Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha mengeluhkan biaya tambahan di luar pelabuhan yang tidak jelas layanannya.
Agen kargo memungut biaya besar yang tak jelas aturannya di luar pelabuhan.
Biaya tambahan di luar pelabuhan masih bersifat subyektif, belum ada patokannya.
JAKARTA – Importir dan eksportir mengeluhkan biaya tambahan yang dibebankan oleh agen kargo di luar pelabuhan. "Agen kargo mengenakan biaya yang besarnya ugal-ugalan. Padahal kami tidak mendapatkan jasa atau pelayanannya," kata Subandi, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subandi mengatakan biaya berlapis ini dirasakan pemilik barang atau consignee dalam dua tahun terakhir. Karena jasa atau pelayanannya tak terasa, importir menyebutkan biaya ini sebagai tarif siluman. Dampaknya, biaya logistik kian mahal dan harga barang yang ditanggung konsumen bakal meningkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subandi memberi gambaran, agar barangnya bisa keluar dari pelabuhan, consignee atau importir harus memiliki dokumen delivery order (DO). DO dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran setelah importir menyerahkan bill of lading (BL) atau surat perjanjian pengangkutan. Saat hendak menebus DO, agen kargo memberikan sejumlah tagihan. Kalau tidak dibayar, kata dia, agen tidak akan menyerahkan DO, sehingga barang tak bisa keluar dari pelabuhan.
Pekerja membongkar-muat peti kemas di IPC Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 26 Oktober 2021. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Berdasarkan sampel dokumen tagihan (invois) yang diperoleh Tempo, agen memungut banyak biaya dari importir, seperti terminal handling charge (THC) sebesar Rp 1,42 juta per kontainer; equipment handling charge (EHC) sebesar Rp 1,28 juta per kontainer, dan terminal inspection service (TIS) charge sebesar Rp 800 ribu per kontainer.
Biaya lainnya adalah lift-on/lift-off (LOLO) sebesar Rp 720 ribu per kontainer, biaya DO sebesar Rp 320 ribu per kontainer, biaya administrasi Rp 720 ribu per kontainer, jasa kebersihan Rp 12,8 juta untuk 20 kontainer atau Rp 640 ribu per kontainer, serta kongesti (congestion recovery surcharge) sebesar Rp 480 ribu per kontainer.
Subandi mengatakan total biaya tambahan yang harus dibayar importir mencapai Rp 3 juta per kontainer. Rata-rata importir, kata dia, harus menebus DO dengan biaya Rp 118 juta. “Bayangkan, kami harus membayar biaya itu setiap kedatangan barang,” kata Subandi. Padahal, menurut dia, biaya di pelabuhan maksimal Rp 45 juta dengan jumlah kontainer yang sama.
Sebelum ada pungutan liar tersebut, Subandi mengatakan importir harus menyerahkan uang deposit atau jaminan kepada operator pelayaran jalur utama (main line operator). Namun, kata dia, skema biaya itu ditolak importir karena ketidakjelasan potongan saat pengembalian jaminan. Setelah kewajiban tersebut ditiadakan, Subandi mengatakan pungutan-pungutan tersebut ditagih kepada consignee. "Biaya-biaya itu tidak sama dikenakan oleh agen satu dan agen lainnya karena memang tidak ada standar dan pelayanannya pun tak jelas. Semakin hari, semakin tidak terkontrol biayanya," ujar dia.
Subandi menduga pengenaan biaya di luar pelabuhan tidak terlepas dari momen pemulihan ekonomi yang tengah terjadi. Pasalnya, kinerja impor mulai bergerak menuju normal setelah berbulan-bulan berjalan tidak seimbang dengan aktivitas ekspor. Melihat peluang itu, agen kargo membeli ruang kontainer ke perusahaan pelayaran. "Mereka seperti memborong tiket, lalu mereka jual ke pelaku perdagangan dengan lebih mahal," ujar dia.
Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo), Toto Dirgantoro, menuturkan secara umum biaya pelayaran memang meningkat. Dia mengatakan eksportir juga harus menanggung biaya tambahan, seperti biaya pelayaran yang bisa naik hingga 800 persen. "THC, yang biasanya sebesar US$ 95, dibayar dengan kurs yang serampangan. Ini otomatis menyebabkan biaya tinggi," ujar Toto.
Toto berujar perusahaan forwarding atau jasa pengangkutan barang juga memungut biaya lebih dari ketentuan, seperti biaya dokumen. Menurut dia, biaya-biaya liar itu sudah beberapa kali dilaporkan kepada Kementerian Perhubungan, tapi tindak lanjutnya belum kelihatan.
Ketua Umum Indonesian National Shipowners' Association (INSA), Carmelita Hartoto, mengatakan pungutan yang dikenakan oleh perusahaan pelayaran menggunakan skema business-to-business, sehingga tidak ada pungutan yang mengada-ada. Dia menyebutkan rantai logistik pengiriman barang cukup panjang, dari gudang pelayaran, pengiriman jalur darat (trucking), depo, pengangkutan barang (forwarding), agen barang, pelabuhan LOLO, hingga pelayaran. "Jika mau membuat biaya logistik efisien, dibedah saja biaya-biaya yang timbul pada mata rantai tersebut. Adakah yang tidak wajar atau yang ditagihkan tanpa ada jasanya," ujar dia.
Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), Carmelita Hartoto. TEMPO/Imam Sukamto
Menurut Carmelita, aktivitas ekonomi yang mulai aktif ini menyebabkan permintaan yang lebih tinggi terhadap pelayaran dibanding pasokan keberadaan ruang kapal. Fenomena itu telah menjadi masalah internasional akibat kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan kongesti atau penimbunan kontainer di banyak pelabuhan. "Maka perputaran kontainer dan kapal tersendat," ujar Carmelita.
Wakil Ketua Umum Indonesia Shipping Agency Asociation (ISAA), Reinhard L.B. Tobing, mengatakan peluang pungutan liar di pelabuhan sebetulnya sangat kecil. Menurut dia, saat ini sudah ada teknologi seperti Inaportnet atau sistem informasi standar pelayanan kapal dan barang, serta Customs-Excise Information System and Automation (CEISA) yang menghubungkan pengguna jasa dengan aparat bea dan cukai.
Kalaupun ada, kata Reinhard, pungutan tambahan bisa saja dikenakan pada saat pengambilan DO oleh agen perusahaan pelayaran asing. Menurut dia, agen tersebut bertindak sebagai perwakilan perusahaan pelayaran asing. "Kami akui masih ada anggota kami yang menjadi agen dari perusahaan pelayaran asing. Hal itu menjadi perhatian kami. Seharusnya hanya biaya DO, tidak ada biaya lain," ujar dia.
Dalam prosesnya, agen perusahaan pelayaran asing akan mengeluarkan DO kepada consignee (penerima barang) atau importir yang biasanya dilakukan oleh ekspedisi muatan (freight forwarder) untuk pengambilan barang. Menurut Reinhard, agen perusahaan pelayaran asing sebagian besar adalah perwakilan dari Prancis, Jepang, Cina, Singapura, dan Malaysia yang bertindak sebagai agen, serta sebagian lagi diakui sebagai perusahaan keagenan kapal anggota ISAA. "Kami akan mengatur anggota agar pungutan-pungutan itu tidak diberlakukan. Ada konsekuensi apabila tetap dilakukan, sampai pencabutan keanggotaan," ujar dia.
Pakar kemaritiman Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Saut Gurning, mengatakan jumlah kontainer memang masih terbilang cukup. Namun yang menjadi masalah adalah ruang muat kapal yang masih belum pasti, misalnya karena adanya kongesti di Amerika Serikat, Cina, ataupun Eropa yang menghambat kepastian ketersediaan kapal lain. Dengan kondisi ini, kata dia, muncul biaya tambahan. "Namun komponen biaya itu jadinya subyektif. Itu yang harus dinegosiasikan antara consignee dan pemilik kapal," kata Saut.
Dalam penyusunan struktur harga, ujar Saut, pelaku usaha logistik biasanya menghitung biaya yang dia keluarkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun biaya langsung itu berupa sumber daya manusia (SDM) hingga bahan bakar. Ia mengatakan jangan sampai komponen biaya tak langsung, seperti di luar pelabuhan yang tidak berkaitan dengan layanan, justru lebih besar. “Misalnya komponen investasi dan lainnya. Pungutan semacam ini harus diawasi pemerintah," ujar Saut.
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo