Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Benci-Rindu Dua Seteru

Bersama Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie adalah benteng Yudhoyono dalam pemerintahan yang lalu. Pecah kongsi karena Century.

22 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARYO Heroe Syswanto Ns. Soerio Soebagio sibuk menelepon kenalannya yang punya usaha sablon. Menjelang kampanye pemilihan anggota legislatif enam tahun lalu, politikus dengan nama beken Sys Ns itu minta bantuan dibuatkan kaus dan baliho dengan harga mi­ring. Kala itu Partai Demokrat yang belum lama didirikan Yudhoyono tak punya duit. ”Sewaktu pemilihan legislatif, uang Demokrat tidak banyak,” kata deklarator Partai Demokrat itu.

Suasana berubah menjelang pemilihan presiden. Ketika itu pasangan SBY-Jusuf Kalla diusung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan mulai mendapat sokongan dari luar. ”Saat itu mulai masuk sumbangan dari pengusaha. Salah satunya Aburizal Bakrie,” ujarnya.

Sumbangan itu membuat Demokrat leluasa bergerak: dana mengalir membuat tim sanggup menyewa jasa biro iklan dan membayar tayangan di te­levisi.

Beberapa sumber Tempo yang mengikuti kampanye SBY-JK bercerita, dalam putaran pertama pemilihan presiden tak banyak pengusaha yang melirik pasangan ini. Mereka baru berani membuka pundi setelah Yudhoyono masuk ke putaran kedua. ”Keistimewaan Ical adalah sejak awal dia sudah menjadi penyumbang, sementara peng­usaha lain tak mau,” kata sumber itu. Juru bicara Ical, Lalu Mara Satriawangsa, membantah bosnya menda­nai kampanye Yudhoyono-Kalla. ”Lihat saja di laporan keuangan SBY-JK itu tidak ada nama Ical di sana,” katanya.

Dalam daftar penyumbang calon presiden, nama Ical memang tak tercantum. Beberapa sumber mengatakan saat itu Ical tak bisa menyokong terang-terangan karena sebagai kader Golkar ia mesti mendukung Wiranto-Shalahudin Wahid calon resmi dari partai Beringin. Meski di belakang layar, sumbangan Ical membuatnya lengket dengan Yudhoyono. Ketika Yudhoyono menyusun Kabinet Indonesia Bersatu, ia diangkat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian.

Belakangan, pada penghujung 2005, Ical digeser menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Selisih pahamnya dengan Presiden tentang beleid kenaikan harga minyak tak membuatnya keluar kabinet. Presiden tahu: Ical tetap dibutuhkan.

Ical, misalnya, punya andil membendung usulan hak angket kenaikan harga BBM yang digalang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, rival Yudhoyono dalam pemilu presiden 2004, menggandeng Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Ketiga partai adalah anggota koalisi pemerintah dan diberi kursi menteri di kabinet. Sepanjang 2004-2009, dari enam rencana angket DPR ke pemerintahan, Golkar berhasil menggagalkan separuhnya. Tiga lain lolos namun layu sebelum berkembang. ”Pak Ical ikut turun dalam lobi lintas fraksi. Dia membuat lobi lintas fraksi berjalan efektif,” kata Sekretaris Fraksi Golkar Ade Komarudin. Sewaktu DPR meng­ajukan hak interpelasi penanganan masalah busung lapar dan polio pada Maret 2006, Ical mewakili Presiden Yudhoyono berbicara di DPR.

Mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar Ferry Mursyidan Baldan membenarkan bahwa Ical banyak hadir dalam rapat pematangan strategi partai dan lobi antarfraksi menghadapi usul­an hak angket. Dalam rapat-rapat yang digelar di rumah dinas wakil presiden atau kantor pusat Partai Golkar, digodok jurus menggembosi hak angket atau menggesernya menjadi hak inter­pelasi. ”Kami sadar betul hak angket itu bisa sangat berbahaya dan menggo­yang kekuasaan,” ujarnya. Sumber Tempo di Istana membenarkan cerita ini. ”Dulu hak angket tidak sampai membesar ­seperti sekarang karena diselesaikan Pak Aburizal dan Jusuf Kalla,” kata sumber itu.

Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Anas Urbaningrum, menyangkal peran istimewa Ical buat Yudhoyono selama ini. ”Keduanya dekat dan punya hubungan yang mendalam hanya karena sama-sama di pemerintahan,” ujarnya.

Oktamandjaya Wiguna, Sunudyantoro, Wahyu Dhyatmika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus