Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pegawai KPK yang mengikuti tes wawasan kebangsaan mendapat pertanyaan pribadi hingga urusan seksualitas.
Dewan Pengawas KPK tak satu suara mengenai rencana pemecatan 75 pegawai KPK.
Tes diduga hanya akal-akalan pimpinan KPK untuk menyingkirkan para pegawai yang kritis.
MENGIKUTI tes wawancara pada akhir Maret lalu, Novel Baswedan berhadapan dengan dua laki-laki di satu ruangan di lantai enam gedung Badan Kepegawaian Negara (BKN), Jakarta Timur. Tanpa basa-basi, seorang di antaranya langsung melemparkan pertanyaan tentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi kepada penyidik senior KPK itu. “Menurut Mas Novel, revisi undang-undang melemahkan KPK?” kata Novel menirukan pertanyaan itu kepada Tempo, Jumat, 7 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novel lalu menyitir sejumlah pendapat pakar hukum yang menganggap revisi Undang-Undang KPK menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berikutnya, pewawancara menanyakan arti nasionalisme bagi Novel. Tak nyaman dengan pertanyaan itu, Novel menjawab bahwa korupsi merupakan tindakan mengkhianati nasionalisme. Ia juga menceritakan pengalamannya saat memimpin pasukan di Aceh ketika masih menjadi polisi. “Kurang nasionalis apa lagi?” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama satu jam, Novel menjalani tes wawancara itu. Tercatat 1.379 pegawai KPK dari berbagai level mengikuti ujian tertulis dan wawancara di BKN. Sejumlah pegawai yang dihubungi Tempo mengaku mendapat pertanyaan aneh bin ajaib dalam tes wawancara. Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono bercerita, dia ditanyai alasan menyekolahkan anaknya di sekolah dasar Islam terpadu dan tentang doa qunut. Giri juga dimintai pendapat mengenai Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, hingga sosok Muhammad Rizieq Syihab. Giri menjawab semua pertanyaan itu secara normatif.
Sebagian pertanyaan sama sekali tak terkait dengan nasionalisme ataupun pekerjaan mereka di KPK. Seorang pegawai KPK mengaku ditanyai mengenai masalah pornografi dan pesta seks. Ada juga anggota staf perempuan yang diwawancarai tentang alasan belum menikah dan gaya pacaran. Bahkan ada pewawancara yang menanyakan kesediaan pegawai perempuan untuk menjadi istri keduanya alias menjalani poligami. Pada kesempatan yang lain, seorang pegawai diminta membaca doa makan dan melafalkan syahadat.
Pada Selasa, 27 April lalu, Novel Baswedan dan sejumlah pegawai KPK mendapatkan bocoran hasil tes. Ada 75 pegawai dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan. Di antaranya sebelas penyidik, termasuk Novel. Penyidik senior lain, seperti Ambarita Damanik dan Afief Julian Miftah, juga tak lulus. Padahal mereka tercatat membongkar berbagai kasus jumbo. Novel, misalnya, menyibak kasus korupsi simulator pembuatan surat izin mengemudi, suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, hingga suap ekspor benur yang menjerat bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Giri Suprapdiono juga tidak lulus. Saat dimintai konfirmasi, Giri mengatakan sudah mengetahui kabar itu. “Hasil tes wawasan kebangsaan itu tentu saja mengagetkan,” katanya. Giri mengaku tak mengetahui faktor yang menyebabkan dia tak lulus. Pejabat eselon II lain yang tak lulus adalah Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi Sujanarko.
Giri dan Sujanarko adalah pegawai generasi awal saat KPK berdiri pada 2003. Pada Desember 2020, Giri meraih penghargaan Makarti Bhakti Nagari dari Lembaga Administrasi Negara. Penghargaan ini diberikan kepada peserta terbaik kedua program pendidikan dan latihan kepemimpinan nasional bagi para pejabat eselon II pemerintah. Adapun Sujanarko mendapat anugerah Satyalancana Wira Karya pada 2015 karena dianggap berjasa membangun jaringan kelembagaan KPK.
Ketua KPK Firli Bahuri memberikan keterangan pers terkait pengumuman hasil asesmen tes wawasan kebangsaan dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara oleh Badan Kepegawaian Negara RI, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu, 5 Mei 2021. Foto : TEMPO/Imam Sukamto
Menanggapi ketidaklulusan 75 pegawai gedung merah-putih—warna gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan—Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan lembaganya tak terlibat dalam pembuatan materi tes. Ia menyebutkan materi itu disusun oleh tim gabungan BKN, Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis, dan Tentara Nasional Indonesia. “Mohon maaf itu bukan materi dari KPK,” ucapnya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) disebutkan juga ikut menyusun pertanyaan tes wawasan kebangsaan. Kepala BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar enggan menjawab soal tes ini. Begitu pula Deputi Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto tak merespons pertanyaan Tempo hingga Sabtu, 8 Mei lalu.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan lembaganya hanya menjadi pelaksana ujian. Haria menyatakan tes wawasan kebangsaan merupakan prosedur yang lazim dijalani setiap calon aparatur negara. Namun pertanyaan yang diajukan berbeda dengan seleksi pegawai pemula. “Yang jadi alat ukurnya adalah penilaian rekam jejak, integritas, dan indeks moderasi bernegara,” katanya.
Hingga Sabtu, 8 Mei lalu, pimpinan KPK tak kunjung membuka hasil tes. Di lingkup internal KPK beredar kabar bahwa petinggi lembaga itu telah berkoordinasi dengan BKN dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Mereka sudah menyerahkan semua nama dan memberikan nomor induk pegawai kepada para peserta yang lulus seleksi. Sedangkan mereka yang tidak lulus tak akan mendapat nomor induk. Bima Haria Wibisana mengelak menjawab pertanyaan mengenai pemberhentian 75 pegawai KPK. Ia melempar bola ke KPK.
Berdasarkan dokumen yang beredar di lingkup internal KPK, Firli Bahuri sudah mengeluarkan surat keputusan untuk mereka yang tak lulus tes wawasan kebangsaan. Mereka diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan masing-masing sambil menunggu keputusan lebih lanjut. Artinya, penyidik seperti Novel Baswedan dan Ambarita Damanik tak lagi berwenang menangani kasus korupsi.
•••
TES wawasan kebangsaan sejatinya tak tercantum dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi yang diteken Presiden Joko Widodo pada 17 Oktober 2019. Pasal 69C aturan itu hanya menyebutkan pegawai KPK akan beralih menjadi aparatur sipil negara (ASN) paling lama dua tahun sejak undang-undang tersebut berlaku.
Namun pasal itu menjadi landasan bagi Ketua KPK Firli Bahuri untuk menerbitkan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Pasal 5 butir 4 aturan tersebut menyebutkan KPK menggelar tes wawasan kebangsaan bersama Badan Kepegawaian Negara untuk memastikan pemenuhan syarat menjadi aparatur negara.
Rancangan Peraturan KPK tentang pengalihan status sebagai pegawai negeri disosialisasi sejak Agustus tahun lalu. Seorang pegawai KPK yang ditunjuk menjadi anggota tim sosialisasi mengatakan tes wawasan kebangsaan tak pernah ada di draf awal. Butir tersebut bahkan tak ada saat diajukan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diundangkan.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM akhirnya mengesahkan Peraturan KPK Nomor 1 pada 27 Januari lalu. Sehari sebelumnya, Firli Bahuri dikabarkan menyinggahi kantor Kementerian Hukum. Setelah peraturan komisi disahkan, para pegawai KPK baru mengetahui ada pasal tentang tes wawasan kebangsaan yang disisipkan.
Pada 24 April lalu, desas-desus mengenai ketidaklulusan sejumlah anggota staf KPK membuat beberapa pegawai berupaya mencari tahu kebenarannya. Pengurus teras Wadah Pegawai KPK, Farid Andhika, mengatakan awalnya ia hanya mendengar ada empat nama. Jumlahnya kian bertambah setiap hari. “Bahkan disebut sampai 120 orang,” ucapnya.
Para pegawai berupaya memastikan kabar itu kepada kolega masing-masing. Mereka juga berupaya menanyakan hasil seleksi itu lewat jejaring di Badan Kepegawaian Negara. Pada Jumat, 30 April lalu, para pegawai KPK mendapat kepastian tentang 75 pegawai yang tak lulus wawancara dari salah satu pemimpin lembaga negara. Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, juga menanyakan kabar itu dengan menghubungi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. Ia pun ingin mengetahui sikap pemerintah perihal hasil tes tersebut.
Mahfud membenarkan ada pegawai KPK yang meneleponnya untuk menanyakan hasil tes wawasan kebangsaan. Ia lalu berkomunikasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo. Mahfud menyampaikan hasil komunikasi itu kepada Novel. “Saya jelaskan kepada beliau, batasan kita sesuai undang-undang adalah menjadikan mereka sebagai aparatur sipil negara,” tutur Mahfud.
Tiga pegawai senior KPK mengaku mendengar kabar bahwa Istana juga menaruh perhatian terhadap hasil ujian tersebut. Dua pemimpin KPK, Firli Bahuri dan Alexander Marwata, dikabarkan mendatangi Istana untuk menyampaikan hasil tes tersebut pada awal Mei lalu. Berniat bertemu dengan Presiden Joko Widodo, keduanya hanya ditemui oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Istana disebut meminta Firli memikirkan lagi kebijakan untuk tak meloloskan 75 pegawai sebagai aparatur negara. Hingga Sabtu, 8 Mei lalu, baik Firli, Alexander, maupun Pratikno tak kunjung membalas pesan Tempo untuk mengkonfirmasi pertemuan itu. Adapun Mahfud mengaku tak mengetahui adanya pertemuan itu.
Anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, menjelaskan bahwa Ketua Dewan Pengawas Tumpak Hatorangan Panggabean justru menerima hasil tes itu dari pejabat di Istana Negara. Tumpak kemudian menyampaikan informasi tersebut kepada anggota lain. Syamsuddin mengatakan anggota Dewan Pengawas berbeda sikap mengenai pemecatan 75 pegawai itu, ada yang menolak dan ada yang setuju. Syamsuddin mengaku sudah berupaya mengingatkan koleganya soal dampak yang timbul setelah pemecatan. Ia pun ragu terhadap efektivitas tes wawasan kebangsaan. “Skema tes berpotensi bias, tak bisa dijadikan dasar pemberhentian,” katanya.
Ujian Ganjil Pembasmi Koruptor/Tempo
Seorang pegawai KPK mengatakan Firli Bahuri berniat mengumumkan hasil tes pada Selasa, 4 Mei lalu. Namun rencana itu batal karena berbarengan dengan pembacaan putusan uji materi Undang-Undang KPK di Mahkamah Konstitusi. Namun Firli geram terhadap bocornya nama 75 pegawai yang tak lulus. “Kami sangat menyayangkan ada pihak yang telah membocorkan informasi tanpa menunggu pengumuman resmi,” ucap Firli saat mengumumkan hasil tes pada Rabu, 5 Mei lalu.
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, juga heran terhadap hasil tes wawasan kebangsaan. Ia tak menyangka sejumlah pejabat struktural dan penyidik senior yang ia kenal memiliki rekam jejak baik malah terpental. Saut pun menilai tak ada alasan memberhentikan Novel Baswedan dan kawan-kawannya. Ia menduga tes itu sebagai upaya pimpinan KPK “mengusir” pegawai yang dianggap kritis.
Pegawai KPK mengelompokkan koleganya yang tak lulus ke dalam delapan kluster. Satu di antaranya kluster pegawai KPK yang menolak revisi undang-undang dan calon pimpinan KPK terpilih, termasuk Firli Bahuri, pada akhir 2019. Ada juga kluster Wadah Pegawai KPK, termasuk Ketua Wadah Yudi Purnomo Harahap, yang juga penyidik. Kluster lain adalah para pegawai yang pernah mengkritik dan memeriksa Firli saat masih menjabat Deputi Penindakan.
Firli Bahuri diduga melanggar kode etik karena bertemu dan bermain tenis dengan seorang kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi. Pengawas Internal menyatakan Firli melanggar kode etik berat pada September 2019. Namun ia tak dapat dihukum karena sudah bertugas sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan. Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi Sujanarko merasa menjadi target karena pernah melontarkan ucapan yang dianggap menyinggung Firli. “Perkara saya itu kemudian diproses Pengawas Internal,” ujarnya. Sujanarko akan memasuki masa pensiun pada pertengahan Mei 2021.
Firli Bahuri tak merespons panggilan telepon dan permintaan wawancara yang dikirimkan Tempo ke nomor WhatsApp miliknya. Juru bicara KPK, Ali Fikri, membantah adanya skenario untuk menyingkirkan para pegawai tersebut. Menurut dia, tes dilakukan sesuai dengan parameter yang disepakati tim pelaksana. “Mereka yang memenuhi syarat ataupun gagal dalam tes akan mendapatkan surat keputusan dari Sekretariat Jenderal KPK,” katanya.
Berbeda nasib dengan 75 pegawai, anggota staf Firli lulus dengan mudah. Tiga pegawai KPK mengaku mendapat informasi bahwa anggota staf itu hanya diwawancarai tak lebih dari sepuluh menit. Itu pun hanya ditanyai hal yang tak substansial, seperti kendaraan yang digunakan untuk bertandang ke kantor Badan Kepegawaian Negara. Setelah itu, dia diperbolehkan keluar dari ruangan.
RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI, HUSSEIN ABRI DONGORAN, LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo