Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Massa dari berbagai lembaga koalisi masyarakat sipil berkumpul di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin siang. Mereka mendirikan tenda sebagai simbol rumah aspirasi dan perlawanan terhadap pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tenda kami anggap sebagai simbol rumah. Kami melihat rumah rakyat, yaitu DPR, tidak mendengarkan aspirasi, masukan, dan narasi dari publik, makanya kami buat tenda di luar DPR,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Afif Abdul Qoyim, Selasa, 6 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Afif mengatakan LBHM bersama 41 organisasi masyarakat sipil dan lembaga kemahasiswaan bergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP untuk menentang pengesahan RKUHP tersebut. Mereka membentuk koalisi ini sejak 2019, saat DPR membahas RKUHP. Saat itu Aliansi juga menentang agenda pengesahan karena RKUHP masih memuat pasal-pasal kontroversial.
DPR periode 2019-2024 kembali melanjutkan pembahasan RKUHP pada awal tahun ini. DPR dan pemerintah lantas membahas ulang sejumlah pasal-pasal kontroversial. Meski dua kali membuat draf revisi, pemerintah dan DPR tetap memasukkan pasal-pasal bermasalah yang dikritik koalisi masyarakat sipil ke dalam RKUHP.
Kedua lembaga hanya mengubah pasal-pasal bermasalah itu dengan menambah beberapa frasa serta penjelasan pada bagian penjelasan. Salah satunya adalah Pasal 240. Pasal ini mengatur pidana 3 tahun penjara bagi orang yang menghina pemerintah dan lembaga negara. Koalisi masyarakat sipil menganggap pasal tersebut seharusnya dihapus karena pasal penghinaan hanya untuk melindungi orang, bukan institusi. Sedangkan lembaga negara dan pemerintah merupakan obyek kritik, yang semestinya tidak boleh dilindungi dengan pasal penghinaan.
Kemarin, DPR mengesahkan RKUHP menjadi undang-udang meski publik menentangnya. Koordinator aksi, Dzuhrian Ananda Putra, mengatakan koalisi masyarakat sipil akan tetap menentang dan menuntut pembatalan UU KUHP tersebut.
Ia menjelaskan, awalnya massa berencana bermalam di depan gedung DPR. Tapi polisi meminta demonstrasi itu dibubarkan sebelum malam. “Kami sudah bernegosiasi dan menerangkan bahwa ini aksi damai, tidak menyebabkan kemacetan. Tapi polisi tetap meminta kami membubarkan diri,” katanya. Massa Aliansi Nasional Reformasi KUHP akhirnya memilih mengakhiri unjuk rasa di depan gedung DPR pada pukul 19.00.
Aksi jurnalis menolak pasal dalam RKUHP yang dinilai bermasalah, di Denpasar, Bali, 5 Desember 2022. ANTARA/Fikri Yusuf
Penolakan KUHP di Daerah
Selain demonstrasi di DKI Jakarta, masyarakat sipil di berbagai daerah berunjuk rasa menentang pengesahan RKUHP. Di Manado, puluhan orang dari Lembaga Bantuan Hukum Manado, Aliansi Jurnalis Independen Manado, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan Aksi Kamisan Manado berdemonstrasi di titik nol Kota Manado. Anggota LBH Manado, Satriyano Pangkey, mengatakan aksi kali ini dijadikan momentum membangun konsolidasi penolakan.
“LBH Manado menilai di satu sisi kita kecolongan, tapi di sisi lain bisa menjadi momentum untuk mengkonsolidasikan gerakan lebih besar karena imbasnya akan menyasar setiap orang,” kata Satriyano. Ia menegaskan, masyarakat sipil akan terus mengkampanyekan penolakan terhadap KUHP serta meminta DPR dan pemerintah membatalkannya.
Demonstrasi serupa digelar di Kota Makassar. Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, Andi Haerul Kharim, mengatakan koalisi masyarakat sipil di Makassar sudah dua hari berunjuk rasa untuk menentang pengesahan RKUHP. Ia mengakui massa yang berunjuk rasa tidak seramai ketika mereka menolak pengesahan RKUHP pada 2019. “Kami akan kembali mengkonsolidasikan perlawanan,” kata Andi.
Jurnalis memasang poster pasal-pasal bermasalah ke kawat duri saat aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, 5 Desember 2022. TEMPO/Prima mulia
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menggelar demonstrasi serupa di banyak daerah, seperti di Lhokseumawe, Manokwari, Jayapura, Semarang, Padang, Bandar Lampung, Bandung, Medan, Jakarta, Samarinda, Yogyakarta, Kediri, Surabaya, Jambi, Manado, Makassar, dan Sukabumi. Kepala Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Jakarta, Irsyan Hasyim, mengatakan anggota AJI akan tetap menentang keberadaan KUHP yang baru saja disahkan karena memuat pasal-pasal bermasalah. Pasal-pasal itu mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
Irsyan mengatakan AJI menemukan ada 17 pasal bermasalah dalam KUHP yang baru saja disahkan. Misalnya, Pasal 263 yang berpotensi mengancam kebebasan pers. Pasal ini mengatur pidana penjara atas penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. Pasal 263 ini berpotensi digunakan untuk mengkriminalkan jurnalis.
Penolakan di Media Sosial
Selain berunjuk rasa, masyarakat sipil mengkampanyekan penolakan atas pengesahan RKUHP di media sosial. Misalnya, akun Twitter Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, @YLBHI, yang terus mengkampanyekan potensi bahaya dari sejumlah pasal dalam KUHP.
Akun Twitter YLBHI mengusung tagar #SemuaBisaKena. Tagar ini merujuk pada potensi bahaya sejumlah pasal kontroversial dalam KUHP. Salah satunya Pasal 256 yang mengatur pidana 6 bulan penjara bagi orang yang melakukan pawai atau demonstrasi tanpa pemberitahuan lebih dulu dan mengganggu kepentingan umum.
Di Instagram, koalisi masyarakat sipil ramai-ramai mengunggah gambar aksi menutup mulut. Dzuhrian Ananda Putra membenarkan adanya gerakan aksi tutup mulut di media sosial tersebut.
“Kami lakukan gerakan tutup mulut sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi serta pembungkaman dan perampasan demokrasi,” kata Dzuhrian. Ia menegaskan bahwa gerakan perlawanan terhadap pengesahan KUHP ini akan terus digelorakan hingga pemerintah dan DPR membatalkan undang-undang tersebut.
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo