 71,42 persen suara di sana. Ketua PPP setempat, Amir Uskara, menyatakan ingin ada evaluasi dukungan terhadap Prabowo. "Kami mendukung jika banyak kader yang ingin penggantian ketua umum," ujar Amir.

Di antara ingar-bingar urusan lompat pagar atau bertahan itu, Djan Faridz memastikan sikap politik partainya tak berubah. "Tadi malam Pak Suryadharma bilang, kami partai oposisi. Ini keputusan partai," katanya Kamis dua pekan lalu. Ia mengklaim 22 dari 33 pengurus provinsi solid, walau ada beberapa petinggi yang bermain. "Namanya juga usaha, tapi kelihatan kalau kotor," ujar Djan.

Ia tak yakin kubu Suharso mampu mempercepat muktamar untuk menendang Suryadharma, lalu menggeser PPP ke Jokowi. Kalau kelompok lawan kuat, peleng­seran sudah terjadi dalam Mukernas III di Bogor pada akhir April lalu.

Menurut Syaifullah Tamliha, persoalan di PPP muncul karena ada kader yang ngebet ingin menjadi menteri. "Mereka kader oportunis," ucapnya kepada Tempo. Ia menuturkan Suryadharma memang harus diganti karena sudah dua periode menjabat ketua umum. Bosnya itu pun perlu berfokus menjalani proses hukum. "Tapi harus melalui jalur konstitusional," kata Syaifullah.

Ia sepakat ditunjuk salah satu wakil ketua umum menjadi pelaksana tugas sebelum muktamar—yang digelar paling lambat Juli 2015. Sikap politik terhadap pemerintah yang akan datang akan dipertimbangkan ketua umum baru. Tapi Syaifullah memberi sinyal: "Pilihan untuk oposisi mungkin lebih baik bagi partai."

Jobpie Sugiharto, Linda Trianita, Aisha Shaidra, Wayan Agus Purnomo (jakarta), Anang Zakaria (Yogyakarta), Rofiuddin (Semarang), Edwin Fajerial (Surabaya), Risanti (Bandung), Ardiansyah Razak Bakri (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus