Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berburu Penumpang di Layar Monitor

Bisnis angkutan darat ramai-ramai beralih ke sistem digital agar efisien. Belum mengarah ke perubahan pola perjalanan masyarakat.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IKON mobil warna-warni terlihat memadati peta di layar monitor ruang Call Center Taksi Blue Bird di Mampang Prapatan, Jakarta. Ada yang berkelir hijau, biru, merah hati, dan jingga. Mobil-mobil mungil itu berderet di sekitar Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Selasa tiga pekan lalu.

Dari meja kerjanya, Rizki Bayu, Manajer Operasi Pusat PT Blue Bird Group, menatap lekat layar monitor berukuran 40 inci itu. Ikon-ikon mobil di layar itu tampak hidup, sebagian berpindah dan ada yang berganti warna. ”Berubah 3-5 detik sekali. Update terus posisinya,” katanya.

Rizki tengah mencermati pergerakan taksi Blue Bird di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pria 31 tahun ini mengatakan ada lebih dari 18 ribu taksi Blue Bird di Ibu Kota dan daerah sekitarnya. ”Tapi yang beroperasi harian 13-14 ribu taksi,” ujarnya.

Saban hari ada sekitar 50 operator di ruangan itu. Duduk berderet menghadap meja kubikel biru, mereka bekerja 24 jam bergantian untuk menerima pesanan hingga meladeni keluhan penumpang. ”Jika yang muncul di layar berupa nama, itu pesan dari Call Center. Kalau dari app muncul tulisan ’MyBB’,” kata operator Dian Kristiadi.

MyBB atau MyBlueBird adalah aplikasi pemesanan taksi Blue Bird secara online. Menurut Rizki, pemesanan taksi lewat MyBlueBird sepanjang tahun ini sudah mencapai 52 persen. ”Tahun lalu masih 30 persen,” ujarnya.

Direktur PT Blue Bird Tbk Adrianto Djokosoetono mengatakan aplikasi yang diluncurkan pada 2011 itu merupakan bagian dari transformasi digital perusahaannya. Di tengah maraknya transportasi berbasis online, yang dikuasai Go-Jek dan Grab, perusahaan taksi berlogo burung biru ini menambah satu lagi pilihan bagi pelanggannya dengan MyBlueBird. Sebelumnya, perusahaan taksi yang berdiri sejak 1970-an itu bergantung pada cara lama, yaitu calon penumpang mencegat taksi di jalan atau memesan lewat telepon.

Menurut Adrianto, MyBlueBird adalah buntut transformasi digital yang digarap pada 2004-2006. Saat itu perusahaannya memasang Global Positioning System (GPS) di semua kendaraan mereka. Dengan GPS inilah perusahaan lebih mudah memantau pergerakan taksi dan mengarahkannya sesuai dengan pesanan penumpang.

Digitalisasi ini berlangsung hingga 2011. Perubahan dirasakan langsung oleh para pengemudi taksi, yang tidak lagi mencari alamat calon penumpang secara manual. ”Kami mengarahkan mereka dengan GPS,” kata Adrianto. Blue Bird juga mengembangkan fungsi prediksi permintaan berdasarkan analisis big data, termasuk data GPS dalam satu dekade terakhir. ”Kami hasilkan informasi untuk pengemudi supaya bisa melihat bukan hanya perkiraan, tapi juga permintaan aktual.”

Lia Apika Pakarti, 25 tahun, telah mencicipi kemudahan menggunakan MyBlueBird. ”Saya bisa memilih taksi reguler atau Blue Bird Van sesuai dengan jumlah penumpang,” ujarnya. Karyawati perusahaan event organizer ini mengaku lebih sreg menumpang Blue Bird ketimbang transportasi berbasis online. ”Naik ojol (ojek online) jadi pilihan terakhir karena kebanyakan sopirnya enggak tahu jalan.”

Blue Bird juga berkolaborasi dengan Go-Jek. Sejak awal 2017, penumpang bisa mendapatkan taksi Blue Bird dengan memilih Go-BlueBird atau lewat Go-Car pada aplikasi Go-Jek. Blue Bird juga menggandeng Traveloka untuk menyediakan layanan transportasi di bandar udara dan angkutan umum premium. Menurut Adrianto, ”Ke depan akan lebih banyak yang mengakses lewat aplikasi.”

Bagi perusahaan seperti Grab, pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dan big data terbukti berdampak luar biasa dalam mengoptimalkan kerja. ”Penerapan kedua teknologi tersebut telah mendongkrak 10-30 persen pendapatan para mitra pengemudi kami sejak 2018,” kata Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata.

Perusahaan asal Singapura yang pertama kali beroperasi pada Juni 2012 ini telah berkolaborasi dengan sejumlah taksi konvensional Tanah Air. Menurut Ridzki, penerapan AI dan big data membantu penentuan tarif secara aktual. ”Kami dapat mencari titik dengan permintaan pesanan tertinggi, lalu menginformasikannya ke mitra pengemudi,” ucapnya.

PT Eka Sari Lorena Transport Tbk juga telah merasakan faedah teknologi mutakhir. Di tangan Managing Director Dwi Ryanta Soerbakti, perusahaan bus yang beroperasi sejak 1970-an ini berbenah. Lorena bisa dibilang pionir dalam penggunaan sistem teknologi informasi. ”Kami pertama kali menerapkannya dengan membangun sendiri sistem e-ticketing pada awal 2013,” kata Ryanta, Jumat tiga pekan lalu.

Keputusan mengembangkan tiket elektronik rupanya lebih cepat dari langkah pemerintah. Tahun lalu Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi baru mengeluarkan Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2017, yang mewajibkan semua perusahaan otobus menerapkan sistem tiket online. ”Saat perusahaan otobus lain pusing, kami sudah santai,” Ryanta berujar.

Lorena menerapkan sistem tiket elektronik di lebih dari 400 cabang dan agen di Jawa, Bali, Madura, dan Sumatera. ”Awalnya kami pakai e-ticketing untuk proses kontrol karena tiket manual rawan permainan,” kata Ryanta, yang memprakarsai perubahan sistem di perusahaan rintisan ayahnya itu. Terbukti dalam satu tahun ada sekitar 90 persen cabang Lorena, kecuali di area terpencil, sudah memakai e-ticketing.

Digitalisasi tidak hanya menjangkau tiket bus. Dengan investasi Rp 10 miliar, Ryanta mengawinkan lini penjualan tiket dan seluruh bagian kantor memakai System Application and Product (SAP), perangkat lunak manajemen untuk membantu perusahaan merencanakan dan menjalankan kegiatan secara efisien dan efektif. Dalam empat tahun, sistem terkoneksi dengan baik. Ini memudahkan Lorena menggandeng Doku, Alfamart, Indomaret, dan Traveloka untuk memperluas pemasaran tiket secara online. ”Kami harus mendekatkan diri ke pelanggan,” ucapnya.


 

Keputusan mengembangkan tiket elektronik rupanya lebih cepat dari langkah pemerintah. Tahun lalu Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi baru mengeluarkan Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2017, yang mewajibkan semua perusahaan otobus menerapkan sistem tiket online.

 


 

Integrasi sistem juga mendongkrak efisiensi perusahaan. Menurut Ryanta, laporan harian dan kas bisa langsung masuk dari semua cabang tanpa perlu merekapitulasi secara manual. Jumlah penumpang dapat diketahui tanpa harus menunggu data manifes. ”Saya menghemat hampir 40 persen karyawan, kecuali sopir dan kenek,” katanya. Lorena Transport kini mempekerjakan 800 kru (sopir dan kenek) dan 400 karyawan.

Digitalisasi memungkinkan Lorena memetakan rute yang tak menguntungkan karena kalah bersaing dengan moda transportasi lain. ”Kami cari rute yang tidak dilayani kereta atau pesawat. Analisis rute-rute itu butuh data,” ujar Ryanta. Dengan sistem terintegrasi, manajemen dapat mengetahui rute yang menguntungkan dari laporan analisis keuntungan tiap pekan. ”Saya bisa tahu rute yang ’berdarah’.”

Dalam tiga tahun terakhir, misalnya, Lorena Transport telah menyetip dan mengubah lima-enam rute jarak jauh yang memakan ongkos operasi tinggi, seperti Jakarta-Padang dan Bandung-Bukittinggi. Dengan cara itu, perusahaan bus yang sempat mencatatkan jumlah penumpang terendah, yaitu 650 ribu orang pada 2015, ini terus menjauhi keterpurukan. Mereka menargetkan 1 juta penumpang tahun depan.

Yoga Adi Winarto, Country Director Institute for Transportation & Development Policy, menilai digitalisasi yang dilakukan beberapa perusahaan transportasi konvensional baru sebatas untuk efisiensi kerja. MyBlueBird, misalnya, membuat sopirnya tidak perlu berkeliling mencari penumpang dan e-ticketing Lorena menutup potensi kebocoran finansial dalam penjualan tiket. Tapi itu semua, ”Belum sampai ke arah mengubah pola perjalanan masyarakat.”

Di Cina, saat dockless bike-sharing mulai berkembang, pemerintah langsung membikin aturan agar sistem penyediaan sepeda di tempat umum itu dapat diadopsi di kota-kota lain. Pemerintah juga menyediakan infrastruktur pendukung, yaitu jalur sepeda. Adapun moda transportasinya dipasok swasta, seperti MoBike and Ofo. ”Ini kolaborasi yang baik antara swasta dan pemerintah,” kata Yoga.

Menurut Yoga, pemerintah Indonesia seharusnya merespons fenomena digitalisasi di sektor transportasi dengan menyediakan regulasi yang jelas. ”Sektor swasta hanya sebagai pendukung, bukan inti dari perubahan ini. Pemerintah harus mendesain tujuan besarnya,” ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus