Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan tarif baru naik ke stupa Candi Borobudur Rp 750 ribu menuai kritik.
Sekali lagi pemerintah gagal mengkomunikasikan kebijakan melindungi barang publik sebagai cagar budaya.
Tarif Candi Borobudur bermasalah secara prosedur dan bias kelas menengah-atas.
RENCANA Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi menaikkan harga tiket Rp 50 ribu menjadi Rp 750 ribu memasuki stupa Candi Borobudur mengandung dua masalah besar, yaitu kewenangan dan bias kelas. Perumusan kebijakan tersebut berangkat dari kesalahan prosedur dan kekacauan melihat akar masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal kewenangan, menurut Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2019, Kementerian Koordinator Kemaritiman semestinya hanya bertugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian. Ada enam kementerian dan lembaga negara yang berkhidmat di bawah koordinasi kementerian yang dipimpin Luhut Pandjaitan ini. Kementerian Pariwisata salah satunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka semestinya penetapan harga tiket Candi Borobudur berada di Kementerian Pariwisata, yang bertanggung jawab dalam urusan ini. Menteri Luhut yang menyinkronkannya apakah menaikkan tarif itu sesuai dengan tujuannya, yakni melindungi candi berusia 12 abad di Magelang, Jawa Tengah, itu. Menjadi ganjil, menteri koordinator yang semestinya menjadi penguji kebijakan kementerian teknis malah mengambil alih kewenangan tersebut.
Sebagai warisan dunia, Candi Borobudur memang harus dilindungi. Perubahan iklim, letusan gunung api, dan perilaku pengunjung menjadi ancaman pokok tempat ibadah umat Buddha ini. Perubahan iklim yang menaikkan suhu di sekitar candi membuat batu-batunya melapuk, abu vulkanis Gunung Merapi membuat pori-pori batu rusak, ditambah perilaku tak terpuji pengunjung yang membuang sampah, permen karet, dan puntung rokok ke dalam stupa-stupanya.
Jika cara melindungi Borobudur dengan menaikkan tarif agar hanya sedikit orang yang bisa mengunjunginya, jelas ini datang dari pikiran bias kelas. Menteri Luhut seolah-olah menganggap hanya orang kelas menengah-atas yang bisa berperilaku baik terhadap warisan budaya. Padahal perilaku tak terpuji lintas kelas, yang miskin atau kaya, yang berpendidikan atau tak berpengetahuan.
Kebijakan publik seharusnya ditopang sistem. Jika soalnya beban Borobudur yang kelebihan pengunjung, pemerintah bisa memakai teknologi digital untuk membatasinya. Jika masalahnya vandalisme, teknologi pula yang bisa memantau, lalu aturan sanksi sebagai penegakan hukumnya. Katakanlah, sesuai dengan riset Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, daya tampung Borobudur 1.200 orang per hari, aplikasi dengan mudah membendung 10.200 pengunjung seperti jumlah wisatawan sebelum masa pandemi Covid-19.
Kebijakan melindungi barang publik dengan tarif mahal adalah ciri pemerintahan yang malas berinovasi. Kekonyolan ini kian lengkap dengan kebiasaan pemerintah Presiden Joko Widodo yang tertutup dan tak partisipatif. Melalui Instagram, Menteri Luhut mengumumkan tarif baru Borobudur tanpa didahului komunikasi publik mumpuni yang menjelaskan latar belakangnya.
Langkah ini menambah panjang daftar kekacauan pemerintah Jokowi dalam membuat kebijakan publik. Terbukti, setelah pro-kontra merebak, pemerintah menunda penerapan tarif Borobudur. Jika tiap-tiap kebijakan menunggu protes, selamanya Indonesia akan gaduh dengan kontroversi.
Semestinya tidak cukup menunda, Menteri Luhut seharusnya membatalkan rencana kenaikan tarif yang tidak berdasar tersebut. Pemerintah cukup membangun sistem yang melindungi Borobudur, lalu menyerahkan pengelolaannya kepada umat Buddha, yang lebih berhak memuliakan tempat ibadah mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo