Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Usul Asal demi Kereta Cepat

Belum juga beroperasi, kereta cepat Jakarta-Bandung sudah menimbulkan kerisauan, terutama di kalangan pengguna kereta api Argo Parahyangan. Sejumlah pejabat pemerintah menyatakan ada rencana menutup layanan kereta di jalur Jakarta-Bandung itu. Pejabat lain membantah. 

9 Desember 2022 | 00.00 WIB

Kereta cepat Jakarta Bandung keluar dari Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 16 November 2022. TEMPO/Prima mulia
Perbesar
Kereta cepat Jakarta Bandung keluar dari Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 16 November 2022. TEMPO/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TANDA tangan warganet terus bertambah dibubuhkan dalam petisi daring di laman situs Change.org. Petisi itu bertajuk "Pertahankan KA (kereta api) Argo Parahyangan", yang dibuat pemilik akun bernama Achadiat Asiandi, satu pekan lalu. 

"Kami, masyarakat pengguna, tidak setuju bila operasi KA Argo Parahyangan akan dihentikan setelah kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi," demikian petikan petisi tersebut. Menurut Achadiat, perpindahan layanan Argo Parahyangan ke kereta cepat akan membebani pelaju lantaran harga tiketnya yang lebih mahal. Di sisi lain, Argo Parahyangan dianggap sudah memenuhi standar layanan bagi sebagian masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Nasib kereta api Argo Parahyangan yang dioperasikan PT Kereta Api Indonesia (Persero) belakangan menjadi perbincangan, khususnya di kalangan pengguna angkutan penghubung Ibu Kota dengan Kota Kembang. Wacana yang paling santer berembus adalah isu penutupan layanan kereta tersebut, lantaran dianggap bersaing dengan sepur kilat. 

Wacana ini mencuat pertama kali pada awal November lalu, saat Koran Tempo melaporkan bahwa pemerintah bersama PT KAI tengah mengkaji penghapusan Argo Parahyangan, demi mengalihkan pengguna kereta tersebut ke kereta cepat.

Sumber Tempo yang mengetahui rencana itu mengatakan, upaya tersebut pun dinilai belum cukup karena jumlah penumpang Argo Parahyangan hanya sekitar 12 ribu orang per hari. Sedangkan kereta cepat Jakarta-Bandung ditargetkan bisa mengangkut 29-31 ribu orang per hari. Target itu ditetapkan agar PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) bisa mengejar rencana bisnisnya: balik modal dalam 38 tahun.

Kereta cepat Jakarta-Bandung memang harus bersaing dengan moda transportasi lain, selain Argo Parahyangan. Di rute itu, sudah tersedia layanan angkutan shuttle (travel dari titik ke titik) dan bus antarkota. Rata-rata ongkos aneka angkutan itu berkisar Rp 100-200 ribu. Belum lagi, ada masyarakat yang memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Meski menawarkan waktu tempuh yang lebih cepat, harga tiket kereta cepat diperkirakan bakal dibanderol di atas tarif berbagai moda yang sudah tersedia: Rp 250 ribu--pada tiga tahun pertama, setelah itu Rp 350 ribu untuk jarak terjauh. Toh, dengan tarif sebesar itu pun, layanan kereta cepat ini juga memiliki tantangan aksesibilitas karena penumpang tidak langsung sampai ke tengah Kota Bandung, melainkan ke Padalarang dan Tegalluar.

Pada 23 November, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo membenarkan, nasib KA Argo Parahyangan tengah dikaji bersama Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia (Persero). "Belum (diputuskan). Itu sedang kami kaji dengan Pak Didiek (Dirut KAI) dan Pak Menhub. Nanti, sebelum (kereta cepat) beroperasi, kami akan melakukan survei lagi mengenai minat masyarakat dan kemampuan bayar," ujar pria yang akrab disapa Tiko tersebut.

Maket kereta cepat di proyek Tunnel Section 1 Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Halim, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Mencuat Lewat Omongan Pejabat

Di samping pernyataan Tiko, sejumlah pejabat pemerintahan menguatkan wacana tersebut dalam berbagai kesempatan. Salah satunya Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, yang membenarkan rencana tersebut. Adapun Menteri BUMN Erick Thohir sempat mengatakan bahwa kebijakan tersebut ada di tangan Menteri Perhubungan. Erick juga menyatakan, jika jadi ditutup, sarana dan prasarana Argo Parahyangan bisa dialihkan untuk kereta barang, sementara penumpang menggunakan kereta cepat.

Diskusi mengenai kebijakan Argo Parahyangan juga menghangat di media sosial Twitter setelah bekas Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, mencuit soal isu tersebut pada 30 November. Ia menanggapi pemberitaan mengenai konfirmasi Luhut atas rencana tersebut. Cuitan Said lantas ditanggapi oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. "Kalau ada kemajuan teknologi, maka kita akan pilih yang memajukan. Coba bandingkan tiket (kelas) bisnis Argo Parahyangan dengan tiket kereta cepat."

Namun, dalam kesempatan lain, Arya menjelaskan bahwa kehadiran kereta cepat tidak serta-merta membuat layanan Argo Parahyangan dihapus. Sebab, kereta tersebut juga melayani segmen ekonomi yang berbeda dengan kereta cepat Jakarta-Bandung. “Kalau (kelas) ekonomi sih, tidak mungkin lah (dihapus). Penumpang yang (memilih kelas) ekonomi itu pasti tetap ada," ujarnya, Selasa kemarin.

Ia meyakini masyarakat akan membandingkan Argo Parahyangan kelas eksekutif--yang tiketnya dibanderol sekitar Rp 150-170 ribu--dengan layanan kereta cepat lantaran harganya tidak terlalu berbeda. Sementara itu, dari sisi waktu tempuh, kereta cepat dua jam lebih cepat dari KA Argo Parahyangan yang waktu tempuhnya mencapai 3 jam perjalanan.

"Untuk (kalangan) menengah-atas dengan perbandingan segitu, kan mikir. Lagi pula Parahyangan kelas eksekutif susah dapatnya, pasti full terus. Kami sedang bahas dengan teman-teman di Kemenhub," ujar Arya.

Ia juga menepis kabar bahwa pemerintah tengah mengkaji alih fungsi Argo Parahyangan menjadi kereta barang. Menurut dia, Erick Thohir hanya menceritakan bahwa pemerintah akan mengembangkan ekosistem kereta barang di Pulau Jawa. Khususnya yang terhubung dengan Bandar Udara Kertajati dan Pelabuhan Patimban.

Kereta cepat di Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 13 Oktober 2022. TEMPO/Prima mulia

Kereta Cepat Diarahkan untuk Segmen Baru

Lantaran telah ramai diperbincangkan publik, nasib Argo Parahyangan pun menjadi pertanyaan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Perhubungan, dan PT KCIC, kemarin.

Dalam rapat tersebut, pelaksana tugas Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub, Mohamad Risal Wasal, mengatakan, dalam jangka pendek, kementeriannya belum berencana menghentikan layanan kereta penumpang Jakarta-Bandung tersebut.

"Karena pangsa pasarnya juga berbeda. Argo Parahyangan akan tetap hidup sampai kami lihat hasil kajiannya seperti apa," ujar Risal. Ia juga menegaskan Argo Parahyangan adalah kereta penumpang, sehingga sarananya bukan untuk mengangkut barang. Namun, apabila kereta cepat sudah beroperasi, tidak tertutup kemungkinan layanan kereta barang akan ditingkatkan di jalur kereta reguler. "Argo Parahyangan akan tetap ada, angkutan barang juga kami tingkatkan di sana."

Risal pun tidak sepakat kalau kereta cepat dan Argo Parahyangan nantinya dianggap bersaing. Menurut dia, dua produk layanan kereta tersebut saling melengkapi lantaran pangsa pasar dan jalurnya berbeda.

KA Argo Parahyangan saat ini melayani pemberangkatan dan perhentian di Stasiun Bandung, Cimahi, Bekasi, Jatinegara (Jakarta Timur), dan Gambir (Jakarta Pusat), dan sebaliknya. Sementara itu, kereta cepat hanya melayani Stasiun Halim Perdanakusuma (Jakarta Timur), Karawang, Padalarang (Kabupaten Bandung Barat), dan Tegalluar (Kabupaten Bandung).

Dengan rute yang berbeda tersebut, Risal meyakini kereta cepat Jakarta-Bandung akan membentuk dan menyerap pasar baru. Misalnya masyarakat yang tinggal di perumahan di sekitar Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, serta pekerja di kawasan industri Karawang. Alih-alih saling berebut pasar antar-layanan kereta, ia mengatakan pemerintah berharap pengalihan justru terjadi di pengguna kendaraan pribadi ke kereta cepat.

"Yakinlah, nilai waktu kita akan lebih tinggi ketika ada kereta cepat. Budaya (bertransportasi) kita akan berubah," ujar dia.

Sementara itu, VP Public Relations PT KAI, Joni Martinus, mengatakan Argo Parahyangan sejauh ini masih beroperasi dengan tujuh rangkaian kereta per hari pada Selasa dan Rabu, serta sepuluh rangkaian kereta per hari pada Kamis hingga Senin. Ia memastikan okupansi layanan kereta tersebut masih cukup baik, yakni di kisaran 70-100 persen setiap perjalanan.

Adapun untuk kereta barang, Joni mengatakan KAI selama ini sudah melayani angkutan peti kemas di jalur Jakarta-Bandung maupun sebaliknya. Setiap dua hari sekali, ujar dia, Perseroan mengangkut 450 ton peti kemas dari Stasiun Jakarta Gudang menuju Stasiun Gedebage, Bandung, dan sebaliknya. "KAI akan terus mengkaji berbagai rencana operasi, baik untuk angkutan penumpang maupun barang pada rute tersebut, dengan terus berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan."

Penutupan Argo Parahyangan Akan Rugikan PT KAI

Pengajar Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengingatkan rencana penutupan Argo Parahyangan belum tentu menjamin keterisian kereta cepat sesuai dengan target. Musababnya, masyarakat punya opsi lain seperti angkutan jalan raya. "Kecuali tarif jalan tol ikut dinaikkan, itu baru afdol," ujar Djoko.

Djoko pun mengingatkan bahwa penghapusan Argo Parahyangan justru akan merugikan PT KAI. Sebab, kalaupun jumlah pengguna kereta cepat bertambah dan sesuai dengan target, keuntungan dari penjualan tiket kereta cepat tidak seratus persen masuk kas PT KAI, lantaran harus dibagi kepada perusahaan-perusahaan anggota konsorsium. Padahal, selama ini, keuntungan dari operasi Argo Parahyangan seratus persen untuk KAI.

Di sisi lain, KAI--sebagai pemimpin konsorsium Indonesia di PT KCIC--dibebani rencana utang tambahan kepada China Development Bank untuk membiayai cost overrun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Perseroan juga berpotensi menanggung beban operasi setelah layanan kereta cepat bergulir. "Yang ada, KAI jadi babak belur," ujar Djoko.

Alih-alih memusingkan potensi persaingan antara kereta cepat dan Argo Parahyangan, ia menyarankan pemerintah segera membenahi konektivitas dari kota ke stasiun sepur kilat yang berada di pinggiran. Tanpa konektivitas yang baik, Djoko meyakini kereta cepat belum akan menjadi pilihan masyarakat.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi, Deddy Herlambang, juga menyarankan pemerintah berfokus menggarap pasar potensial kereta cepat. Misalnya segmen masyarakat kelas atas yang mampu membeli tiket seharga Rp 250 ribu sekali jalan, ataupun warga yang tinggal di radius 10 kilometer dari stasiun kereta cepat. Pasalnya, harga tiket dan jarak menjadi titik lemah kereta cepat saat ini.

"Orang dari Jakarta Pusat atau Selatan, ngapain harus jalan jauh ke Halim. Kereta cepatnya juga kan enggak langsung ke Bandung. Perlu transit lagi," tutur Deddy. Karena itu, ia sepakat bahwa akses cepat menuju stasiun menjadi penting kalau mau memperbesar pasar kereta cepat.

CAESAR AKBAR | IDHAM VIRYAWAN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus