SUATU hari di kelas II IPS SMA Perguruan Cikini, Jakarta. Para siswa termenung. Di hadapan mereka masing-masing, selembar kertas. Inilah jam pelajaran Mengarang, yang sebenarnya jarang diberikan. Kamis siang pekan lalu itu, Nanang Sunardi, Pak Guru Bahasa Indonesia, menawarkan dua judul kepada siswanya: "Bagaimana Belajar yang Baik" dan "Bagaimana Sikap Kita terhadap Orangtua". Pelajaran Mengarang, yang merupakan baian dari pelajaran Bahasa Indonesia, tampaknya kurang mendapat perhatian. Sabtu pekan lalu, di IKIP Negeri Jakarta, dalam Seminar Pengajaran Mengarang - untuk menyambut Bulan Bahasa, Oktober ini hal itu dibuktikan. Maidar Arsjad, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni di IKIP tersebut, mengungkapkan kembali hasil penelitiannya dua tahun silam. Pak Dosen waktu itu menugasi lebih dari 1.300 siswa kelas III SMA di DKI Jakarta untuk membuat karangan pendek. Yang dicari, antara lain, kemampuan siswa menggunakan kosakata, menata kalimat, mengorganisasikan karangan, mengembangkan karangan secara logis. Dengan mengambil angka nilai terendah nol dan tertinggi seratus, menurut Maidar, rata-rata nilai responden cuma lebih sedikit dari 51. Kepada guru Bahasa Indonesia SMA se-DKI Jakarta, Maidar pun membagikan daftar pertanyaan. Sebagian besar guru, ternyata, hanya memberikan pelajaran mengarang dua kali dalam satu semester. Bahkan sekitar 10% menjawab, tak pernah memberikan pelajaran Mengarang. Susahnya lagi, belum tentu para guru itu kemudian memeriksa karangan siswa mereka. Alasannya, klise memang: jumlah siswa terlalu banyak, dan mereka, para guru itu, merangkap mengajar di beberapa sekolah. Penelitian Maidar itu juga menemukan bahwa 10% guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia datang dari disiplin ilmu lain. Repot memang, padahal Mengarang, disepakati oleh beberapa guru Bahasa Indonesia yang diwawancara TEMPO, penting. Tak hanya untuk latihan menyatakan pikiran, tapi juga latihan mengamati dan mengingat sesuatu, latihan mengaitkan pengetahuan satu dan lainnya. Dan, tentunya, mendorong minat baca siswa. Maka, seminar di IKIP itu yang mengundang pembicara antara lain guru Bahasa Indonesia SD, SMP, dan SMA menyimpulkan, "Mungkin diperlukan guru khusus Mengarang." Tapi bagi Iffa Faisah, 33, guru Bahasa Indonesia di SMP Kanisius, Jakarta, guru khusus mengarang tidak penting. Dengan lima jam pelajaran Bahasa Indonesia per minggu, Iffa tak merasa harus mengabaikan Mengarang. Paling sedikit sekali dalam tiga minggu, siswa kelas II dan III SMP tersebut diharuskan mengarang. Buat Iffa masalahnya ialah bagaimana membuat pelajaran ini disenangi para siswa. Caranya, "Dicarikan judul yang menarik, atau sama sekali siswa diminta mengarang bebas." Hasilnya, Iffa sendiri sering kagum: "Wah, anak-anak itu tahu persis materi yang mereka bicarakan." Yang menarik dari Iffa ini, sementara dalam seminar sibuk dibicarakan metode pengajaran Mengarang, ia tak merasa sangat memerlukan metode. Untuk menarik minat siswa, Bu Guru ini merasa cukup dengan hanya memberikan contoh, dengan membacakan karangan yang telah dipilihnya di muka kelas. Pun, berbeda dengan kecenderungan banyak guru, Iffa tak membatasi panjang-pendek karangan. Apa pun kesimpulan seminar, yang sebagian besar hadirin adalah mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta, yang penting agaknya, sikap dan anggapan guru itu sendiri terhadap Mengarang. Sebab, bila sekolah dianggap untuk mencari ijazah, Mengarang akhirnya memang tak menentukan. Baik dalam rapor maupun dalam tes masuk Sipenmaru, pelajaran itu tak pernah ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini