Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Prabowo Subianto: ”Itu Tuduhan Kejam”

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meraih tiga bintang pada usia 46 tahun, dia memecahkan rekor jenderal termuda dalam sejarah TNI modern. Dia juga dikenal sebagai perwira yang berkilau di jajaran militer Indonesia. Nama Prabowo diperhitungkan sejak menjabat Komandan Jenderal Kopassus (1996-1998) dan memelopori pemekaran satuan baret merah ini. Dua tahun kemudian, ia menjabat Panglima Kostrad (Januari-Mei 1998).

Tapi bintang itu seperti padam tiba-tiba. Sehari setelah Presiden Soeharto mundur dari kekuasaan, 21 Mei 1998, Prabowo—ketika itu menantu Soeharto—ikut tergusur. Pria kelahiran Jakarta, 17 Oktober 1951, ini dimutasi menjadi Komandan Sekolah Staf Komando ABRI, sebelum akhirnya pensiun dini.

Dua pekan lalu, setelah bekas presiden B.J. Habibie meluncurkan buku Detik-detik yang Menentukan, Prabowo kembali menjadi buah bibir. Di buku itu diungkap, pencopotan Prabowo dari Panglima Kostrad karena ia menggerakkan ”pasukan liar”.

Prabowo memberi tanggapan terhadap tudingan tersebut kepada sejumlah media massa di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Wartawan Tempo Jobpie Sugiharto, Fajar W.H., dan Purwanto turut hadir dalam pertemuan pers itu. Seusai acara, Prabowo menjawab sejumlah pertanyaan tambahan dari Tempo.

Ini petikannya:

Bagaimana Anda menjelaskan adanya pasukan Kostrad di Monas?

Semua pengerahan pasukan ada di bawah komando operasi, Kodam Jaya (Komando Daerah Militer Jakarta Raya). Pasukan Marinir, Paskhas, Kodam Jaya, Kodam Siliwangi (Jawa Barat), Kostrad, Kopassus, waktu itu dipegang Panglima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie (Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin). Tujuannya mengamankan Ibu Kota (Jakarta) yang beberapa hari terbakar. Aparat ingin mengembalikan rasa aman karena terjadi pelarian modal. (Kudeta) adalah tuduhan yang kejam terhadap prajurit.

Apa yang Anda lakukan saat pasukan terkonsentrasi di Monas?

(Menjawab dengan menggebu.) Sejak akhir 1997 dan 1998 ekonomi kita diserang. Saya sebagai pejuang, patriot, ingin mempertahankan negara dari serangan capital flight (pelarian modal). Siapa pun di posisi saya saat itu akan berbuat apa saja untuk menjaga keselamatan negara. Ketika saya diberhentikan, saya patuh. Siapa yang tidak ingin kedudukan? Karena kedudukan adalah sarana mengabdi kepada bangsa dan negara. Kalau tidak diberi kedudukan, ya, alhamdulillah…sehingga saya tidak punya tanggung jawab.

Apakah benar ada pergerakan pasukan Kostrad di luar komando?

Seandainya ada, terus untuk apa? Apa mau kudeta? Kalau saya punya niat, saya panglima 34 batalion. Kenapa saya tidak lakukan? Letkol Untung yang hanya punya dua batalion saja bisa melakukan G30S/PKI. Jadi, tergantung individunya.

Bagaimana Anda membawa 44 organisasi masyarakat Islam kepada Habibie?

Waktu itu situasi tegang. Banyak orang tidak ingin Habibie menggantikan Soeharto. Menurut saya dan teman-teman, harus ada pergantian konstitusional. Saya bertemu 44 pemimpin ormas Islam di Jalan Suwiryo 6 (Menteng, Jakarta Pusat) pada 21 Mei 1998 malam. Saksinya masih hidup. Lalu, saya bawa mereka kepada Pak Habibie, pukul 23.00 WIB. Kok, tiba-tiba besoknya saya dituduh menggerakkan pasukan untuk mengepung (kudeta).

Benarkah Anda membawa dukungan ormas agar tetap dapat memegang kekuasaan, mengingat Anda menantu Soeharto?

(Wajahnya memerah oleh emosi.) Semua pasukan di bawah komando operasi Panglima Kodam Jaya. Kalau saya ke Jawa Tengah, pasukan saya di bawah Panglima Kodam Diponegoro. Kalau ke Sumatera Selatan, di bawah Panglima Kodam Sriwijaya. Itu sistem komando tentara! Asops (Asisten Operasi) Kostrad diputuskan harus ke Pos Komando Pak Sjafrie (markas Garnisun). Semua Asops pasukan lain berkumpul di Garnisun, dekat markas Kostrad. Beliau yang pegang kendali. Anda ngerti, kan, yang saya maksud?

Menurut Anda, mengapa Habibie mencopot Anda dari jabatan Panglima Kostrad?

Ini kalkulasi politik saya. Saya ini bagian dari Cendana. Itu intuisi saya melihat sejarah. Mungkin, beliau (Habibie) menilai tidak baik secara politik. Lazim di mana-mana, di perusahaan Anda kalau ganti pemimpin begitu juga, kan? Yang saya sesalkan, mestinya tidak usah ada (pengumuman) alasan (saya dicopot). Begini saja, (katakan) Anda saya berhentikan.

Apa keterkaitan Anda dengan pernyataan Habibie tidak ingin perwira yang bertemu presiden tanpa izin Panglima ABRI?

Pemimpin memutuskan sesuatu tergantung informasi yang diterima. Akses informasi begitu penting. Mungkin, beliau ingin satu pintu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus