Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ada 157 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di sejumlah kabupaten dekat Sungai Barito.
Ada pula tujuh perusahaan raksasa pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan sembilan korporasi yang mengantongi izin kontrak karya.
Deforestasi DAS Barito di wilayah Kalimantan Tengah hampir mencapai 1 juta hektare.
JAKARTA – Hamparan lubang ratusan hektare menganga di depan mata Dimas Novian Hartono. Tak hanya satu. Puluhan lubang seolah-olah berbaris tak jauh dari sempadan Sungai Barito, wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) Barito yang berada di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Sebagian besar di antaranya merupakan tambang yang sedang aktif beroperasi menggangsir batu bara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saban hari batu bara diangkut dari lubang tambang menuju pelabuhan milik korporasi yang berada di bibir Sungai Barito. Tiap kapal tongkang mampu memboyong ribuan ton batu bara dari hulu menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan. "Di tempat itu, tambang sudah sangat banyak. Banyak juga yang menyisakan lubang bekas tambang yang dibiarkan terbengkalai," ucap Dimas, yang kini menjadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimas kemudian menyusuri aliran Sungai Barito, menuju Kabupaten Barito Utara, Barito Timur, hingga Barito Selatan. Ia melihat penampang bumi tak berbeda jauh dari Murung Raya. Di tempat-tempat itu, Dimas melihat puluhan perusahaan yang juga mengeruk tambang batu bara. Dia mendapati aktivitas itu ketika sedang mendampingi masyarakat yang kerap berkonflik dengan perusahaan-perusahaan industri ekstraktif.
Barangkali, apa yang dilihat oleh Dimas hanya secuil dari ratusan perusahaan tambang yang sedang beroperasi di Sungai Barito atau tepat di wilayah hulu DAS Barito Kalimantan Tengah. Dia menyatakan saat ini terdapat sekitar 157 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di sejumlah kabupaten dekat Sungai Barito. Ini belum ditambah tujuh perusahaan raksasa pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan sembilan korporasi yang mengantongi izin kontrak karya.
Korporasi penggasak batu bara itu tersebar di enam kabupaten area DAS Barito: Kabupaten Murung Raya, Barito Utara, Barito Selatan, Barito Timur, Kapuas, dan Hulu Sungai Utara. Aktivitas yang mereka lakukan diduga menjadi penyumbang terbesar deforestasi atau kerusakan lingkungan.
Deforestasi Kawasan Sungai Barito
Walhi mencatat, DAS Barito wilayah Kalimantan Selatan mengalami deforestasi seluas 881.793 hektare. Kerusakan itu hampir setara dengan luas Provinsi Banten yang mencapai 966 ribu hektare. Itu pun belum ditambah dengan deforestasi di area DAS bagian hilir, Kalimantan Selatan, yang mencapai 162.462 hektare. Artinya, jumlah luas deforestasi di DAS Barito mencapai 1,04 juta hektare.
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menyatakan terjadi peningkatan kehilangan tutupan hutan pada DAS Barito dari tahun ke tahun. "Memang banyak izin yang dicabut karena tidak memenuhi syarat clean and clear (CNC). Namun temuan kami di lapangan, banyak perusahaan tambang yang beroperasi tanpa CNC," ucap dia.
Investigasi Tempo menemukan korporasi tambang di Kalimantan Selatan mencapai 214 perusahaan dengan luas 506.400 hektare. Jumlah tersebut belum ditambah dari ratusan perusahaan dari Kalimantan Tengah. Melky memperkirakan jumlah tambang pada DAS Barito di dua wilayah tersebut mencakup jutaan hektare.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengklaim bahwa izin yang dikeluarkan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya sedikit. Dia meminta semua pihak melihat lebih dalam untuk mengukur besaran izin tambang yang diterbitkan di rezim Jokowi. "Menurut saya, bisa dikatakan sangat kecil," ujar dia, dua hari lalu.
Moeldoko berdalih, Jokowi sudah berupaya mengawasi dan mengevaluasi tindakan eksploitasi alam yang mengakibatkan bencana. Termasuk dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) Tahun 2020-2044 pada tahun lalu. Pemerintah juga melakukan langkah mitigasi secara komprehensif untuk menekan laju kerusakan lingkungan.
Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring, tak memungkiri alih fungsi kawasan hutan untuk industri ekstraktif menjadi biang kerusakan lingkungan dan banjir di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Menurut dia, sejak beberapa tahun lalu, pemerintah kerap mengakomodasi kepentingan proyek. "Terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam," ucapnya.
Hal itu dibuktikan dengan adanya penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional. Di dalamnya berisi ketentuan yang memperbolehkan alih fungsi kawasan dengan menggunakan metode rekomendasi menteri. "Ini ditandai dengan munculnya berbagai izin pemanfaatan ruang di kawasan hutan untuk korporasi besar," kata Raynaldo.
AVIT HIDAYAT | DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo