Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku karya Lin Shi Fang tentang pergolakan di Kalimantan Barat.
Perlawanan massa etnis Tionghoa terhadap Orde Baru di pedalaman Kalimantan Barat.
Buku ini ditulis oleh seorang ibu yang pada masa mudanya terlibat dalam gerakan kiri.
GERILYA sejumlah orang keturunan Tionghoa melawan Soeharto dilakukan mulai 1967 di pedalaman hutan “Gunung Bara” Kalimantan Barat. Gunung Bara adalah sebutan base camp bagi seratusan orang keturunan Tionghoa bersenjata di sebuah titik gunung di kawasan Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Markas besar itu terletak di perbatasan Sarawak, Malaysia, yang susah dicapai. Hutan pekat. Sering turun hujan. Udaranya dingin seperti pegunungan salju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemimpin gerakan bawah tanah itu memanggul senjata jenis AK. Anggota pria membawa senapan rifle dan gerilyawan perempuan mempersenjatai diri dengan stengun model ringan. Mereka berpindah-pindah tempat ke sekujur gunung mencari lokasi barak yang lebih tinggi untuk menghindar dari deteksi tentara Indonesia. Seorang perempuan berusia 20 tahunan terlibat dalam “milisi” tersebut. Bertahan hidup apa adanya, tiap hari tubuhnya digerayangi lintah dan hanya makan bubur cair serta jamur yang dirayapi ulat. Ia saksi mata bagaimana satu per satu anggota perlawanan itu meninggal karena kelaparan, keracunan, jatuh ke jurang, terseret arus sungai, ditangkap, atau tewas saat terjadi baku tembak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak buku yang membahas gerakan kiri di Indonesia 1960-an. Tapi jarang sekali yang membahas perlawanan bersenjata di pedalaman. Apalagi ditulis anggota komunitas etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. Sejauh ini yang terdengar dalam sejarah adalah gerakan bawah tanah di Blitar Selatan, Jawa Timur. Buku ini satu-satunya yang membuka fakta itu. Penulisnya adalah perempuan Tionghoa yang turut terlibat dalam milisi hutan. Namanya Lin Shi Fang.
Sejumlah tahanan yang diduga terlibat Paraku/PGRS di Pontianak, Kalimantan, 1971 1971. Dok. TEMPO/Usamah
Gerilya bermula saat Sukarno jatuh kemudian pemerintah Soeharto melarang dan membekukan segala hal yang berbau Sukarno, termasuk relawan bersenjata di Kalimantan Barat bentukan Sukarno untuk menjalankan program Konfrontasi Ganyang Malaysia. Pada 1963, Sukarno melatih dan mempersenjatai ratusan pemuda Tionghoa yang tergabung dalam Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) dan para pemuda Tionghoa kiri di perbatasan Malaysia yang tergabung dalam Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS). Pada tahun itu seribu pemuda etnis Tionghoa Sarawak melintasi perbatasan guna masuk ke hutan Indonesia dan bergabung dengan Paraku, membentuk pasukan senjata bersama. Mereka dilatih secara militer oleh Brigadir Jenderal Suparjo, Panglima Komandan Tempur IV Mandau yang dekat dengan kalangan kiri.
Posisi Paraku dan PGRS pada zaman Soeharto berbalik 180 derajat. Organisasi ini dianggap musuh negara yang harus dihancurkan. Senyampang dengan itu, gelombang anti-Tionghoa di Kalimantan Barat juga dikobarkan. Tentara memprovokasi etnis Dayak untuk mengedarkan “mangkuk merah” —mangkuk darah untuk membenci dan memerangi etnis Tionghoa. Buku ini menyajikan data adanya rentetan pembunuhan orang Tionghoa di Kalimantan Barat, di antaranya di Kampung Majun, Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Sambas, pada 1966; dan pembantaian di Timtapan, Sambas, Kalimantan Barat, pada 1968.
Serangkaian pembunuhan besar-besaran masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat itulah yang menjadi alasan utama terciptanya perlawanan dari Gunung Bara. Lin Shi Fang menceritakan pada 13 Oktober 1967 terjadi pertempuran hebat di Hutan Bara. Saat itu ia bertugas di pos massa. Tentara Indonesia masuk memanjat tebing dan menjadi sasaran empuk gerilyawan. Seorang anggota gerilyawan memiliki senjata baru otomatis bikinan Ceko. Tentara terus-menerus melemparkan granat. Pertempuran berlangsung enam jam dari pagi sampai siang. Lebih dari 20 tentara Indonesia mati.
Pembebasan ex PGRS/Paraku dan Gerakan 30 September di Gedung Arena Remaja, Pontianak, 1980. Dok. TEMPO/Ridwan AS
Sebagai orang yang bertugas di pos massa, tanggung jawab Lin Shi Fang adalah mencari dan melatih kader. Tatkala gerakan diperluas ke hulu Sungai Kapuas, ia masuk menyamar sebagai penjaja kelontong di pedalaman wilayah Dayak. Ia bersembunyi dan melebur dengan masyarakat Dayak. Lin Shi Fang kelahiran 1945. Di masa tuanya ia mewawancarai satu per satu temannya yang keluarganya menjadi korban pembantaian.
Membaca buku ini, kita bagaikan membaca faset lain dari sejarah modern Indonesia. Para pemimpin gerakan Gunung Bara semuanya berbahasa Cina. Nama-nama komandan mereka baru pertama kali kita dengar: Sofyan (Da Ge) Chen Wu Xia, Chen Fu Yi, Wang Ming, Li Chui Yan, Chen Hong Yi, Huang Kun Han, dan Liau Xiao. Lokasi-lokasi “perjuangan” mereka semua memiliki nama Tionghoa, seperti Gunung Lai Yi Shan. Tatkala di Hutan Bara, dengan penerangan seadanya, tiap malam mereka mendiskusikan doktrin-doktrin dan strategi Mao Zedong. Termasuk obsesi mereka: desa mengepung kota.
Buku: Pergolakan Kalimantan Barat
Pengarang: Lin Shi Fang
Penerbit: Ultimus, Bandung, 2022
Jumlah Halaman: 236 halaman
Pada bagian akhir buku ini, Lin Shi Fang menulis semacam autokritik terhadap gerakan tersebut. Ia menganalisis penyebab gerakan ini gagal total dan musnah pada 1971. Ia menganggap sentimentalisme heroik dan penyakit kekanak-kanakan revolusioner kiri yang sering menghinggapi para pemimpin komunis juga merasuki para komandan “Gunung Bara” hingga mereka membuat tindakan-tindakan gegabah. Di antaranya show of force dengan menempelkan pamflet negara kiri secara terbuka dari Pontianak sampai Singkawang. Hal ini, menurut Lin Shi Fang, adalah blunder yang membuat keberadaan mereka dilacak oleh pihak Indonesia. Konflik internal dan gerakan mereka yang sama sekali tidak diketahui, menurut Lin Shi Fang, juga adalah faktor utama yang menyebabkan gerakan hancur.
Dituangkannya pengalaman Lin Shi Fang di Gunung Bara dalam bentuk buku adalah sebuah keberanian. Ia sendiri masuk penjara di kamp konsentrasi Pontianak setelah tertangkap. Setelah bebas, kini ia tinggal di Bandung dan menjadi guru bahasa Tionghoa. Sesekali ia tampil dalam diskusi publik. Memoar ini ditulis Lin Shi Fang dengan bahasa lisan dan cenderung berupa ingatan-ingatan, bukan suatu kajian ilmiah. Buku ini tentunya lebih afdal apabila disertai pengantar kritis dari sejarawan yang mendudukkan secara obyektif peristiwa tersebut. Memang ada berapa pengantar di buku ini, tapi sifatnya lebih menyerupai prakata. Dibutuhkan suatu pengantar yang lebih komprehensif. Pengantar yang disertai bahan-bahan perbandingan dari Malaysia tentang bagaimana tentara Malaysia saat itu bertempur dan “menjinakkan” gerilyawan kiri Sarawak tentu akan menambah informasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo