Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah kementerian dan lembaga sempat menolak beberapa pasal di RPP Bakamla.
Pungutan liar di atas laut mencapai Rp 5,5 triliun per tahun.
Tak akan menghapus kewenangan armada patroli di lembaga lain.
SUARA Presiden Joko Widodo naik ketika memimpin rapat kabinet terbatas pada Ahad, 16 Desember lalu. Hari itu, Jokowi memanggil sejumlah menteri dan pemimpin lembaga negara untuk membahas rancangan peraturan pemerintah tentang keamanan laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama resmi rancangan itu cukup panjang: Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia. Para pejabat sering memendekkannya menjadi RPP Bakamla.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rupanya nama pendek ini menyimpan sejumlah masalah. Seperti perkataan Presiden yang mengeluhkan para pembantunya lamban menyelesaikan rancangan aturan ini. “Seharusnya sudah selesai lama,” kata Jokowi seperti ditirukan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia pada Sabtu, 22 Desember lalu.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Laksamana Madya TNI Aan Kurnia di kantor Bakamla RI, Jakarta, 7 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Presiden terlihat kesal karena ia mengusulkan rancangan aturan ini sejak Januari 2021. Dalam aturan ini, Jokowi ingin urusan keamanan laut berada di bawah koordinasi Bakamla. Selama ini, urusan pengamanan laut berada di banyak lembaga: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, dan polisi air.
Rancangan itu sebetulnya mandat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Menurut regulasi itu, Bakamla bakal menjadi koordinator operasi pengawasan wilayah perairan Indonesia yang melibatkan lima kementerian dan lembaga lain yang memiliki armada patroli laut.
Mereka adalah Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Kementerian Perhubungan, Korps Kepolisian Air dan Udara Badan Pemeliharaan Keamanan Kepolisian RI. Ada juga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta TNI AL.
Terpusatnya urusan koordinasi keamanan laut sebetulnya sudah diakomodasi melalui Keputusan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Bakamla. Sebelumnya, sejak 2005, namanya Badan Koordinasi Keamanan Laut yang menyederhanakan pemeriksaan dalam patroli laut oleh Komando Pelaksana Operasi Bersama di Laut sejak 1972.
Masalahnya, karena sudah tercantum dalam undang-undang, perlu aturan turunan berupa peraturan pemerintah agar aturan ini menjadi acuan teknis pelaksanaan pengamanan laut. Jokowi memerintahkan penyusunan segera rancangan aturan ini setelah bertemu dengan para pengurus Indonesia National Shipowner Association (INSA) pada 2019.
Menurut Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan INSA Zaenal Hasibuan, mereka mengeluhkan penegakan hukum di laut berupa penahanan yang hanya berdasarkan dugaan. Penahanan kapal, kata Zaenal, menambah ongkos produksi karena barang terlambat di tujuan. “Harusnya biarkan saja kapal lewat, penegakan hukum biar kepada pemiliknya,” ucapnya.
Kepada Jokowi, para pengusaha kapal juga meminta agar urusan pemeriksaan selesai sebelum kapal menarik sauh untuk berlayar. Penahanan kapal di laut membuat pengusaha harus membayar penalti keterlambatan kepada penyewanya.
Menurut Zaenal, izin berlayar dari syahbandar semestinya menjadi pedoman lembaga-lembaga yang melakukan patroli bahwa kapal tersebut tak terindikasi melakukan pelanggaran. Mekanisme tersebut sejalan dengan rezim International Maritime Organization yang menempatkan otoritas Kementerian Perhubungan sebagai pemeriksa. “Yang kami butuhkan adalah mekanisme yang sederhana dan organ yang mengerti kebutuhan kalangan usaha,” tuturnya.
Pemerintah agaknya menerima dan mengakomodasi keluhan itu. Menurut Laksamana Madya Aan Kurnia, Rancangan Peraturan Pemerintah Keamanan Laut akan menyederhanakan birokrasi pemeriksaan kapal-kapal pengangkut. “Nanti akan lebih ringkas,” ucapnya.
Sebelum merumuskan rancangan aturan ini, pemerintah mengundang dua peneliti Universitas Indonesia, Yetti Komalasari dan Dhini Purnamasari, untuk memberikan saran ilmiah. Keduanya menulis dalam jurnal Australia, Journal of Maritime, pada Agustus 2021 yang kesimpulannya memperkuat keluhan INSA.
Yetti dan Dhini meneliti proses angkut kapal dan operasinya di laut selama tiga tahun. Dalam artikel berjudul “Beban Biaya dalam Proses Pemeriksaan Kapal”, keduanya memaparkan kerumitan yang dialami para pengusaha dalam mengirim barang, termasuk pungutan liar di tengah laut atas nama patroli keamanan laut.
Menurut dia, banyak kalangan usaha yang terpaksa menyetor upeti kepada petugas agar kapal mereka bisa beroperasi ke tempat tujuan tepat waktu. Atas publikasi itu, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mengundang Yetti guna memaparkan temuan mereka.
Yetti mengaku belum mendalami lebih rinci seberapa masif praktik pungutan liar di laut tersebut. “Dari kajian INSA, pungutan liar di laut mencapai Rp 5,5 triliun per tahun,” ujarnya.
Draf Rancangan Peraturan Pemerintah Keamanan Laut paling akhir bertanggal 10 November 2021. Rancangan ini memuat 38 pasal mengenai mekanisme patroli, integrasi sistem informasi, serta penegakan hukum. Sekitar 29 wakil kementerian dan lembaga yang dilibatkan selama proses pembahasan memberi sejumlah catatan dalam rapat-rapat yang difasilitasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Seorang petinggi lembaga yang mengikuti pembahasan rancangan itu menyebutkan pembahasan rumusan pasal ataupun judul rancangan peraturan pemerintah acap kali berjalan alot. “Draf sudah berubah tiga kali setelah tujuh kali rapat,” tuturnya.
Salah satu pasal yang mendapat sorotan adalah keharusan petugas dan sarana patroli kementerian atau lembaga berganti atribut menjadi Bakamla. Pasal itu belakangan dihapus atas masukan wakil kepolisian.
Merunut analis kebijakan utama bidang kepolisian air Badan Pemelihara Keamanan Polri, Brigadir Jenderal Sjamsul Badhar, atribut lambung kapal dan seragam tak perlu berubah karena sudah melekat di instansi masing-masing. “Yang perlu menjadi prioritas adalah koordinasi pengawasan dan penegakan hukum di laut,” katanya.
Polisi juga sempat keberatan ihwal keharusan kementerian atau lembaga menerima setiap hasil tangkapan Bakamla. Menurut Sjamsul Badhar, keharusan itu bisa diterima jika Bakamla menemukan cukup bukti pelanggaran.
Syarat peristiwa itu disebut pelanggaran, kata Sjamsul, setelah melewati gelar perkara bersama instansi terkait dengan jenis pelanggarannya. “Keharusan mengidentifikasi bukti permulaan perlu dipertegas lantaran ada sejumlah dugaan pelanggaran yang tak bisa diproses karena terbentur unsur pembuktian,” ujarnya.
Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Sriyadi sempat menjelaskan pandangan yang mereka sampaikan saat pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Keamanan Laut. Namun ia menolak penjelasannya dikutip. “Kami tak ingin membuat pernyataan ke luar, khawatir bersinggungan dengan kementerian dan lembaga lain,” ucapnya.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Ditjen Bea dan Cukai Sudiro punya sikap serupa. “Sebaiknya kami tidak berkomentar. Prinsipnya kami sejalan dengan kemauan pemerintah. Jika rancangan peraturan itu disahkan, itu yang akan kami jalankan,” tuturnya. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Julius Widjojono tak merespons pesan Tempo hingga Jumat, 31 Desember lalu.
Sumber lain yang mengetahui perdebatan rancangan peraturan ini mengatakan reaksi penolakan juga tampak dari wakil kementerian dan lembaga lain. Beberapa di antara mereka mempersoalkan penyusunan rancangan peraturan ini yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Udang-undang tersebut hanya memberi mandat kepada pemerintah untuk melahirkan peraturan presiden, bukan peraturan pemerintah. “Sempat ada yang melontarkan pernyataan dalam rapat rancangan peraturan pemerintah ini bentuk penyelewengan hukum,” katanya. Mayoritas kementerian dan lembaga juga khawatir rancangan peraturan ini bakal menyerahkan sepenuhnya kewenangan pengawasan laut kepada Bakamla.
Laksamana Madya Aan Kurnia menolak anggapan itu. Menurut dia, rancangan peraturan pemerintah mengenai Bakamla ini tak sedikit pun mengambil alih kewenangan kementerian dan lembaga lain. Proses penyidikan nanti tetap diserahkan kepada setiap instansi sesuai dengan jenis pelanggaran.
Suasana Pusat Komando dan Pengendalian (Puskodal) di kantor Bakamla RI, Jakarta, 7 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Peran Bakamla, kata dia, hanya menyinergikan pola operasi dan proses penegakan hukum. Ia mengibaratkan rancangan peraturan pemerintah akan menunjuk Bakamla sebagai ketua kelas. Sementara itu, tak ada perubahan dari fungsi dan kewenangan lembaga lain di laut Indonesia. “Peran masing-masing lembaga tidak akan berubah, tidak ada kewenangan yang hilang,” katanya.
Menurut Aan, pengawasan wilayah laut masih melahirkan sejumlah persoalan karena melibatkan banyak lembaga. Regulasi yang ada pun banyak yang tumpang-tindih.
Niat pemerintah memperkuat organisasi Bakamla sebagai koordinator keamanan laut belum bisa berjalan karena banyak benturan dengan undang-undang lain. Tercatat ada 24 undang-undang yang perlu diharmoniskan. “Saat ini pemerintah meletakkan dasar hukum tugas pengawasan oleh Bakamla lewat rancangan peraturan ini dulu,” kata Aan. “Muaranya nanti bakal ada revisi undang-undang, semacam omnibus law bidang kelautan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo