Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Taman Renungan dan Sosok Sukarno yang Lain

Sukarno menggali Pancasila di Ende, yang kini jadi Taman Renungan Bung Karno. Dari mana ilhamnya?

11 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Cerita tentang Taman Renungan Bung Karno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

  • Taman tempat Bung Karno merenung di bawah pohon sukun untuk menggali butir-butir Pancasila.

  • Kisah unik pohon sukun bercabang lima di Taman Renungan Bung Karno.

SUASANA Taman Renungan Bung Karno di Kelurahan Rukun Lima, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, tampak ramai pengunjung pada Selasa, 7 Juni lalu. Siang itu, para pengunjung dari beragam usia dan kelompok berjalan-jalan sambil menikmati keteduhan naungan sembilan pohon beringin yang ditanam pada awal 2000 dengan posisi mengitari taman yang dulu bernama Taman Rendo tersebut. Rendo dalam bahasa Ende berarti remaja. Nama taman milik Pemerintah Kabupaten Ende itu berubah sejak diresmikan Wakil Presiden Boediono pada 1 Juni 2013. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di taman bersejarah seluas 133,8 x 72,7 meter itu terdapat patung Sukarno muda yang tengah duduk merenung di bawah pohon sukun yang rindang. Patung Sukarno dan pohon sukun menjadi dua ikon utama yang menjadi daya tarik bagi para pengunjung taman tersebut. Presiden Joko Widodo bersama ibu negara Iriana mengunjungi Taman Renungan Bung Karno setelah memimpin upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di Lapangan Pancasila, Ende, Rabu, 1 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Patung ikonik karya perupa Hanafi itu berbeda dengan patung Sukarno lain yang terdapat di sejumlah tempat di Indonesia. Patung-patung lain umumnya menggambarkan Sukarno sebagai “singa podium”, beraksi di depan mikrofon dengan tangan teracung. Di taman tersebut, Sukarno tampil sebagai pemikir reflektif, tenang, duduk di atas sebuah bangku panjang yang berdiri di atas kolam dengan ukuran bermakna simbolis kemerdekaan Republik Indonesia. Kolam itu berukuran 45 x 8 meter dengan bangku sepanjang 17 meter yang menyangga patung Sukarno.

Patung Sukarno berbahan perunggu dalam posisi duduk itu memiliki tinggi 3,15 meter dan berat 800 kilogram. Patung yang melukiskan sosok Bung Karno sebagai interniran Belanda tersebut mengenakan pakaian formal dengan kopiah di kepalanya. Ia menatap laut lepas di depannya dengan tajam seakan-akan menembus Pulau Ende yang terletak di tengah laut persis di depan Kota Ende.

Suasana Taman Renungan Bung Karno di Kelurahan Rukun Lima, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, 7 Juni 2022. Steph Tupeng Witin

Menurut perupa Hanafi, ide patung Bung Karno di Ende itu murni hasil perenungan dan pergulatan tanggung jawab moralnya sebagai seniman yang sangat mengagumi ketokohan Sukarno. Ia ingin menampilkan Sukarno sebagai sosok manusia biasa dalam ukuran manusia yang normal. “Saya banyak belajar kepada para pematung bagaimana membentuk sosok manusia sejarah yang memiliki karakter. Hal yang utama adalah roh dan bukan sekadar tampilan fisik,” kata Hanafi saat dihubungi lewat telepon pada Rabu, 8 Juni lalu.

Hanafi menyebutkan keterlibatannya dalam pembuatan patung Sukarno itu berawal saat dia mengikuti pameran lukisan bertajuk “Dari Penjara ke Pigura” di Galeri Salihara, Jakarta, pada 2008. Dalam pameran bersama dengan sejumlah seniman lain itu, Hanafi melukis Sukarno tampak dari belakang dengan lampu-lampu. Dalam lukisan kanvas dua dimensi itu terdapat nukilan kata-kata Sukarno: “Cahaya sudah dekat”.

Lukisan karya Hanafi itu menarik perhatian Goenawan Mohamad, pendiri Komunitas Salihara. Beberapa waktu kemudian, ia dipanggil Goenawan Mohamad, Boediono, dan Rizal Mallarangeng—tiga orang yang berperan di balik hadirnya patung Sukarno di Taman Renungan Bung Karno—untuk membicarakan rencana pembuatan patung Sukarno. “Saya menerima itu sebagai penunjukan, dan saya pun kemudian mulai belajar kepada pematung-pematung untuk membuat patung di Ende itu,” ujarnya.

Selain itu, tutur Hanafi, ia melakukan survei ke Ende. Ia mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno, Taman Rendo, dan perpustakaan Biara Santo Yosef. Hanafi menginap di dekat Taman Rendo di tengah masyarakat sehingga tiap malam ia bisa menggali cerita dari warga. “Saya juga bisa berjalan ke Taman Rendo dan melihat pohon sukun kapan saja saya mau,” ucapnya. Sebetulnya saat itu, Hanafi melanjutkan, sudah ada patung di taman tersebut, tapi bentuknya dianggap kurang pas dengan sosok Sukarno. “Maka saya pikir tidak sekadar merenovasi patung berbahan dari semen itu, tapi mesti dibuat patung baru.”

Lukisan karya Hanafi yang berjudul Sinar Itu Dekat di pameran lukisan "Dari Penjara ke Pigura" pada malam pembukaan Festival Salihara, di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Oktober 2008. Dok. TEMPO/Rosdianahangka

Adapun ide patung Sukarno dalam posisi duduk, Hanafi menjelaskan, berasal dari perenungannya berdasarkan hasil “investigasi” sederhana ke lokasi jejak Sukarno selama pengasingan di Ende. Hanafi menyebutkan Sukarno mendapat bonus saat diasingkan, yakni pada pukul 15.00-17.00. Pada waktu itu Sukarno bisa berjalan-jalan ke Taman Rendo dan duduk merenung. Awalnya ia berpikir saat itu Sukarno tentu tidak berpakaian resmi, hanya mengenakan kaus. Tapi, karena format patung sudah diatur, ia membuat sosok Sukarno kembali ke kebiasaan berpakaian formal dengan memakai sandal. “Sehingga Sukarno yang sedang dibuang penjajah itu tampak lebih santai, gesturnya lebih rileks dibanding penampilan dia di waktu-waktu lainnya,” katanya.

Sekembali dari Ende, Hanafi mulai merancang patung di studionya di Depok, Jawa Barat. Dalam proses di studionya itu, Hanafi mendapat dukungan tiga orang dari Yayasan Ende Flores: Ignas Kleden, Silvester Nong, dan (almarhum) Daniel Dhakidae. Beberapa kali ketiganya datang ke studio Hanafi, memberikan banyak sumbangan pemikiran yang memperkaya ide pembuatan patung. “Saat finishing pun mereka datang kembali,” ujar Hanafi.

Patung Sukarno rancangan Hanafi kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk dicor dengan perunggu selama satu setengah bulan. Setelah selesai, patung itu diangkut dengan truk menuju Ende melalui jalan darat. Sesampai di Ende, patung sempat dititipkan dulu ke pemerintah setempat, menunggu selesainya pembangunan Taman Renungan Bung Karno yang dirancang arsitek Andra Matin. Hanafi mengungkapkan, pembuatan patung Sukarno itu total memakan waktu sekitar satu setengah tahun hingga pemasangannya di Ende. “Pemasangan berlangsung sekitar sepuluh hari menjelang peresmian oleh Wakil Presiden Boediono pada 1 Juni 2013,” tuturnya.

Suasana saat pemasangan patung itu, menurut Hanafi, terasa sangat mistis. “Burung-burung terbang di atas lokasi pemasangan, menghadirkan suasana ‘lain’ yang menurut cerita warga setempat suasana itu dialami Sukarno saat duduk merenungkan butir-butir Pancasila di bawah pohon sukun,” ucap Hanafi.

•••

SELAIN patung Sukarno, yang ikonik di Taman Renungan Bung Karno adalah pohon sukun bercabang lima. Warga Ende menyebut pohon bernama Latin Artocarpus communis itu krara. Bagi warga Ende, pohon sukun bercabang lima yang tumbuh di taman itu memiliki kandungan sejarah yang membedakannya dengan pohon-pohon sukun lain di Kota Ende dan sekitarnya.

Pengunjung situs rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Nusa Tenggara Timur. Steph Tupeng Witin

Sejarah mencatat, pada masa pengasingan di Ende, 1934-1938, Sukarno sering melewatkan sebagian waktunya dengan duduk merenung di bawah pohon sukun. Pohon sukun itu menjadi saksi pergulatan intelektual Sukarno muda yang berikhtiar membangun fondasi dasar bangsa Indonesia.

Sebetulnya warga Ende tidak tahu bahwa Sukarno mulai menyemai butir-butir Pancasila di bawah pohon sukun itu. Fakta itu baru disampaikan Sukarno di hadapan ribuan penduduk Flores pada 1950, saat dia berkunjung ke Ende sebagai Presiden Republik Indonesia. Saat itu turut hadir kepala daerah Flores, Thomas Ximenes da Silva. Intisari pidato itu terekam pada tulisan yang terpahat di dinding tembok yang melingkupi pohon sukun di sana saat ini. Bunyinya: “Di kota ini kutemukan lima butir mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nila-nilai luhur Pancasila”. 

Tempat tumbuhnya pohon sukun saat ini berada di ketinggian, dikelilingi tembok tebal yang menyangga tanah tempat pohon itu tumbuh. Di atas tanah sekitar batang sukun dipasang lampu-lampu sorot yang mengarah ke daun dan dahan. Sementara itu, di atas tembok yang melingkupi pohon sukun terpajang sosok burung garuda berwarna keemasan dan lima butir sila Pancasila. Pada dinding tembok bagian depan tertera prasasti peresmian patung dan Taman Bung Karno oleh Wakil Presiden Boediono pada Sabtu, 1 Juni 2013.

Liberius Vincencius Wangga, pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Ende, menjelaskan sejarah pohon sukun itu. Mantan wartawan sejumlah media yang menekuni riwayat pohon bersejarah itu menyebutkan pohon sukun yang berdiri saat ini merupakan pohon ketiga yang ditanam dan hidup hingga sekarang. “Pohon sukun yang asli atau pertama tidak sempat terawat dengan baik,” kata pria yang biasa disapa Nocent Ndoi itu, Selasa, 7 Juni lalu.

Patung Bung Karno di depan rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Nusa Tenggara Timur. Steph Tupeng Witin

Pada 1970-an, di masa Bupati Ende Hasan Aroeboesman, sempat dibuatkan pagar di sekeliling pohon sukun itu dengan maksud merawat kelestariannya. Tak berapa lama, pohon sukun itu layu, tak terurus, dan akhirnya mati pada 1972. Pagar tembok yang mengelilinginya pun tidak terawat dengan baik. Presiden Soekarno saat berkunjung ke Ende pada 1950 sempat berpesan kepada rakyat Ende, kalau pohon sukun itu mati, pohon sukun yang baru bisa ditanam. Pada masa Bupati Ende H.J. Gadi Djou (1973-1983), ia mencoba memugar tembok yang mulai runtuh. Ia berusaha menanam kembali pohon sukun, tapi tidak pernah bisa hidup lama. 

Akhirnya, pada 31 Desember 1979, Bupati Gadi Djou menggelar rapat dengan mengundang sahabat-sahabat Sukarno yang masih hidup dengan tujuan menanam kembali pohon sukun di lokasi yang berjarak beberapa meter ke arah barat. Tempat pohon sukun yang asli itu kini menjadi bagian dari Lapangan Pancasila. Lalu pada 17 Januari 1980 berlangsung penanaman pohon sukun oleh sahabat-sahabat Sukarno. Pohon itu tumbuh subur hingga saat ini. “Fakta yang menakjubkan adalah pohon sukun itu tumbuh dengan lima cabang yang asli, bukan banyak cabang baru dipotong sisa lima cabang,” ujar Nocent Ndoi.

Kasianus Nusa Nipa, penjaga Taman Renungan Bung Karno, mengatakan pohon sukun itu sangat unik bila dibandingkan dengan pohon sukun lain yang tumbuh di Ende dan sekitarnya. Pohon sukun di taman itu memiliki daun, dahan, dan buah yang berbeda. “Daunnya lebih mungil, buahnya agak lonjong, tidak bulat besar seperti pohon sukun lain. Selain itu, lima cabangnya tumbuh secara alami, tidak pernah dipotong lalu disisakan lima,” kata Kasianus.

Lukisan karya Bung Karno yang dipajang di depan pintu masuk rumah pengasingan Ende, dibuat sekitar 1935. Steph Tupeng Witin

Menurut Kasianus, setiap hari Taman Renungan Bung Karno ramai dikunjungi ratusan orang, seperti pada Selasa siang, 7 Juni lalu. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati udara sejuk, menyaksikan selasar Sukarno; selasar pahlawan Nusa Tenggara Timur seperti Motang Rua (Manggarai), Baranuri dan Marilonga (Ende), Teka Iku (Sikka), Herman Fernandez (Flores Timur), serta Izaak Huru Doko (Sabu); membaca buku; berdiskusi; juga melihat pohon sukun dan patung Sukarno yang tengah merenung. Taman Renungan Bung Karno juga sering menjadi tempat pergelaran acara budaya.

•••

BUKAN hanya di Taman Renungan, jejak Sukarno di Ende juga bisa ditelusuri di rumah pengasingannya. Sukarno dan keluarganya tiba di Ende pada 14 Januari 1934 setelah berlayar dengan kapal barang Van Riebeeck dari Tanjung Perak, Surabaya, selama delapan hari. Sukarno tiba bersama istrinya, Inggit Garnasih; ibu mertuanya, Amsi; dan anak angkatnya, Ratna Djuami. Selama di Ende, Sukarno dan keluarganya menempati sebuah rumah sederhana di kampung Ambugaga, Ende utara.

Dalam buku biografi Kuantar ke Gerbang, Inggit Garnasih menuturkan, “Kami ditempatkan di sebuah rumah yang terhitung tua di Ambugaga, dengan atap yang rendah dari seng, tiang-tiangnya dari kayu dan jendela-jendelanya kecil-kecil. Tidak terlalu sempit. Tapi keadaannya di dalam agak pengap. Ruang depannya terbuka sehingga kalau kita duduk di sana terasa dingin dengan anginnya yang semilir. Tak ada listrik di rumah kami, yang kami sewa dari Haji Abdul Amburawuh, seseorang yang cukup berada. Kami mempergunakan lampu minyak tanah dan yang bertugas untuk mengatur lampu itu ialah Omi yang sudah pandai pula menolong kami di dapur.”

Rumah yang terletak di Jalan Perwira, Kelurahan Kota Raja, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, itu telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dan menjadi museum. Pada 1950, saat berkunjung sebagai presiden, Sukarno memanggil pemilik rumah, Haji Abdullah Amburawuh, dan memintanya menjadikan hunian tersebut museum bagi negara. “Rumah itu bukan untuk saya, tapi untuk negara. Rumah itu akan menjadi museum,” tutur Sukarno. 

Sukarno dan kerabatanya di depan rumah pengasingan di Ende, Flores, Nusa tenggara Timur pada 1930-an cagarbudaya. kemdikbud.go.id

Saat Tempo berkunjung ke situs rumah pengasingan Bung Karno pada Selasa siang, 7 Juni lalu, suasananya tampak sepi. Begitu memasuki area rumah itu, mata kita tertumbuk pada sosok Sukarno dalam bentuk sebuah patung berukuran besar yang berdiri tegap. Patung sumbangan Institut Pemerintahan Dalam Negeri itu diresmikan Menteri Tjahjo Kumolo pada 2018. Kondisi rumah tampak terawat, bersih, dan asri dengan taman rumputnya. Pada 2011-2012, rumah pengasingan itu dipugar oleh Yayasan Ende Flores.

Memasuki rumah itu ibarat melangkah merasakan denyut hidup dan jiwa Sukarno. Aura itu terpancar dari barang-barang peninggalan di sana. Di ruang tamu terdapat meja dan kursi kayu yang asli. Kamar tidur Sukarno berisi pakaian, penggantung pakaian, dan tempat tidur. Ada pula kamar tidur Amsi dan Ratna Djuami serta ruang semadi. Di bagian belakang ada dapur, sumur yang digali Amburawuh, dan kamar mandi. Semua tampak sederhana dan bersih.  

Terdapat pula peninggalan berupa aneka perabot, seperti setrika besi, cerek air minum aluminium, piring nasi, piring porselen, piring hias, lampu minyak, dan kaki meja berukir. Lalu ada biola yang pernah dimainkan Sukarno, dua tongkat yang digunakan Bung Karno selama di Ende, salinan naskah-naskah sandiwara atau tonil karangan Sukarno yang diserahkan oleh Ibrahim Haji Umar Syah, pena yang digunakan Sukarno, lukisan karya Sukarno, serta foto-foto saat Sukarno dan keluarganya pada masa pengasingan di Ende.

Salah satu peninggalan yang cukup mencolok di rumah pengasingan itu adalah lukisan karya Bung Karno yang dipajang di depan pintu masuk. Syafrudin, 42 tahun, penjaga rumah pengasingan Bung Karno, mengatakan lukisan pura Bali yang indah itu dibuat Sukarno sekitar 1935. Pada lukisan itu, ada sebuah helm Belanda yang berada dalam posisi miring di pojok atap pura. Hal itu menandakan bahwa Belanda suatu saat akan kalah. Ada juga padi dan kapas yang melambangkan kesejahteraan bangsa dan ada orang menyembah ke pura sebagai simbol doa. 

Syafrudin mengungkapkan, ia pernah mendengar bahwa Bung Karno memberi nama rumah pengasingannya itu Jaya Jati Banda Gara atau Falsafah Kemenangan Gapura, yang berarti pintu gerbang kemerdekaan. Bung Karno menyusun simbol berupa kayu di pintu masuk dengan angka 17, 8, dan 45 yang melambangkan waktu kemerdekaan. “Jadi beliau sudah meramalkan kemerdekaan Indonesia,” kata Syafrudin, yang telah mengabdikan diri sebagai penjaga rumah pengasingan itu selama 20 tahun.

Syafrudin menyatakan sangat senang bisa bekerja di sana karena dapat menjalankan amanat orang tuanya merawat rumah Bung Karno yang bersejarah tersebut. Dia juga senang dapat bertemu dan berinteraksi dengan banyak tamu yang bisa memperkaya wawasannya. “Rata-rata pengunjung 100 orang dalam sebulan, kadang kalau sedang ramai bisa lebih dari 200 orang. Para pengunjung itu datang dari dalam dan luar negeri,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Steph Tupeng Witin

Steph Tupeng Witin

Kontributor Tempo di Ende

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus