Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Eropa Barat dilanda banjir besar beberapa pekan terakhir. Jerman, Belgia, Inggris, dan Belanda adalah beberapa korbannya. Dari keempatnya, Jerman yang paling terdampak, mencatatkan 180 orang meninggal, belum menghitung ribuan yang hilang dan belum ditemukan.
Di Jerman, tak hanya warga hilang ataupun tewas, rumah dan fasilitas publik juga rusak berat. Di kota Koblenz, negara bagian Rhineland-Palatinate, jalanan dipenuhi reruntuhan bangunan yang habis disambar air banjir. Butuh waktu lama bagi tim SAR untuk merapihkan debris-debris yang ada.
"Bencana itu terjadi begitu cepat. Ketika kami mencoba berbuat sesuatu, sudah telat," ujar salah satu warga Jerman yang berhadapan dengan banjir, dikutip dari New York Times.
Nasib Inggris tidak seburuk Jerman. Tidak ada reruntuhan rumah memenuhi jalanan. Namun, gangguan yang diciptakannya tak kalah parah. Dua rumah sakit di London, menurut laporan CNN pada 26 Juli, digenangi Air. Mereka sampai harus menolak pasien karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Selalu ada hal yang bisa dipelajari dari bencana. Beberapa pakar menyebut beberapa faktor yang bisa digarisbawahi dari banjir yang menimpa Eropa. Salah satunya jelas soal perubahan iklim yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca.
Beberapa studi menunjukkan bahwa hujan deras atau banjir lebih mungkin terhadi saat ini. Hal itu disebabkan oleh atmosfer yang menghangat di mana lebih bisa menahan kelembapan yang pada ujungnya adalah hujan deras.Hamparan sampah plastik setelah banjir menerjang Bad Neuenahr-Ahrweiler, di Jerman, 15 Juli 2021. REUTERS/Wolfgang Rattay
Perubahan iklim juga merusak vegetasi dan penahan banjir alami akibat naiknya temparature atau cuaca yang lebih sulit ditebak. Alhasil, ketika hujan deras datang dan sungai meluap, tidak ada yang menahan banjir tersebut.
"Namun, apa yang terjadi di Jerman di luar dugaan kami. Seharusnya korban tidak sampai sebanyak itu," ujar Linda Speight, hidrometeorologi dari Universitas Reading, Inggris.
Perubahan iklim, seperti dikatakan sebelumnya, hanya satu faktor. Faktor berikutnya, kata Speight, adalah buruknya koordinasi dan kurangnya persiapan. Sistem peringatan dini Jerman tak ada masalah, masih berfungsi secara real time sebagaimana seharusnya, namun aparat Jerman tidak menduga akan sebesar dan secepat itu, bahkan mencetak rekor baru.
Ketika aparat tidak menduga banjir akan naik begitu cepat dan besar, koordinasi menjadi berantakan. Di beberapa tempat, peringatan sampai tepat waktu, beberapa tidak beruntung. Mereka yang tidak beruntung menghadapi banjir ketika bencana itu sudah di depan mata.
"Tidak ada persiapan yang matang karena tidak ada yang menduga bencananya akan datang seperti itu," ujar juru bicara Badan Meteorologi Jerman, Uwe Kirsche.
Liz Stephens, associate professor dari Departemen Geografi dan Lingkungan Hidup Universitas Reading, menyebut banjir yang terjadi beberapa hari terakhir adalah pertanda bahwa negara terkaya pun tak siap. Dan, hal itu diperburuk dengan abainya mereka terhadap peringatan selama ini.
London misalnya, kata Stephens, berdiri di atas lahan banjir. Sistem drainase-nya masih mempertahankan peninggalan zaman Victorian yang jelas belum pernah menghadapi banjir sebesar sekarang. Menurut datanya, 1 juta penduduk London tinggal di atas lahan banjir dan 17 persen wilayah London masuk kategori rentan banjir. Tak ada langkah untuk merespon itu.Rumah-rumah yang rusak akibat terjangan banjir yang disebabkan hujan deras di Schuld, Jerman, pada 15 Juli 2021. REUTERS/Wolfgang Rattay
Sesungguhnya, London sudah membangun sistem pertahanan banjir di dekat sungai Thames. Namun, sistem itu dibangun untuk menahan banjir akibat gelombang besar. Untuk banjir akibat hujan deras berkepanjangan, sistemnya tak siap.
"Sungguh mengkhawatirkan kita melihat rumah sakit sampai harus ditutup karena banjir. Kita perlu melakukan sesuatu untuk memastikan infastruktur vital tak terdampak."
"Resikonya selalu besar di kawasan urban karena permukaan ditutupi aspal dan beton (yang tak bisa menyerap air). Selain itu, kita masih mengandalkan drainase tua, zaman Victorian," ujar Stephens tegas.
Apa langkah yang bisa dilakukan? Di saat pembangunan sudah kadung gencar, menghentikannya agar tidak semua wilayah menjadi lahan banjir bukan perkara gampang. Langkah terdekat yang bisa dilakukan, menurut Stephens, adalah menyederhanakan komunikasi dan koordinasi perihal banjir.
Seperti Jerman, Inggris tidak telat mengirimkan informasi soal potensi banjir. Namun, peringatan dari Kantor Meteorologi Inggris lebih berupa peringatan curah hujan. Tidak semua orang paham bahwa curah hujan yang dilaporkan berpotensi menjadi banjir besar. Hal itu yang perlu diperbaiki.
"Sebagai individu, pertanyaannya adalah apa yang akan kamu lakukan dengan informasi tersebut? Jika kamu tidak tahu properti kamu terancam diterpa banjir, dan kamu tidak memiliki peringatan banjir, maka rakyat tidak akan pernah siap," ujar Stephens menegaskan soal banjir di Eropa.
Baca juga: Tertawa Saat Pidato Duka di Lokasi Banjir, Kandidat Kanselir Jerman Minta Maaf
ISTMAN MP | CNN | NY TIMES
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini