Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Metamorfosis Sang Gitaris
Peran Abdee Negara sangat menonjol dalam penggalangan relawan pada Pemilihan Presiden 2014. Menolak campur tangan politikus.
ABDEE Negara kini bukan sekadar gitaris Slank. Kehadirannya jauh melampaui Gang Potlot, markas kelompok musik itu di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Jangkauan pria 46 tahun itu juga tak lagi terbatas panggung, tempat ia bersama Kaka, Bimbim, Ridho, dan Ivanka biasa mengentak penggemarnya.
Ia kini menjadi ikon relawan politik yang suaranya didengar banyak orang. Abdee menjelma dari seorang musikus menjadi aktivis, terutama menjelang dan sesudah Pemilihan Presiden 2014. "Pada dasarnya seniman itu memang dilahirkan untuk menjadi aktivis," kata Abdee, penulis lagu dan produser, dalam diskusi di kantor Tempo, awal November lalu.
Abdee sebelumnya memang sering terlibat dalam gerakan kemanusiaan. Bersama kawan-kawannya di dunia hiburan, ia beberapa kali menggalang dana untuk bantuan mereka yang memerlukan. Ia pun aktif dalam gerakan mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi, ketika sejumlah pihak dianggap hendak melemahkan lembaga itu.
Pada 2012, ketika KPK berkonflik dengan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, aktivis antikorupsi menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatasinya. Tapi harapan ini tak segera terwujud karena Presiden tidak segera mengambil langkah apa pun. Masyarakat yang melihat komisi antikorupsi terancam pun berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia. Abdee menyanyikan lagu Where are You Mr President? "Lagu itu saya tulis di mobil, dalam perjalanan menuju Bundaran HI," tuturnya.
Namun peran "politis" Abdee melejit tahun ini. Puncaknya adalah ketika ia memimpin ratusan selebritas menggelar konser "Salam 2 Jari" di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Selatan, pada 5 Juli, yang dihadiri seratusan ribu orang. Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengakui konser di pengujung masa kampanye pada bulan puasa itu menggenjot dukungan yang mengantar mereka menjadi presiden dan wakil presiden 2014-2019.
Popularitas Jokowi mulai menurun justru mendekati hari pemilihan, 9 Juli. Berbagai kampanye kreatif, terutama di media sosial, gagal menghadang serangan hitam yang mendera sang kandidat. Abdee dan kawan-kawan relawannya melihat perlu gebrakan untuk mendongkrak kembali dukungan. "Saya terinspirasi film Wag the Dog," katanya.
Abdee dan rekan-rekannya melihat data: 15 persen pemilik suara belum menentukan pilihan, sebagian besar dari kelompok usia muda. Mereka memutuskan menggelar konser musik besar-besaran. "Saya diminta bergabung sekitar tiga minggu sebelum konser," ujar Jay Subyakto. Pemusik Erwin Gutawa, Triawan Munaf, dan Pemimpin Redaksi Rolling Stone Adib Hidayat bergabung kemudian.
Jay diminta menata panggung, sistem suara, juga acara. Abdee juga meminta pendapat Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, terutama untuk menghindari serangan baru karena acara dilakukan pada bulan puasa. Waktu konser pun ditetapkan pada 5 Juli, sore hari sebelum debat terakhir calon presiden digelar Komisi Pemilihan Umum. "Persiapan konser cuma lima hari," kata Abdee, kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah.
Pengumuman dilakukan lewat media sosial dan dilipatgandakan melalui grup percakapan di WhatsApp atau BlackBerry Messenger. Di Twitter, para pesohor digalang untuk menggunakan tagar #AkhirnyaMilihJokowi. Agar lebih luas, iklan kemudian dipasang di media massa. Semua mencantumkan satu hal: massa dilarang mengenakan atribut partai politik. "Tapi kami tak pernah membicarakan cara memastikan 100 ribu orang bisa datang," ujar Jay.
Di grup percakapan, tempat Abdee bergabung, hanya dibahas teknis konser. "Bukan menjaring massa," kata Panel Barus, anggota grup itu. Organ resmi pendukung Jokowi tidak dilibatkan. Itu sebabnya, ketika Abdee dan kawan-kawan kemudian datang untuk berdiskusi, Jokowi ragu terhadap kesiapan panitia mengundang massa.
Jokowi menawar kemungkinan konser diundur. "Ada tanggal lain enggak? Kalau sepi bagaimana?" kata Abdee menirukan pertanyaan Jokowi. Abdee dan kawan-kawan berkukuh konser digelar 5 Juli.
Dalam perjalanan kampanye di Bandung, dua hari sebelum hari-H, Jokowi masih ragu konser akan berhasil. Aktivis antikorupsi Teten Masduki, yang hampir selalu mendampingi Jokowi berkampanye, pamit kembali ke Jakarta untuk memastikan persiapan konser. Ketika itu, kata Teten, Jokowi masih bertanya: "Masih tetep di GBK?"
Jokowi khawatir stadion berkapasitas tribun 88 ribu orang itu sepi. Bukan perkara mudah mendatangkan 100 ribu orang pada siang hari saat bulan puasa. Ia mengusulkan panitia agar mencari tempat lain yang lebih kecil. Sebab, jika acara sepi pengunjung, citra Jokowi-Jusuf Kalla bakal semakin terpuruk.
Hari penentuan tiba. Sampai pukul 14.00, satu jam sebelum puncak acara, Stadion Utama masih melompong. Panggung yang disambung catwalk dengan latar belakang monitor LCD setinggi 12 meter seperti kesepian di ujung lapangan rumput Zoysia Matrelia Linmer. Setengah jam kemudian, baru beberapa bagian lapangan terisi.
Jay Subyakto kebat-kebit. Bersama kru, pria 54 tahun penyuka busana serba hitam itu tak tenang menunggu situasi di Plaza Senayan, pusat belanja tak jauh dari lokasi acara. Kabar yang ia dapat bahwa Jokowi ada kemungkinan batal datang membuatnya semakin mulas. Keresahan cepat merembet ke relawan yang lain. "Pukul tiga saya putuskan menuju Gelora Bung Karno," ucap Jay.
Rupanya, massa yang datang dengan bus tertahan di pintu gerbang kompleks Gelora Bung Karno. Dari delapan gerbang, hanya dua di antaranya yang dibuka untuk memudahkan panitia membagikan gelang penanda. Massa berinisiatif membuka pintu-pintu besi agar pergerakan lebih lancar. Segera setelah itu, Stadion Utama cepat terisi. Kelak, foto-foto acara itu akan menjadi sejarah: ketika massa yang digalang relawan memenuhi lapangan rumput dan sebagian tribun stadion.
Di ujung acara, Jokowi berdiri di ujung panggung. Ia datang dan pergi dengan berlari. Itulah puncak dari metamorfosis Abdi Negara Nurdin alias Abdee Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo