Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah aktivis mengkritik Saldi Isra yang menolak uji materi Undang-Undang KPK.
Saldi Isra dituding bermanuver politik untuk menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi.
Rapat hakim Mahkamah Konstitusi disebut memanas dan berjalan alot.
PESAN berisi kekecewaan dikirimkan Zainal Arifin Mochtar melalui WhatsApp kepada hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, pada Selasa, 4 Mei lalu. Beberapa jam sebelumnya, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan gugatan formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Majelis hakim yang beranggotakan Saldi menolak gugatan itu. Zainal merasa dongkol karena Saldi berada di barisan hakim yang menolak formil Undang-Undang KPK. “Saya sampaikan, saya akan menjadi orang yang paling keras mengkritik dia,” ujar Zainal kepada Tempo, Kamis, 6 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal dan Saldi berteman sejak bertahun lalu. Mereka sama-sama menekuni ilmu hukum tata negara dan terlibat gerakan antikorupsi. Zainal kini menjabat penasihat Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Adapun Saldi pernah memimpin Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uji materi Undang-Undang KPK diajukan tiga mantan pemimpin KPK, yaitu Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif, dan Saut Situmorang, pada November 2019. Mereka menilai proses revisi Undang-Undang KPK diwarnai kejanggalan. Di antaranya, tidak memenuhi rambu-rambu prosedural formil pembentukan undang-undang dan tidak melewati mekanisme program legislasi nasional prioritas di Dewan Perwakilan Rakyat. Gugatan ini ditolak seluruhnya.
Seperti Zainal, pegiat antikorupsi dari lembaga lain, semisal Indonesia Corruption Watch dan Pusako, berharap Saldi mendukung penguatan KPK. Direktur Pusako saat ini, Feri Amsari, menilai pendapat Saldi memupus mimpi Indonesia menjadi negeri bebas korupsi. Menganggap Saldi sebagai gurunya, Feri tak segan menyebutkan putusan seniornya itu tak berkualitas. “Saya bertanya-tanya, apakah ini titik balik dari Profesor Saldi,” ucapnya.
Saat membacakan putusan, Saldi menyatakan DPR sudah melibatkan masyarakat, termasuk pimpinan KPK, ketika membahas revisi Undang-Undang KPK. Ia juga menyebutkan DPR sudah mengajak pimpinan KPK untuk ikut membahas revisi, tapi mereka selalu absen. Dengan demikian, kata Saldi, tidak terlibatnya KPK bukan merupakan sikap dari pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah.
Kepada Tempo, Saldi mengaku menerima banyak pesan berisi kekecewaan seusai pembacaan putusan. Ia mengaku tak marah. “Ini risiko menjadi seorang hakim,” ujarnya lewat jawaban tertulis pada Sabtu, 8 Mei lalu. Saldi membalas pesan-pesan itu dengan menjelaskan bahwa sikapnya tersebut dilakukan agar bisa terlibat dalam majelis hakim gugatan materiil Undang-Undang KPK. Pada saat bersamaan, Mahkamah Konstitusi memproses pengujian materiil soal kewenangan memberikan izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan di Dewan Pengawas KPK.
Menurut dia, ada kebijakan yang menyebutkan hakim Mahkamah Konstitusi tidak akan diminta memberikan pendapat substansi uji materiil jika sebelumnya mengabulkan permohonan uji formil terhadap satu obyek yang sama. Ia mengklaim berjuang dengan ikut menyusun argumentasi putusan uji materiil. Saldi bahkan mengirimkan pesan fikih ke sejumlah koleganya yang menyatakan, “Barang siapa tidak bisa mendapatkan seluruhnya, maka jangan tinggalkan secara keseluruhan.”
Namun mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mohammad Mahfud Md., membantah kebijakan tersebut. Ia mengatakan tak ada aturan yang melarang hakim dilibatkan dalam pembahasan dan putusan sidang uji materiil jika mengabulkan permohonan uji formil. “Siapa bilang tidak bisa? Harus ikut semua di setiap sidang formil ataupun materiil,” katanya pada Jumat, 7 Mei lalu.
Sejumlah aktivis antikorupsi pun menganggap penjelasan Saldi hanya untuk menutupi manuver politiknya. Sejumlah pihak menyebutkan Saldi, yang menjadi hakim konstitusi sejak April 2017, tengah mengincar kursi Ketua Mahkamah Konstitusi. Namanya pernah digadang-gadang menggantikan Ketua Mahkamah sebelumnya, Arief Hidayat, pada 2018.
Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, juga melentingkan dugaan keinginan Saldi itu dalam grup WhatsApp seusai pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi. Dimintai tanggapan, Azyumardi mengatakan kabar itu hanya selentingan. Ia mengaku tak mengetahui persis sumber informasi itu.
Saldi Isra, di gedung MK, Jakarta, Kamis, 3 Agustus 2017./TEMPO/STR/Rizki Putra
Saldi Isra membantah tudingan tersebut. Sebab, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan masa jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dapat diperpanjang secara otomatis. Dengan begitu, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang menjabat sejak 2018, bisa terpilih lagi setelah kepemimpinannya berakhir pada April 2023. “Lagi pula belum ada jaminan saya masih menjabat hakim MK hingga April 2023,” ucap Saldi.
Satu-satunya hakim yang berbeda pendapat dalam gugatan tersebut adalah Wahiduddin Adams. Ia menyoroti proses pengesahan revisi Undang-Undang KPK yang dianggap tergesa-gesa. Kala itu, pengesahan Rancangan Undang-Undang KPK dilakukan di pengujung masa jabatan Presiden Joko Widodo dan DPR periode 2014-2019. Padahal undang-undang itu mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.
Kepada Tempo, Wahiduddin mengatakan pendapatnya itu sudah disampaikan dalam rapat permusyawaratan hakim sebelum dibacakan di sidang. Tak ada poin yang berubah. Ia mengatakan tidak menerima kecaman atas putusan itu. Ia juga tak merasa berada di bawah tekanan. “Tidak ada permintaan dalam bentuk apa pun agar saya menolak uji formil itu,” ujarnya pada Kamis, 6 Mei lalu.
Anggota Komisi Hukum DPR, Trimedya Panjaitan, mengaku mendengar kabar bahwa rapat hakim yang membahas putusan gugatan sempat memanas. Salah satu dampaknya, sidang pembacaan putusan yang dijadwalkan pukul 09.00 molor menjadi sekitar pukul 14.00. “Pasti berjalan alot,” tutur politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Seorang anggota Komisi Hukum lain bercerita, ada barter antara DPR dan sejumlah pihak di Mahkamah Konstitusi di balik putusan penolakan uji formil dan mengabulkan sebagian uji materiil Undang-Undang KPK. Ia mengatakan DPR sebelumnya sudah “membantu” Mahkamah Konstitusi dengan mengabulkan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada akhir September tahun lalu. Contoh isinya, DPR mengabulkan pasal yang memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi hingga berusia 70 tahun.
Menurut Zainal Arifin Mochtar, pasal masa jabatan hakim konstitusi itu juga berpotensi menjadikan Mahkamah Konstitusi seperti kerajaan karena hakim konstitusi bisa menjabat selama 20 tahun. “Ini bukti bahwa sangat santer ada terdengar tukar-menukar pasal itu dengan kepentingan DPR,” ujarnya.
Trimedya Panjaitan membantah adanya barter ini. Namun ia tak menampik anggapan yang menyebutkan selalu ada proses lobi di balik pembahasan dan pengesahan undang-undang. Ia menganggap tindakan itu halal asalkan tak menggunakan uang sebagai balas jasa. “Terlalu banyak syak wasangka ke DPR,” katanya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, BUDIARTI UTAMI PUTRI, DAVID PRIYASIDHARTA (BANYUWANGI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo