Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dulu Teroris Kini Pebisnis

Sejumlah mantan narapidana kasus terorisme berusaha memperbaiki ekonomi keluarganya. Berbaur dengan masyarakat untuk melawan stigma.

1 Januari 2022 | 00.00 WIB

Ali Fauzi Manzi, di acara pembukaan Cafe Tebing, bersama pejabat di Kecamatan Paciran, Lamongan, 30 Desember-2021. TEMPO/Sujatmiko
Perbesar
Ali Fauzi Manzi, di acara pembukaan Cafe Tebing, bersama pejabat di Kecamatan Paciran, Lamongan, 30 Desember-2021. TEMPO/Sujatmiko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Mantan narapidana terorisme, Ali Fauzi, memiliki dua kafe di Lamongan dan Yogyakarta.

  • Di penjara, sejumlah napi terorisme juga berjualan untuk membantu keluarganya.

  • BNPT berencana membangun kawasan terpadu untuk menampung narapidana terorisme.

DI kawasan Bukit Kendil, Dusun Semerek, Desa Sendang, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, puluhan orang menikmati pemandangan dari teras Cafe Tebing, Kamis, 30 Desember 2021. Sebagian di antaranya laki-laki bercelana cingkrang dan perempuan bercadar. Hari itu mereka menghadiri pembukaan kafe milik mantan terpidana kasus terorisme, Ali Fauzi Manzi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ali terlihat semringah saat menatap warung kopi yang terletak sekitar 4 kilometer dari pantai utara Jawa itu. Berdiri di atas lahan seluas dua hektare, Cafe Tebing juga menyediakan fasilitas ruang pertemuan, wahana flying fox, hingga mobil jip untuk menjelajahi perbukitan kapur di utara Pegunungan Kendeng itu. “Ini hasil perjuangan kami,” kata Ali Fauzi, 52 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menjalankan usahanya itu, Ali merekrut 46 penduduk sekitar sebagai karyawan. Adik kandung terpidana mati kasus bom Bali, Amrozi, dan terpidana seumur hidup, Ali Imron, itu mengklaim semua pegawainya mendapat bayaran hampir Rp 2,5 juta, sesuai dengan upah minimum Kabupaten Lamongan.

Ali memiliki catatan panjang kasus terorisme di dalam dan luar negeri. Ia pernah menjadi kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah, organisasi yang terafiliasi dengan Al-Qaidah bentukan Usamah bin Ladin. Ia juga melatih milisi di Ambon, Maluku, dan Poso, Sulawesi Tengah, serta kelompok teror di Mindanao, Filipina. Pada 2004, ia ditangkap di Filipina dan dideportasi tiga tahun kemudian. (Baca: Bagaimana Jamaah Islamiyah Menyusup ke Berbagai Institusi)

Bertahun-tahun Ali dan para mantan terpidana terorisme mencoba menghilangkan stigma sekaligus membangun kehidupan ekonomi yang berantakan. Ali termasuk berhasil. Enam tahun lalu dia mendirikan Cafe Gandrung di dekat Hotel Ambarrukmo, Yogyakarta. Adapun Cafe Tebing dibangun dengan modal Rp 2 miliar, hasil kerja sama dengan dua pengusaha Lamongan.

Pada Maret 2017, Ali mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian di Desa Tenggulun, sekitar 5 kilometer dari Cafe Tebing. Yayasan yang bermitra dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu bergerak di bidang pendidikan dan sosial, terutama membantu anak-anak dan janda yang orang tua atau suaminya meninggal karena kasus terorisme.

Ada 37 mantan narapidana terorisme menjadi anggota yayasan itu. Mereka tersebar di berbagai tempat di Jawa Timur. Ali Fauzi menyatakan sebagian keuntungan kafenya akan digunakan untuk kegiatan Yayasan Lingkar Perdamaian. Misalnya pelatihan kewirausahaan bagi para mantan napi terorisme. “Supaya perekonomian mereka segera bangkit,” ujarnya.

Di Desa Tenggulun dan sekitarnya juga terdapat sejumlah mantan terpidana kasus terorisme. Mereka beternak sapi atau itik, atau berdagang. Salah satunya Hasan, 40 tahun, yang ditangkap Detasemen Khusus Antiteror 88 Kepolisian RI pada 2013. Mantan personel jaringan Abdullah Sonata—terlibat konflik Ambon dan Poso awal 2000-an—itu divonis empat tahun bui.

Selama Hasan dipenjara, kehidupan keluarganya terbilang berantakan. Istrinya, Umi Saleha, harus berjuang sendiri untuk membiayai tiga anaknya. Penghasilan Umi yang menjadi guru di Taman Pendidikan Al-Quran Pondok Pesantren Al Islam, Tenggulun, tidak mencukupi. Di dalam penjara, Hasan pun berupaya mencari nafkah.

Lahan seluas 16 hektare di Kelurahan Turen, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, yang rencananya akan digunakan sebagai kawasan khusus terpadu Nusantara kerjasama Pemerintah Kabupaten Malang dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang berfungsi sebagai kawasan pembinaan pengembangan dan pelatihan ekonomi bagi 40-an bekas narapidana terorisme, 31 Desember 2021. TEMPO/Eko Widianto

Hasan meminta izin kepala penjara untuk diperbolehkan menjual makanan. “Saya akhirnya bisa menjual makanan yang dipasok oleh teman saya dari luar penjara,” tutur Hasan saat ditemui Tempo di Bukit Kendil. Dalam sebulan, dia bisa mengumpulkan uang Rp 1,5 juta, yang lalu ia kirim ke istrinya. Hasan keluar dari penjara satu tahun lebih cepat karena mendapatkan remisi. 

Keluar dari penjara pada 2016, Hasan kebingungan mencari pekerjaan. Akhirnya dia mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 37 juta untuk modal membeli sapi serta membangun toko yang menjual bahan kebutuhan pokok.

Selain mengandalkan pendapatan dari berjualan, Hasan bekerja di pabrik pupuk. Sedangkan istrinya mengajar di sekolah yang dikelola Yayasan Lingkar Perdamaian. Hasan berharap tokonya bisa lebih besar, tapi dia belum menemukan cara untuk memajukan bisnisnya.

Mantan napi terorisme yang ditangkap Densus 88 pada Juni 2014, Arif Budi Setiawan, juga berjualan obat-obatan yang dipasok salah satu apotek saat berada di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta Timur. Uang hasil berjualan obat itu dikirim untuk keluarganya di rumah.

Keluar dari penjara, Arif mulai berbaur dengan tetangganya di Desa Jati Klabang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. “Saya senang bisa berbaur dengan warga,” ujarnya. Arif yang dulu menjadi kurir senjata api jenis pistol—salah satunya diserahkan kepada Jamaah Ansharud Daulah, yang mendukung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)—kini berjualan roti goreng bersama adiknya.

Laki-laki 40 tahun itu juga menjadi kontributor media online Ruangngobrol.id sejak 2018. Hingga kini, ada sekitar 400 tulisan dihasilkan Arif. Ia gencar menyuarakan nasionalisme dan deradikalisasi. “Intinya jangan sampai seperti saya, jadi teroris,” kata bekas santri di Pondok Pesantren Al Islam, Desa Tenggulun, Lamongan, itu.

Menampung para mantan narapidana terorisme, BNPT bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Malang dan Universitas Islam Malang berencana membangun Kawasan Khusus Terpadu Nusantara. Ini adalah kawasan yang digunakan untuk pembinaan dan pelatihan usaha bagi para mantan narapidana terorisme.

Kawasan khusus itu berada di lahan seluas 16 hektare di Kelurahan Turen, Kecamatan Turen, Malang. Saat Tempo datang ke lokasi tersebut pada Kamis, 30 Desember 2021, kawasan tersebut masih berupa hamparan ladang jagung. Belum ada aktivitas pembangunan di lahan milik Pemerintah Kabupaten Malang tersebut.

“Memang masih tahap perencanaan,” ujar Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Malang Tomie Herawanto. Bupati Malang Muhammad Sanusi lantas mengusulkan lahan di Kelurahan Turen dengan mekanisme pinjam pakai. “Masa pinjam pakai belum ditentukan, nanti disesuaikan dengan kebutuhan BNPT,” tutur Tomie.

Nota kerja sama antara BNPT, Pemerintah Kabupaten Malang, dan Universitas Islam Malang sudah ditandatangani pada 14 Desember lalu. Kepala BNPT Boy Rafli Amar ketika itu mengatakan bahwa kawasan khusus nantinya bisa menampung sekitar 40 mantan terpidana terorisme. Saat ini ada sekitar 600 mantan narapidana terorisme, sekitar 130 orang ada di Jawa Timur.

Para mantan teroris akan diwadahi dalam sebuah koperasi. Mereka akan dilatih mengembangkan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. “Disesuaikan dengan minat masing-masing,” ujar Boy Rafli.

Rektor Universitas Islam Malang Maskuri membentuk tim penyusun master plan dari sejumlah fakultas, seperti peternakan, pertanian, teknik, dan kedokteran. Tim itu akan menyusun prioritas serta membangun konsep ekonomi, sosial, dan pendidikan untuk mantan napi terorisme. “Semua terintegrasi, sekaligus menjadi pusat studi ketahanan pangan dan antiradikalisme,” ucap Maskuri.

SUJATMIKO (LAMONGAN), EKO WIDIANTO (MALANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Teguh Edi Pramono

Stefanus Teguh Edi Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus