Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Harga bawang merah konsisten naik sejak April lalu hingga awal Agustus ini.
Pengusaha warteg tidak menaikkan harga karena takut ditinggalkan pelanggan.
Inflasi bahan pangan sangat tinggi, yaitu naik 10,8 persen secara tahunan.
JAKARTA — Tren kenaikan inflasi membuat para pengusaha warteg waswas. Mereka khawatir karena harga bahan baku terus naik. "Kami takut ke depan akan gimana kalau harga barang terus naik," kata Ketua Koperasi Warteg Nusantara, Mukroni, kepada Tempo, Senin, 1 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mukroni bercerita, anggotanya baru kembali mendapat harapan setelah melalui Ramadan dan Idul Fitri tahun ini. Pengusaha warteg mulai optimistis tak ada kendala dari sisi permintaan. Sebab, bahan pangan yang melonjak tetap diburu, yang menunjukkan adanya daya beli. Pelonggaran pembatasan kegiatan ikut mempengaruhi. Meski begitu, daya beli belum sepenuhnya pulih hingga kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah lain, harga bahan baku tak kunjung turun meski Lebaran berlalu. Salah satunya harga bawang merah. Sejak April atau sebulan sebelum Lebaran, harga bawang merah mencapai Rp 34.800 per kilogram dalam situs Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional milik Kementerian Perdagangan. Harga bawang merah konsisten naik hingga per kemarin Senin berada di angka Rp 51.700 per kilogram. Bahkan harga bawang merah sempat melonjak ke level Rp 64.800 per kilogram pada pekan kedua Juli lalu.
Mukroni mengatakan kenaikan harga pangan membuat para pengusaha warteg harus memutar otak untuk tetap bertahan. Menurut dia, menaikkan harga jual makanan bukan pilihan. "Kita tidak naikkan harga karena takut ditinggalkan," kata dia.
Penjual aneka kue di Pasar Ciracas, Jakarta. TEMPO/Subekti
Yang terpenting saat ini, kata Mukroni, adalah menjaga pemasukan. Dana tersebut terutama untuk membayar sewa tempat agar bisnis tidak tutup. Sebab, sekali berhenti operasi, tak mudah kembali membuka usaha.
Strategi yang tersisa adalah mengurangi keuntungan. Mukroni mengatakan butuh kreativitas untuk bisa efisien dan menjaga harga tetap murah. Pasalnya, persaingan semakin ketat dengan menjamurnya usaha makanan rumahan saat ini. Dia sendiri mencoba menawarkan paket makanan berisi lauk serta minumannya dengan harga Rp 10 ribu.
Dia berharap pemerintah segera mengantisipasi dampak inflasi ini. "Kalau gejolak harga sama saja, lalu kami dagang dengan keuntungan sedikit, sementara argo beban terus jalan, setengah tahun lagi biasanya tutup (toko wartegnya)," ujar Mukroni.
Menurut Ketua Asosiasi Industri UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, strategi serupa diterapkan hampir semua UMKM yang terkena dampak inflasi, terutama yang bergerak di sektor makanan. Tak banyak UMKM yang memilih menaikkan harga demi menjaga jumlah pelanggan.
Tanpa pelanggan, pemilik UMKM bakal kesulitan bertahan. Hermawati menuturkan, tidak semua pengusaha UMKM bisa mendapatkan akses keuangan yang baik. Kondisi ini mempersulit UMKM untuk berekspansi.
Salah satu cara menjaga harga adalah mencari bahan baku alternatif yang lebih murah. "Paling tidak, harganya bisa masuk dalam harga produksi, sehingga tidak perlu menaikkan harga," kata Hermawati. Selain itu, kata dia, beberapa anggota asosiasinya berupaya mengurangi volume barang dagang mereka agar tetap menjaga keuntungan tanpa menaikkan harganya.
Laju Menanjak Inflasi
Inflasi tercatat terus melonjak sejak April 2022. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi pada bulan tersebut sebesar 3,47 persen, naik dari Maret yang sebesar 2,62 persen. Inflasi konsisten naik hingga per Juli lalu yang tercatat mencapai 4,94 persen. Angka inflasi ini yang tertinggi sejak 2015.
Salah satu penyumbang inflasi Juli antara lain kenaikan harga bahan makanan. Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, menyatakan inflasi bahan pangan sangat tinggi, naik 10,8 persen secara tahunan. Penyebabnya adalah gangguan produksi karena cuaca, kenaikan harga pupuk bersubsidi, hingga efek kenaikan harga barang impor.
Bhima mengatakan kenaikan inflasi kali ini bukan termasuk yang bisa ditoleransi karena terus terjadi setelah Lebaran. "Yang dikhawatirkan, masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah, belum siap dengan kenaikan harga pangan," kata dia.
Bhima juga mencatat terjadi inflasi harga produsen sebesar 11,7 persen secara tahunan pada kuartal kedua tahun ini. Dia ragu kenaikan biaya di tingkat produsen akan ditransmisikan ke konsumen. "Akhirnya pelaku usaha harus melakukan berbagai efisiensi agar bisa bertahan," kata Bhima.
VINDRY FLORENTIN | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo