Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN Andi Arief dengan Pramono Anung di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu, tak tertata apik. Staf khusus presiden bidang bencana dan bantuan sosial itu menyatakan bertemu Pramono untuk membicarakan bisnis. Sebaliknya, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu malah bertanya, ”Andi bisa bisnis apa?”
Andi lalu segera mengatakan, pertemuan itu membahas undang-undang mitigasi bencana. Jawaban yang rada aneh, karena dalam rapat itu hadir pula Puan Maharani, anggota Komisi VI Dewan, yang membidangi perdagangan dan badan usaha milik negara.
Dalam situasi koalisi partai pemerintah yang dibangun Demokrat, Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa gonjang-ganjing, pertemuan Andi-Pramono bukan sesuatu yang wajar. Sulit menghindari kesan ada udang di balik batu.
Sumber di Istana dan PDI Perjuangan mengatakan, pertemuan itu menyusul pembicaraan telepon Andi-Pramono dua hari sebelumnya. Fraksi PDI Perjuangan dalam rapat rutin fraksi, Jumat dua pekan lalu, juga menyalakan lampu hijau. Salah satu agenda rapat membahas tawaran jabatan duta besar di lima negara yang punya ikatan sejarah dengan Presiden Soekarno: India, Mesir, Cina, Korea Utara, dan Brasil.
Istana bagai melempar pancing: membuka jalan PDI Perjuangan masuk koalisi pemerintah. Sekretaris fraksi, Ganjar Pranowo, mengatakan bahwa rapat fraksi memang membicarakan hal itu. Tapi tidak dalam konteks tawaran Istana buat PDI Perjuangan. Yang benar, karena mau ada uji kelayakan untuk calon duta besar. ”Kami tawarkan ke teman-teman anggota, siapa yang berminat,” kata Ganjar.
Pertemuan Andi, Pramono Anung, dan Puan Maharani, kata sumber Tempo, akibat kebeletnya pendukung Presiden Yudhoyono mengajak partai Banteng Gemuk itu bergabung dalam koalisi. Ada cerita tentang tawaran enam kursi menteri, tanpa perincian.
Partai Demokrat telah terang-terangan menyatakan tak lagi nyaman bersanding dengan Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera. Pada saat ini Golkar punya tiga menteri dan Partai Keadilan Sejahtera empat menteri. Wakil Ketua Umum Demokrat, Ahmad Mubarok, menuding Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera tak menampakkan sikap elegan berkoalisi.
Paling kentara adalah sikap dalam Panitia Khusus Bank Century. Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera menyerang habis kebijakan penyelamatan melalui pengucuran dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Awal Maret ini, Panitia Angket menyampaikan kesimpulan akhir hasil investigasinya.
Menurut Mubarok, saat ini Demokrat justru merasa nyaman bertemu PDI Perjuangan. Ia menambahkan, merombak kabinet mutlak diperlukan untuk menciptakan pemerintahan yang solid dan berkinerja baik. Namun ia meminta Presiden Yudhoyono tidak buru-buru melakukan reshuffle. Paling tidak, bongkar-pasang dilakukan setelah Kabinet Indonesia Bersatu II berjalan satu tahun. ”Kalau tiga bulan reshuffle, belum kelihatan rapornya.”
Sumber di kalangan PDI Perjuangan mengatakan, Megawati juga mulai melunak. Ia, yang sangat legal formal, ingin membawa perubahan sikap partai yang semula oposisi menjadi partai koalisi pemerintah dalam kongres di Bali, awal April nanti. Tapi Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, membantah. Sikap PDI Perjuangan, kata Ganjar, tetap konsisten. Ketua Umum Megawati juga belum berubah. ”Setahu saya, Bu Mega belum ingin masuk pemerintahan,” katanya.
MENURUT sumber Tempo, semangat Istana ”mengeliminasi” Partai Keadilan Sejahtera berkibar setelah rapat paripurna kabinet, pertengahan Januari lalu. Seusai rapat, Yudhoyono mengumpulkan menteri dari partai koalisi. Semua menteri nonpartai koalisi dan ajudan presiden diminta keluar.
Yudhoyono menagih komitmen agar suara partai di pemerintahan dan parlemen sama. Ia bertanya kepada masing-masing menteri. Jawaban mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring, mencengangkan. Tifatul berterus terang: tak bisa lagi mempengaruhi partainya. Yang bisa ia lakukan hanyalah saling berkirim pesan pendek.
Sikap Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Panitia Khusus Hak Angket Bank Century mencerminkan ketidakberdayaan Tifatul. Inilah yang membuat Yudhoyono dan orang-orang di sekitarnya berpikir, buat apa punya menteri dari koalisi partai pemerintah jika tak punya kekuatan apa pun di partainya.
Tifatul tidak menjawab ketika dimintai konfirmasi. Melalui pesan pendek ia menulis, ”Wwww, hhhh”entah apa pula maksudnya. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, menyalahkan Yudhoyono. Berbicara dengan menteri, kata Fahri, seharusnya mengenai pemerintahan dan bidang yang ditangani menteri, bukan urusan sikap partai. Lagi pula, katanya, ”Kalau mau ngomong pengaruh di partai, datanglah ke partai, bukan ke menteri.”
Tawaran masuk kabinet juga diberikan kepada Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Heru Lelono, staf khusus presiden bidang informasi, intensif berkomunikasi dengan Prabowo. ”Wong, Prabowo kuwi koncoku,” katanya. Sumber lain di Istana mengatakan, Presiden Yudhoyono secara khusus menelepon Prabowo untuk masuk kabinet.
Prabowo belum terkonfirmasi, karena sedang di luar negeri. Orang dekat Prabowo, Fadli Zon, mengatakan yang dilakukan Yudhoyono adalah komunikasi politik biasa. Menurut Fadli, Prabowo siap memberikan dukungan agar jalannya pemerintahan baik dan fokus pada pembangunan ekonomi kerakyatan. ”Kami tidak pernah secara tegas menyatakan oposisi,” kata Fadli.
Berbeda dengan sikap terhadap Partai Keadilan Sejahtera yang terkesan tegas, sikap pada Golkar agak lain. Sumber Tempo mengatakan, Yudhoyono ingin mempertahankan Golkar dalam koalisi. Bagaimanapun, Golkar punya kekuatan signifikan, dan Yudhoyono ingin dapat dukungan kuat di parlemen.
Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, Harry Azhar Azis, menyatakan reshuffle kabinet bukan perkara gampang. Golkar mengikat kontrak politik dengan Presiden Yudhoyono, bukan dengan partai pendukung. ”Ini bukan koalisi mentimun bungkuk, sekadar pelengkap penderita,” katanya.
Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo