Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBARAN 1991 di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat…
Menteri Negara Riset dan Teknologi Baharuddin Jusuf Habibie bersila di jajaran para menteri kabinet. Semuanya bertakzim menantikan Presiden Soeharto. Tiba-tiba seseorang berbisik di telinga Habibie, ”Saya ingin membantu Anda di Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia.” ICMI—lembaga bentukan sejumlah ulama dan cendekiawan muslim yang diketuai Habibie. Ketika itu ICMI belum lagi genap setahun.
Habibie segera menoleh ke belakang, ”Siapa Anda?” Si pembisik, seorang pria setengah baya berbaju batik, menjawab dengan sopan: ”Saya Wiranto, Pak.” Saat itu Wiranto masih menjabat Kepala Staf Kodam Jaya dengan pangkat brigadir jenderal.
Pertemuan itu boleh dikata merupakan embrio pertalian Habibie-Wiranto. Dan siapa yang menyangka, tujuh tahun setelah pertemuan di Istiqlal itu keduanya menjadi figur sentral dalam panggung politik nasional pasca-Soeharto. Wiranto adalah orang pertama yang menemui Habibie, pada pagi 21 Mei 1998, beberapa jam sebelum Soeharto mengumumkan berhenti menjadi presiden.
Dalam bukunya Detik-detik yang Menentukan, Habibie mengaku amat terkesan dengan Wiranto. ”Jenderal ini jujur, beretika, dan bermoral,” tulisnya. Sebagai wakil presiden, Habibie otomatis menjadi presiden baru ketika Soeharto lengser. Posisi Wiranto tak kalah kuat. Dia punya Surat Instruksi Presiden Soeharto Nomor 16 Tahun 1998, yang memberinya mandat mengamankan negara. Surat itu mirip Surat Perintah Sebelas Maret yang diterima Jenderal Soeharto pada 1966 dan mengantarkan dia meretas jalan menuju kekuasaan selama 32 tahun.
Nama Wiranto mulai dikenal khalayak saat dia menjadi aide-de-camp atau ajudan Presiden Soeharto pada 1989. Empat tahun dia turut bersama sang Jenderal Besar. Karier militernya dimulai dua dekade sebelum itu, yakni pada 1968 seusai lulus dari Akademi Militer Nasional, Magelang. Lepas dari pos ajudan Presiden, semua kursi penting dalam dinas tentara dilalui Wiranto; mulai Panglima Kostrad hingga Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Pada awal 1998, dia menjejak puncak karier militernya. Wiranto diangkat menjadi Panglima ABRI, dan kemudian Menteri Pertahanan Keamanan.
Menjadi pemimpin militer dalam pusaran krisis politik ketika itu adalah posisi yang amat berkuasa. Setiap saat, TNI dicurigai hendak memberlakukan darurat militer dan mengambil alih kekuasaan. Dalam bukunya Bersaksi di Tengah Badai, yang terbit tiga tahun lalu, Wiranto mengakui hal itu.
Bukan berarti isu kudeta tak pernah ada. Dalam buku yang sama, Wiranto mengaku dia pernah dituduh membangkang kepada Soeharto pada hari-hari panjang Mei 1998. Si pelapor: Panglima Kostrad Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Mencium skenario menyingkirkan dirinya, Wiranto—bersama Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. dan Panglima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin—kontan mendatangi Prabowo di Cendana. ”Saya menegur keras Prabowo,” tulis Wiranto.
Perseteruan Prabowo-Wiranto memang menjadi warna tersendiri dalam masa-masa gawat di republik ini. Rivalitas itu punya sejarah panjang. Ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, dalam bukunya Jejak Perlawanan Begawan Pejuang yang terbit enam tahun lalu, menulis, ”Yang tidak lagi menyembunyikan rasa bencinya kepada Prabowo adalah Jenderal Wiranto.”
Puncak konflik itu, dalam versi Sumitro, adalah munculnya isu Prabowo menggerakkan pasukan di luar komando, mengepung rumah Habibie, sehari setelah Soeharto jatuh. Sumitro yakin Wiranto-lah dalang pemberhentian Prabowo dari dinas militer.
Meski dikelilingi isu-isu semacam itu, toh pada masa transisi 1998-1999 tiga kali Wiranto ditawari menjadi wakil presiden. Tawaran itu datang antara lain dari Habibie dan Abdurrahman Wahid. Semuanya ditolak. Dalam bukunya tersirat Wiranto merasa saatnya tidak tepat.
Baru pada 2004, Wiranto yakin gilirannya telah tiba. Namun, kita semua tahu, pada pemilihan presiden pertama secara langsung itu dia terjerembap di putaran pertama.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo