Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penetapan label teroris untuk kelompok bersenjata di Papua disebut-sebut tak bulat.
Ideologi kelompok bersenjata disebut tidak seperti ISIS dan Al-Qaeda.
Sebagian kelompok TPNPB disebut masih membuka ruang dialog.
DIGELAR di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 26 April lalu, rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo membahas tewasnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua Mayor Jenderal Anumerta I Gusti Putu Danny Nugraha Karya sehari sebelumnya. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Mahmodin bercerita, Presiden memerintahkan anak buahnya untuk menindak tegas kelompok kriminal bersenjata yang menembak Putu Danny. “Presiden meminta pengejaran dilakukan,” ujar Mahfud kepada Tempo di kantornya, Jumat, 7 Mei lalu.
Menurut Mahfud, Jokowi juga berpesan supaya tak ada pelanggaran hak asasi manusia dalam perburuan kelompok bersenjata. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh para pejabat bidang politik, hukum, dan keamanan. Mereka antara lain Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Putu Danny tewas setelah tertembak di bagian kepala saat berkunjung ke Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Deputi Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan Danny terlibat baku tembak dengan kelompok bersenjata saat mengobservasi pemulihan keamanan di wilayah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat Koordinasi Perkembangan Situasi Keamanan Terkini Papua bersama Kepala Staff KSP Moeldoko (tengah) di Gedung Bina Graha Jakarta, 26 April 2021. ksp.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moeldoko, yang hadir dalam rapat di Istana, mengatakan instruksi perburuan kelompok bersenjata dari Presiden ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi sejumlah perwakilan lembaga negara di kantornya. “Kami menerjemahkan perintah Presiden dan mengevaluasi kondisi di Papua,” ujar Moeldoko. Seorang peserta rapat mengatakan salah satu pembahasan adalah rencana penetapan status teroris untuk Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar mengaku memberikan pemaparan soal peningkatan status tersebut. Rencana itu sempat dimunculkan Boy pada pekan keempat Maret lalu. Menampung masukan dari sejumlah pihak, Boy menilai tindakan kelompok bersenjata telah memenuhi unsur tindak pidana terorisme. “Dengan penetapan status terorisme, kita juga bisa melacak aset pihak-pihak yang memberikan bantuan,” tutur Boy.
Rencana penetapan status itu juga menimbulkan pro-kontra. Menurut dua peserta rapat, ada perwakilan lembaga yang belum sepakat. Salah satunya datang dari kepolisian yang menilai kelompok bersenjata di Papua sesungguhnya tidak memiliki ideologi teroris seperti Al-Qaidah atau Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal Imam Sugianto membantah jika kepolisian disebut tak sepakat dengan rencana penyematan status teroris. Imam mengaku membahas operasi penegakan hukum di Papua. Namun dia enggan menjelaskan kajian lembaganya soal status teroris untuk kelompok bersenjata. “Kalau sudah diputuskan pemerintah, kebijakan itu harus diamankan,” ucapnya.
Menteri Mahfud Md. mengatakan status teroris juga dibahas beberapa kali di kantornya. “Gagasan itu sudah lama muncul,” tuturnya. Situs Kantor Staf Kepresidenan menyebutkan bahwa Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksmana juga menyampaikan bahwa istilah kelompok bersenjata sudah tak tepat lagi. Ada sejumlah pihak mengusulkan peningkatan status sebagai kelompok separatis-teroris. Kala dimintai tanggapan soal dukungannya terhadap cap teroris untuk milisi di Papua, Teddy enggan memberikan keterangan.
Adapun Mahfud Md. membantah jika pemerintah disebut tak satu suara. Menurut dia, dalam rapat di kantornya pada Kamis, 29 Mei lalu, semua peserta rapat mengambil keputusan bulat, kelompok bersenjata bisa dihadapi dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu alasannya, kelompok itu telah menebar teror dengan membunuh warga sipil dan aparat keamanan serta merusak dan membakar gedung pemerintah juga sekolah.
Direktur Eropa I Kementerian Luar Negeri Ida Bagus Made Bimantara menilai penetapan status teroris tersebut sudah tepat. Dia merujuk pada Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1373 yang mendorong setiap negara menerapkan langkah untuk mencegah dan menangani terorisme. Menurut Made, hingga Jumat, 7 Mei lalu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau negara lain tak ada yang mempertanyakan status tersebut. “Justru ironis di mata internasional kalau Indonesia tidak melakukan langkah penegakan hukum terhadap aksi terorisme,” ucapnya.
•••
SETELAH label teroris disematkan kepada kelompok bersenjata di Papua, Tentara Nasional Indonesia menerjunkan pasukan tambahan ke Papua. Selain personel yang tergabung dalam operasi Nemangkawi, TNI menyiapkan 400 prajurit dari Satuan Tugas Pengamanan Daerah Rawan Batalion Infanteri 315/Garuda. Menurut seorang petinggi militer, 200 personel Komando Pasukan Khusus juga telah diperbantukan di Papua.
Di Kabupaten Intan Jaya, Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Papua Frits Ramandey menyaksikan peningkatan jumlah personel keamanan beberapa hari setelah penetapan status teroris. “Ada penambahan pos keamanan di jalur utama kabupaten,” katanya. Frits juga menerima laporan bahwa kondisi serupa terjadi di wilayah lain, seperti di Kabupaten Mimika, Nduga, dan Puncak. Daerah-daerah itu termasuk rawan konflik. Frits khawatir penambahan pasukan itu akan meningkatkan angka kasus pelanggaran hak asasi manusia dan menimbulkan gelombang pengungsian.
Namun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengklaim aparat keamanan telah mengatur strategi agar tak ada pelanggaran hak asasi manusia. Salah satunya, memetakan kelompok bersenjata dan tidak menganggap semua orang Papua sebagai teroris. Setidaknya ada 19 kelompok bersenjata yang tergolong sebagai teroris. Aparat di lapangan, menurut Mahfud, juga telah diwanti-wanti agar tidak sembarangan menembak.
Status teroris tetap mengundang gelombang penolakan dari berbagai kalangan. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Chairul Anam mengatakan label teroris semakin menutup ruang dialog perdamaian di Tanah Papua. “Kecil kemungkinan menyelesaikan konflik Papua dengan jalur damai karena pemerintah tak mungkin berdialog dengan kelompok teroris,” ujar Anam. Adapun Gubernur Papua Lukas Enembe meminta pemerintah mengkaji ulang status tersebut.
Agar ruang dialog tak tertutup, Ketua Komnas HAM Papua Frits Ramandey menemui empat pentolan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di sejumlah wilayah. Menurut dia, mereka menyampaikan tiga sikap, yaitu menolak cap teroris, membuka ruang dialog, dan Komnas HAM memediasi dialog tersebut. “Jadi sebenarnya mereka juga ingin dialog,” tutur Frits.
Namun juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, mengatakan kelompok prokemerdekaan siap melawan tentara dan polisi yang bertugas di Papua. Dia juga meminta para kepala daerah serta aparatur sipil di Papua mencopot baju dinasnya dan bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Papua. “Kami semua mau merdeka,” ujarnya.
•••
MANUVER pemerintah Indonesia dalam mencegah kemerdekaan Papua tak hanya dilakukan dengan melawan kelompok bersenjata. Pemerintah juga berupaya mengegolkan perpanjangan otonomi khusus yang akan berakhir pada November tahun ini. Wakil Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dari Fraksi Gerindra, Yan Permenas Mandenas, mengatakan pada 8 April lalu Menteri Dalam Negeri meminta agar draf selesai dibahas pada Juni. “Namun kami menetapkan target awal Juli rampung,” ucap Yan pada Rabu, 5 Mei lalu.
Guna mempercepat pembahasan, sejumlah anggota panitia khusus pun berkunjung ke beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat pada 2-3 Mei lalu. Anggota panitia khusus dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, bercerita, dalam rapat di kantor Gubernur Papua Barat di Manokwari, sempat terjadi perdebatan soal kenaikan dana otonomi khusus yang hanya sebesar 0,25 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum nasional. Para pejabat daerah yang hadir juga mempertanyakan tidak dilibatkannya perwakilan Papua dalam pembahasan otonomi khusus. Namun Guspardi menjawab secara diplomatis bahwa aspirasi itu akan dibahas dalam rapat dengan pemerintah.
Presiden RI Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait gugurnya Kabinda Papua Mayjen Anumerta I Putu Danny, di tana Merdeka, Jakarta, 26 April 2021. BPMI Setpres
Yan Permenas menambahkan, selain persoalan otonomi khusus, para pejabat di Papua menanyakan rencana pemerintah pusat memecah wilayah. Sebelumnya, dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat pada 8 April lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Papua akan dipecah menjadi enam provinsi. Yaitu Papua Barat Daya, Papua Barat, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tabi Saireri. Tito juga meminta agar pemecahan wilayah itu dilakukan langsung oleh pemerintah pusat dan tak perlu meminta pandangan Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat.
Namun rencana itu juga ditolak berbagai kalangan di Papua. Sekretaris Fraksi Gabungan II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua Alfred Fredy Anouw mengatakan gelombang penolakan otonomi khusus dan pemecahan wilayah terjadi di berbagai wilayah. Sebelumnya, Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib juga meminta proses pemekaran wilayah tetap melibatkan lembaganya agar terpenuhinya aspirasi rakyat Papua tetap terjamin.
DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI DONGORAN, RAYMUNDUS RIKANG, TABLOID JUBI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo