Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kami Lebih Siap Menghadapi Omicron

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan pemerintah lebih siap menghadapi penyebaran Omicron. Apa strateginya?

1 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Budi Gunadi Sadikin menyebutkan Presiden Joko Widodo khawatir terjadi lonjakan jumlah kasus akibat varian Omicron.

  • Reagen untuk mendeteksi varian Omicron sulit dicari.

  • Budi Gunadi Sadikin menyatakan Indonesia cukup tahan menghadapi penyebaran Omicron.

SEJAK virus corona varian Omicron terdeteksi di negara lain pada akhir November 2021, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin enam kali menggelar rapat khusus dengan Presiden Joko Widodo. Ia terus melaporkan perkembangan penyebaran galur tersebut ke berbagai negara. Hingga 1 Januari 2022 sudah ada 136 orang terinfeksi varian terbaru Covid-19 ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budi menyatakan pemerintah belajar banyak dari pengalaman menghadapi varian Delta, yang sempat merontokkan sistem kesehatan di berbagai wilayah. Menangkal penyebaran Omicron, pemerintah menambah durasi karantina bagi pelancong dari luar negeri. Juga menerapkan tes pengurutan genom untuk mendeteksi pasien positif Covid-19 yang terkena Omicron. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mantan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara itu juga melawat ke Cina untuk mencari mesin tes pengurutan genom ke sebuah perusahaan bioteknologi di Shenzhen. “Penambahan alat tes akan mempercepat pendeteksian Omicron,” katanya. 

Pada Jumat, 31 Desember 2021, Budi Gunadi Sadikin menerima wartawan Tempo Abdul Manan, Friski Riana, Hussein Abri Dongoran, dan Raymundus Rikang di kantornya. Selama sekitar dua jam, ia memberikan penjelasan tentang perkembangan penyebaran varian Omicron dan kesiapan pemerintah menghadapinya.

Seberapa siap kita menghadapi varian Omicron?
Belajar dari kasus varian Delta, kali ini kami setidaknya lebih siap menghadapi Omicron. Tempat tidur di rumah sakit sudah tersedia hampir 400 ribu dan 30 persen di antaranya khusus untuk perawatan Covid-19. Saat ini terisi sekitar 1.400 saja. Bila jumlah kasus melonjak sampai 70 kali lipat, kami masih punya buffer ruang perawatan. Obat antivirus juga kami kejar, mudah-mudahan Januari sudah datang. Kami juga sudah membagikan mesin oksigen ke rumah sakit. Alat genome sequencing juga sudah dibeli.

Apa yang perlu diwaspadai dari varian Omicron?
Badan Kesehatan Dunia (WHO) melihat tiga hal, yakni daya tular, tingkat keparahan, dan kemampuan mengelabui kekebalan tubuh. Omicron terbukti memiliki kecepatan penularan dan kemampuan menghindari imunitas. Tingkat keparahannya sejauh ini tergolong ringan, tapi belum konklusif. Namun saya tetap menjelaskan kepada Presiden mengapa kita harus cepat merespons ini.

Seperti apa penjelasan Anda kepada Presiden?
Pada 28 November atau empat hari setelah WHO menyatakan Omicron sebagai variant of concern, saya langsung memberi tahu Presiden Jokowi. Waktu itu yang terkena baru 128 orang di 13 negara. Beberapa kali rapat terbatas, Omicron sudah menyebar ke mana-mana. Terakhir saya melapor ke Presiden pada 26 Desember lalu sudah ada 115 negara dan 194 ribu kasus.

Apa tanggapan Presiden?
Beliau cukup khawatir jika terjadi kenaikan kasus lagi sehingga menjadi lebih hati-hati sekarang. Presiden juga cukup kesal dengan banyaknya karantina yang longgar. (Baca: Cara Satgas Covid-19 Membebaskan Pejabat dari Kewajiban Karantina)

Mitigasinya seperti apa?
Saya bilang ke Presiden, kita harus cepat karena banyak warga Indonesia bepergian ke luar negeri. Kebanyakan datang dari wilayah yang sudah ditemukan varian baru itu, seperti Eropa, Hong Kong, dan Israel. Beberapa negara meningkatkan durasi karantina, bahkan ada yang lockdown. Akhirnya kami memilih untuk memperpanjang masa karantina menjadi 10 hari. 

Banyak kasus penyelewengan karantina, salah satunya pasien Omicron yang lolos.
Pasien tersebut positif lalu meminta tes pembanding yang hasilnya dinyatakan negatif. Pasien boleh mengajukan tes pembanding. Namun, kekeliruannya, seharusnya ada dua tes. Hasil positif yang sebelumnya diuji dengan sistem genome sequencing dan hasilnya keluar positif Omicron. Kami tes lagi beberapa hari kemudian, hasilnya sudah negatif lagi. (Baca: Gurihnya Bisnis Hotel Karantina Covid-19) 

Benarkah kita kekurangan mesin tes genom dan reagen kit untuk mendeteksi Omicron?
Kami punya 12 mesin di laboratorium. Kami sedang jalan untuk memperoleh 18 mesin tes genom baru yang akan datang pada Februari 2022. Akan kami kirim alat itu ke laboratorium di Sumatera sampai Papua. Stok reagen kit juga masih cukup sampai 30 hari dan sudah beli lagi.

Bagaimana Anda memperoleh alat itu di tengah permintaan global yang melonjak?
Alatnya tidak susah dicari. Cuma reagen-nya mahal dan diincar negara lain, seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang menghadapi lonjakan jumlah kasus Omicron. Kami akhirnya membeli alat sekalian reagen untuk memudahkan kampus yang akan mengoperasikannya.

Kami mendapat info ada reagen dalam negeri yang sedang disiapkan?
Sifatnya masih rahasia. Kami ingin membuat sendiri untuk membangkitkan industri kesehatan dalam negeri. Kami belajar dari kelangkaan oseltamivir ketika ledakan varian Delta. Susahnya minta ampun mencari obat itu. Presiden ingin industri kesehatan kita mandiri. Tak jadi masalah jika harga lebih mahal 10-15 persen, tapi ada trickle down effect seperti pembukaan lapangan kerja.

Bagaimana dengan program vaksin booster?
Ada sejumlah skenario yang sedang kami kaji. Pemberian vaksin juga akan dilakukan dengan basis risiko, misalnya para lanjut usia. Dari segi stok sangat mencukupi karena vaksin yang sudah datang sebanyak 431 juta dosis dan yang disuntikkan baru sekitar 279 juta. Jadi kami masih punya stok 150 juta dosis.

Apa hasil riset mengenai pemberian booster?
Kami minta untuk meneliti vaksin Sinovac karena jarang ada penelitian soal merek itu. Sejauh ini hasil yang baik ditunjukkan oleh vaksin yang platformnya sama-sama mRNA. (Baca: Buram Agenda Dosis Ketiga) 

Kementerian Kesehatan juga mengadakan survei serologi. Apa hasilnya?
Lebih dari 80 persen masyarakat sudah memiliki antibodi. Yang menerima vaksin dari jumlah itu baru sekitar 40 persen. Kita setidaknya lebih tenang karena kekebalan masyarakat yang terbentuk sudah lebih tinggi.

Apakah kondisi kekebalan itu menyebabkan Indonesia tak mengalami gelombang ketiga?
Antibodi paling baik adalah kombinasi antara imunitas dari infeksi varian Wuhan dan vaksinasi. Itu menjelaskan kenapa Indonesia dan India saat ini cukup tahan dengan penyebaran Omicron, tak seperti Amerika dan Inggris yang cepat vaksinasi sebelum gelombang Delta. Jadi kalau sembuh dari infeksi lalu menerima vaksin, itu seperti booster yang menaikkan kadar antibodi.

Dengan indikator kekebalan itu, apakah pandemi ini sedang mengarah ke endemi?
Saya mesti menunggu dan melihat kondisi setelah penularan varian Omicron. Saya juga akan memantau perkembangan di India. Mereka lebih dulu mendeteksi varian baru itu, tapi angka kasusnya tidak naik. Dugaan awal, India sama dengan Indonesia yang ketularan varian Delta dulu baru vaksinasinya kencang.

Pandemi hampir berlangsung dua tahun. Apa pelajaran penting yang Anda petik?
Pandemi menjadi momentum mereformasi sektor kesehatan. Layanan kesehatan primer di pusat kesehatan masyarakat dan layanan sekunder di rumah sakit perlu diperbaiki. Fasilitas layanan kesehatan itu perlu disebar lebih merata ke daerah-daerah. Rasio tenaga kesehatan juga masih sangat kurang sehingga perlu ditingkatkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus