Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Label musik indie digempur penetrasi layanan streaming.
Alasan bertahan di jalur produk fisik.
Tak semua bisa mendulang cuan di platform digital.
BERPROFESI pengelola label musik indie atau independen, Uji “Hahan” Handoko bisa bekerja sekaligus melakoni hobinya mengoleksi piringan hitam. Puluhan rekaman fonograf tersimpan rapi di studio Hahan di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satunya Starlit Carousel, album perdana Leilani Hermiasih, musikus dan pianis yang dikenal dengan nama panggung Frau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampul piringan hitam alias vinil Starlit Carousel tampak artistik, berupa buku yang terdiri atas lembar partitur piano dan akor gitar. Sampulnya menyertakan visual fotografi yang digambar ulang dengan teknik lukisan hiper-realistis. Frau diilustrasikan sedang telungkup dengan lukisan jatuh menimpa tubuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nirmana Records merilis ulang album pertama Frau itu pada 14 Februari 2015 di Ruang MES 56, Yogyakarta. Label rekaman indie ini memang dikenal punya spesialisasi merilis album musikus yang berkarya di Yogyakarta dalam format piringan hitam. “Inginnya memadukan musik dan visual seni rupa,” kata Hahan, salah satu pendiri Nirmana Records, di studio seni miliknya di Bantul, Selasa, 28 Desember lalu.
Enam tahun merilis album-album vinil pemusik indie, Nirmana kini mengalami apa yang juga dihadapi label komersial: gempuran musik berformat digital lewat layanan streaming di Internet.
Namun Nirmana memilih tetap merilis album berbentuk piringan hitam. Alasannya ideologis: kualitas rekaman fonograf paling bagus dibanding medium lain. Suara yang dihasilkan juga lebih jernih dan detail serta tidak pampat dibanding musik digital yang didengarkan secara streaming. Piringan hitam pun lebih awet dan tidak mudah rusak jika dibandingkan dengan medium fisik lain seperti pita dan cakram padat (CD).
Melayani pembuatan rekaman dan album musikus independen, Hahan tahu diri. Dia tidak menargetkan labelnya menjadi bisnis yang menguntungkan. Bagi dia, jika hasil penjualan rekaman fonograf sudah bisa menutup biaya perilisan album berikutnya, itu sudah cukup. Label ini mencetak piringan hitam dalam jumlah terbatas, maksimal 200 keping untuk setiap album, dengan biaya Rp 35 juta.
Dari Nirmana, album itu dilepas ke toko-toko piringan hitam. Mereka juga menggunakan skema pemesanan pra-produksi, dengan menawarkan edisi khusus.
Sekeping piringan hitam bikinan Nirmana dijual Rp 380 ribu. Album piringan hitam Frau habis terjual. Sebulan setelah album dirilis, harganya naik hampir dua kali lipat—mungkin ini album tersukses yang dicetak Nirmana.
Selama masa pandemi Covid-19, Nirmana praktis tidak merilis album. Pagebluk, yang memukul hampir semua pemusik dan industri pendukungnya di Yogyakarta, memaksa sebagian di antara mereka memanfaatkan layanan streaming. Ketika konser yang menimbulkan kerumunan dilarang, merilis album melalui platform streaming menjadi satu-satunya pilihan. Biaya produksi melalui layanan streaming yang lebih murah juga menjadi pemicunya—selain mengikuti perkembangan zaman.
Inilah yang membuat layanan streaming mulai menjadi saluran dominan bagi musikus dan label indie di Yogyakarta untuk merilis album mereka. Menurut pemusik kelompok indie dan etnomusikolog, Aris Setyawan, label hanya perlu membayar agregator atau distributor musik ke layanan streaming dalam paket-paket yang sudah tersedia. Biayanya lebih murah ketimbang mencetak album dalam format kaset pita, CD, ataupun piringan hitam. Satu akun distributor, misalnya, bisa digunakan untuk mengunggah beberapa album musikus ke platform streaming lagu.
Tapi, menurut Aris, layanan streaming juga punya kekurangan. Streaming menggunakan metode kolam besar untuk membagi keuntungan atau royalti. Bila ada satu orang yang menyukai grup indie Yogyakarta dan sering mendengarkan musiknya melalui layanan streaming, uangnya belum tentu masuk semua ke grup tersebut.
Pada akhirnya, keuntungan royalti lagu yang dikantongi grup indie melalui layanan streaming sedikit karena bergantung pada jumlah orang yang memutar atau mendengarkan karyanya. Dengan situasi ini, mereka sudah pasti kalah start dari musikus top dan komersial. “Dari penghasilan di streaming itu, mereka kerap hanya bisa membayar sewa distributor!” ujar Aris pada Rabu, 29 Desember lalu.
Adapun pembagian keuntungan penjualan album fisik lewat piringan hitam, CD, dan kaset lebih sederhana serta menguntungkan pemusik. Sekian penghasilan dari penjualan album yang masuk ke label tinggal dibagi dengan musikus. Hahan mencontohkan, di Nirmana, pembagian keuntungan royalti antara label dan artis sama rata.
Hahan tidak menampik anggapan bahwa musik dari platform streaming yang makin merangsek ke telinga pendengar cukup memukul label indie yang bermain di segmen piringan hitam. Label seperti Nirmana akhirnya mengakali situasi terjepit ini dengan cara-cara kreatif untuk menarik minat penikmat musik, misalnya melalui konser tunggal.
Suasana aktivitas di toko Demajors M Bloc, Jakarta, Jumat, 31 Desember 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Untuk tetap bertahan, label indie juga biasa bersiasat dengan menyuguhkan sesuatu yang unik atau punya ciri khas. Seperti Nirmana, yang sedang menyiapkan perilisan album piringan hitam berdiameter lebih kecil, yakni 7 inci. Pertimbangannya, harga produksinya lebih murah. Produksi setiap 50 piringan hitam berukuran 7 inci hanya membutuhkan biaya Rp 5,6 juta.
Dwi Rahmanto, vokalis grup indie Shoppinglist, yang memasarkan musik lewat label sendiri, Armykids Record, juga mengakui menggunakan platform streaming. Hampir semua kelompok indie di Yogyakarta, tutur Dwi, kini menempuh jalan serupa meski pendapatan yang mereka terima tak seberapa. “Mau tidak mau sebagai siasat untuk bertahan,” ucap Dwi pada Kamis, 30 Desember lalu.
Pada November 2021, Shoppinglist merilis album bertajuk Musim Belanja. Single lagu yang menjadi judul album itu menyindir gaya hidup konsumtif di perkotaan. Armykids Record menjualnya di platform streaming, cara merilis album dengan bujet tipis. Menurut Dwi, biaya merilis album dengan piringan hitam atau CD lebih mahal. Standar ongkos produksinya Rp 50 ribu per keping. Biasanya, label menjualnya Rp 75 ribu per keping.
Berbeda dengan Nirmana dan Armykids yang masih berusaha mengimbangi platform streaming dengan rilisan vinil dan CD, Pregina Art & Showbiz Bali benar-benar telah memunggungi rilisan fisik. Terakhir kali label musik asal Sanur, Bali, itu mengeluarkan album fisik adalah pada 2016. Tren penikmat musik mengonsumsi lagu menjadi alasan utama mereka enggan mengeluarkan CD atau vinil. “Rencananya masih ada bikin piringan hitam. Tapi beberapa saja sebagai barang koleksi,” kata pendiri Pregina Art & Showbiz Bali, Agung Bagus Mantra, pada Jumat, 31 Desember lalu.
Menurut pria 46 tahun itu, untuk pemasaran digital musikus yang dinaungi, Pregina Art dibantu pihak ketiga sebagai agregator. Ada sekitar 80 lapak musik digital yang siap menampung lagu artis di bawah naungan label Pregina. “Ada pihak ketiga yang berbasis di Amerika Serikat,” ujarnya.
Selain uang dari penjualan digital, menurut Bagus Mantra, hal penting yang bisa diperoleh musikus ketika berjualan di dunia maya adalah pengakuan. Karya seorang musikus tidak bisa sembarangan digunakan oleh publik. “Ketika lagu didaftarkan, secara otomatis terlindungi,” ucapnya.
Adapun bagi label musik bawah tanah seperti Grimloc Records, platform streaming digital tidak cocok bagi pemusik indie dan underground. Cara pemasaran di bawah label Grimloc, menurut pendirinya, Herry Sutresna alias Morgue Vanguard alias Ucok Homicide, jauh lebih efektif, yaitu menjual putus album yang diproduksi dalam format CD ke beberapa lini potensial, seperti distro. “Itu random banget. Ada distro dari Medan, Palu, Jawa banyak, sampai Singapura, dan Malaysia ada,” tutur Ucok di Bandung, Kamis, 30 Desember lalu. “Mereka beli putus minimal 10 per judul album. Untuk judul tertentu bisa sampai 100 kopi per album. Pola ini berlaku sejak 2016.”
Peluncuran album Starlit Carousel karya musisi Frau itu di Ruang Mess 56 Yogyakarta, pada Februari 2015. Dok. Nirwana Records/Anom Sugiswoto
Praktis lini digital hanya dipakai Grimloc untuk mempromosikan rilisan baru dari musikus yang dinaungi. Sebelum masa pandemi, promosi itu dilakukan lewat showcase dengan tujuan mengumpulkan komunitas musik. “Kita enggak peduli pasar. Kalau tertarik, beli. Enggak tertarik, ya, enggak apa-apa,” ujar Ucok.
Ucok mengungkapkan, pemasukan tertinggi yang diperoleh Grimloc berasal dari salah satu album Homicide, kelompok hip-hop yang ia turut dirikan. Waktu itu angka penjualannya menembus Rp 100 juta, jumlah yang wah buat musikus indie. “Tapi itu buat penggalangan dana gerakan solidaritas sosial seperti korban penggusuran, dapur umum, dan kebun warga,” ucapnya.
Angka itu, menurut Ucok, jauh lebih tinggi dibanding pendapatan album solonya, Fateh. Single andalan pada album ini, yaitu “Demi Masa”, banyak diputar di platform iTunes pada 2017. Ketika mengambil bagi hasilnya pada 2021, Ucok hanya kebagian Rp 7 juta. “Padahal play di streaming kenceng banget,” kata Ucok.
Ucok baru tahu, angka streaming tinggi belum tentu menghasilkan uang banyak. Di iTunes, ujar dia, streaming yang dihitung sebagai basis royalti hanyalah pemutaran dari pelanggan berbayar. “Kalau pakai akun enggak berbayar itu enggak dihitung sama mereka,” tuturnya. “Rilisan fisik seperti CD album Fateh itu empat hari sold out, remix 1.500 kopi. Keuntungannya bisa untuk sekolah anak.”
Dari kenyataan itu, Ucok sadar, lini distribusi digital bukanlah untuk musikus atau label indie seperti mereka. “Itu buat yang streaming-nya gila-gilaan.”
Kenyataan ini pula yang membuat Dwi Rahmanto beristikamah di jalan piringan hitam, cakram padat, dan kaset pita. “Ini klangenan dan nostalgia buat penikmat musik,” kata Dwi. Dan jumlahnya riil, seperti cerita Ucok baru saja.
ANWAR SISWADI (BANDUNG), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), MADE ARGAWA (DENPASAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo