Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENTENG pertahanan Aburizal Bakrie akhirnya bobol juga. Setelah digempur pertanyaan wartawan seputar kisruh penjualan Lapindo Brantas Incorporated, Rabu pekan lalu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat itu akhirnya bicara. Padahal, sejak lumpur panas menyembur dari areal konsesi gas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, akhir Mei lalu, Aburizal tak sepatah kata pun mau memberikan komentar.
Maklumlah, posisinya sebagai menteri memang membuatnya tampak kikuk. Sebelum berada di pemerintahan, Aburizal adalah pengendali Grup Bakrie, pemilik Lapindo. Namun Aburizal tak tahan juga. Tanpa tedeng aling-aling, dia menyatakan perbedaan sikapnya dengan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Ahmad Fuad Rahmany, yang kukuh bertahan tak mengizinkan penjualan Lapindo. ”Saya menganggap penjualan itu tidak layak,” katanya.
Sebaliknya, menurut Ical—sapaan Aburizal—penjualan Lapindo ke Freehold Group Limited sudah sesuai dengan hukum, kendati tanpa izin Bapepam. Ia pun menandaskan tak perlu ada kekhawatiran soal pergantian pemilik saham Lapindo. Alasannya, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006, Lapindo tetap bertanggung jawab atas semua biaya penanganan bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo. ”Semua harus dikembalikan pada hukum,” katanya.
Selang beberapa jam, arus ”perlawanan” langsung datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Secara terbuka, di gedung DPR, ia memberikan dukungan penuh atas keputusan anak buahnya itu. ”Sikap kami sama dengan Bapepam,” katanya.
Menurut sumber Tempo, sikap mangkreng inilah yang konon membuat hubungannya dengan Aburizal dalam beberapa pekan terakhir merenggang. Bahkan tersiar kabar, ia dan Fuad sempat ”ditekan” pihak tertentu. ”Tapi Sri melawan,” ujarnya. Sebagai persiapan, Bapepam telah mengundang sejumlah ahli untuk menggodok persoalan ini. Mantan Kepala Bapepam Bacelius Ruru salah satunya.
Semua kekisruhan ini berawal dari rencana Bakrie memisahkan Lapindo Brantas dari PT Energi Mega Persada Tbk., salah satu perusahaan tambang andalannya. Langkah ini disiapkan Grup Bakrie setelah semburan lumpur panas yang terjadi di salah satu lokasi pengeboran gasnya di Blok Brantas di Porong, Sidoarjo, tak kunjung bisa dihentikan.
Pelepasan Lapindo rencananya dilakukan dengan cara menjual dua induk perusahaannya: Pan Asia Enterprise Ltd. dan Kalila Energi Ltd. ke Lyte Limited, perusahaan di Kepulauan Jersey, Inggris, yang masih terafiliasi dengan Grup Bakrie, pada 19 September lalu. Harganya supermurah: cuma US$ 2 atau sekitar Rp 18 ribu. Maklum, kata Herwin Hidayat, juru bicara Energi Mega, nilai Kalila sudah minus US$ 22,8 juta dan Pan Asia minus US$ 208 ribu.
Tapi langkah Energi Mega melepas Lapindo ke Lyte—belakangan ke Bakrie Oil & Gas—ternyata menumbuk batu. Bapepam melarang Energi Mega melaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa, yang agendanya meminta persetujuan divestasi. ”Kami melarang sampai ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab atas penanganan bencana,” kata Fuad. Soalnya, menurut sumber Tempo, Bakrie tak kunjung memberikan bukti otentik yang menerangkan bahwa Lyte punya keterkaitan langsung dengan Grup Bakrie.
Kejelasan soal tanggung jawab atas bencana ini tentu saja amat penting, karena biaya untuk mengatasinya amat besar. Elliot Association Pte. Ltd. menaksir, hingga akhir tahun ini saja kira-kira dibutuhkan dana penanggulangan bencana Sidoarjo sekitar US$ 106 juta (hampir Rp 1 triliun)—dari total perkiraan US$ 140-170 juta, plus biaya relokasi Rp 1 triliun-2 triliun. Dari jumlah itu, Grup Bakrie sudah menggelontorkan duit US$ 40-an juta.
Menurut Nirwan Dermawan Bakrie, pengendali Grup Bakrie, kebutuhan dana itu dipasok dari unit-unit bisnisnya yang non-publik—bukan dari Energi Mega. Sebab, sebagai perusahaan publik, Energi Mega tak bisa sembarangan mengucurkan dana tanpa persetujuan pemegang saham lainnya. Meski begitu, persepsi publik telanjur buruk. Akibatnya, saham Energi Mega dan saham Bakrie lainnya terus merosot.
Nah, sebagai langkah penyelamatan, pelepasan Lapindo dipandang tetap perlu. Maka, ditekenlah perjanjian jual-beli Pan Asia dan Kalila ke Freehold pada 14 November lalu, tanpa izin Bapepam. Nilai transaksinya US$ 1 juta (Rp 9,1 miliar).
Polemik pun kembali menyeruak, terutama setelah Bapepam tetap melarang penjualan Lapindo kendati tidak lagi ke perusahaan afiliasi. Soalnya, kata Fuad, selain masih menunggu kejelasan siapa yang mesti bertanggung jawab atas petaka lumpur yang sudah merendam tiga kecamatan di Kabupaten Sidoarjo itu, Bapepam menilai persoalan ini sudah masuk ke wilayah masyarakat non-pasar modal.
Bencana yang disebabkan semburan lumpur panas di areal konsesi gas Lapindo sudah mengakibatkan lebih dari sepuluh ribu warga di delapan desa terpaksa mengungsi dan kehilangan tempat tinggal. Luas luberan lumpur pun sudah mencapai 400 hektare. Sampai kini, setelah enam bulan, masih belum jelas kapan bencana itu bisa diakhiri. ”Jadi, jangan dilihat sebagai transaksi bisnis biasa,” kata Fuad.
Meski begitu, Ical tetap berpendapat bahwa proses jual-beli seperti yang dilakukan Lapindo biasa dilakukan oleh banyak perusahaan dan tak melanggar aturan hukum. Transaksi itu tidak termasuk transaksi material, sehingga tidak memerlukan persetujuan Bapepam. Itu sebabnya, ia siap jika harus berhadapan secara hukum dengan Bapepam. ”Kita lihat nanti, siapa yang benar di mata hukum,” katanya sebelum rapat kabinet berlangsung, Kamis pekan lalu.
Terlepas dari polemik itu, Nirwan memastikan Grup Bakrie tidak akan lari dari tanggung jawab. Lewat Minarak Labuan Co. (L) Ltd., salah satu unit usahanya, Grup Bakrie akan menjamin sisa dana yang diperlukan Lapindo untuk menangani lumpur. ”Pencairan pinjaman sesuai dengan perjanjian yang sudah diteken dengan pemilik baru,” katanya.
Sayang, komitmen itu hanya berlaku hingga Keppres 13/2006 berakhir pada 7 Maret 2007. Setelah itu, tak jelas siapa yang akan menanggung beban.
Kasus lumpur panas ternyata tak berhenti dengan penjelasan Nirwan. Pada ujung pekan lalu, polemik di kabinet muncul kembali. Seusai rapat kabinet terbatas Kamis malam lalu—yang diadakan mendadak setelah pipa gas Pertamina di Porong meledak dan mengakibatkan sebelas orang tewas—Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyampaikan pernyataan Presiden yang menetapkan masalah lumpur sebagai bencana. ”Jadi negara harus mulai ikut memikirkan ini.” Artinya, ada kemungkinan penanganannya akan diambilkan dari anggaran negara.
Wakil Presiden Jusuf Kalla esoknya dengan tegas mengatakan pemerintah belum akan mengeluarkan anggaran untuk itu. Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Paskah Suzetta pun menyatakan tak ada ruang tersisa untuk anggaran itu di APBN tahun ini dan tahun depan.
Panas akibat lumpur agaknya masih akan awet di kabinet.
MD, Yandhrie Arvian, Danto, Badriah, Marlina, Kuniasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo