Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Calon Hakim Terganjal di Senayan

Dewan Perwakilan Rakyat menunda uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung. Komisi Yudisial diminta menyiapkan enam calon hakim agung lagi.\

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN Hatta Ali menjadi hakim agung tak semulus yang ia kira. Langkah Direktur Jenderal Peradilan Umum yang telah lolos seleksi Komisi Yudisial ini harus tertahan di Dewan Perwakilan Rakyat. ”Sekarang saya hanya bisa pasrah,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Hatta Ali mungkin kecewa berat. Selasa pekan lalu, Badan Musyawarah DPR memutuskan penundaan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) untuk dirinya dan lima calon hakim agung lainnya. ”Kami tak ingin melanggar undang-undang,” ujar Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR.

Undang-undang yang dimaksud Aziz adalah Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Pada Pasal 18 disebutkan, untuk setiap posisi satu hakim agung yang kosong, Komisi wajib mengajukan tiga nama calon ke DPR. Setelah itu, DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk memilih satu dari ketiganya.

Namun, awal November lalu hanya enam nama yang disetor Komisi kepada para wakil rakyat. Mereka adalah Hatta Ali (Dirjen Peradilan Umum), Bagus Su-giri (Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah), Komariah Emong Sapardjaja (Guru Besar Universitas Padjadjaran), Abdul Gani Abdullah (mantan Dirjen Perundang-undangan), Sanusi Husein (Dosen Fakultas Hukum Lampung), dan Achmad Ali (Guru Besar Universitas Hasanuddin). Keenamnya ”pilihan terbaik” Komisi dari 130 pelamar.

Padahal, yang dibutuhkan Mahkamah Agung enam orang. Empat hakim agung tahun ini memasuki pensiun, yaitu Usman Karim, Chairani A Wani, Arbijoto, dan Syamsuhadi Irsyad. Sedangkan yang dua lainnya untuk mengisi kursi Abdul Rahman Saleh yang kini menjadi Jaksa Agung dan Toton Suprato yang meninggal dunia. Alhasil, DPR meminta Komisi Yudisial menyerahkan 12 nama calon lagi.

Menurut Ketua Komisi Hukum DPR Trimedya Panjaitan, pengembalian nama itu tak menyalahi aturan. ”Kami dihadapkan pada pilihan yang sedikit,” ujar Trimedya. Sehari sebelum rapat Badan Musyawarah, 35 anggota Komisi Hukum menggelar rapat konsultasi dengan pimpinan Mahkamah Agung.

Rapat yang berlangsung sekitar 3,5 jam di Ruang Mochtar Kusumaatmadja lantai II gedung Mahkamah Agung itu berjalan ”meriah”. Kepada anggota Dewan, para hakim agung itu mengeluarkan uneg-uneg perihal banyaknya hakim karier yang tidak lolos seleksi. Dari 42 hakim karier yang diserahkan Mahkamah ke Komisi, memang hanya dua yang lulus, yakni Bagus Sugiri dan Hatta Ali.

Dalam rapat itu pula Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyatakan saat ini yang diperlukan Mahkamah adalah hakim karier. Menurut Bagir, dari 45 hakim yang ada, 14 di antaranya sudah dari jalur nonkarier. ”Karena penggunanya Mahkamah Agung, ya kami dengar,” ujar Trimedya. ”Tidak ada desakan.”

Lain Trimedya, lain pula pendapat Emerson Yuntho, koordinator bidang hukum Indonesia Corruption Watch. Emerson mencium ada sesuatu di balik pertemuan itu. ”Seperti ada deal antara MA dan DPR sehingga ada penundaan,” kata Emerson. Tapi, Trimedya menegaskan tak ada deal apa pun. Menurut dia, penundaan ini semata-mata karena tak ingin melanggar undang-undang dan efisiensi waktu. ”Jadi, tak perlu repot menggelar fit and proper test dua kali,” katanya.

Menurut Emerson kini saatnya Komisi Yudisial aktif mencari calon hakim agung. Jadi, tak sekadar memasang iklan di media massa. ”Jemput bola, tak perlu banyak-banyak pasang iklan,” kata dia. Mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga juga menyatakan hal yang sama. Menurut Benjamin, ini saatnya Komisi Yudisial mencari calon dan tak sekadar menanti datangnya amplop lamaran. ”Karena biasanya yang kredibel, calon yang baik, diam saja,” ujar Benjamin.

Komisi Yudisial siap melaksanakan ”perintah” DPR. ”Kami patuh dan akan membuka seleksi kembali tahun de-pan,” ujar Ketua Komisi Yudisial Busy-ro Muqoddas. Busyro juga menyatakan siap mempertanggungjawabkan dana seleksi calon hakim Rp 2,7 miliar yang dipertanyakan sejumlah anggota Dewan.

Di tengah hiruk-pikuk ini, calon hakim agung Komariah Sapardjaja tenang-tenang saja dan tetap sabar menunggu panggilan DPR yang entah kapan datangnya. ”Kalau gajah dengan gajah berantem, jangan pelanduk yang terinjak,” kata pakar hukum pidana tersebut.

Poernomo Gontha Ridho, Tito Sianipar, Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus