Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK terbayangkan: Mark Zuckerberg, Jack Dorsey, juga Jan Koum akan begitu mempengaruhi cara berpolitik di Indonesia. Tentu saja, ketiganya tidak melakukan intervensi di sini. Namun aplikasi ciptaan mereka di Internet jelas telah menghubungkan ratusan ribu—atau bahkan jutaan—orang untuk bergerak bersama, memperjuangkan tujuan yang kurang-lebih serupa.
Facebook buatan Zuckerberg, Twitter ciptaan Dorsey, dan WhatsApp karya Koum merupakan "partai terkuat" yang mengikat gerakan orang banyak, terutama pada waktu Pemilihan Presiden 2014. Perangkat media sosial itulah yang banyak mengubah pemilik suara yang umumnya "generasi digital" dari silent majority menjadi orang-orang yang lantang menyuarakan pendapatnya.
Perangkat itu juga telah merobohkan sekat-sekat komunikasi massa, membuat bukan hanya suara "orang besar" yang didengar. Sekarang semua orang bisa berdiri setara untuk menyampaikan informasi kepada siapa saja. Banyak orang bergerak bersama, hampir tanpa komando, dengan mengandalkan jari-jari tangan: merekalah yang kemudian kita kenal sebagai "relawan".
Tumbuhnya "relawan", baik yang bergerak sendiri maupun berkelompok, membedakan Pemilihan Presiden 2014 dengan hajatan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Pada pemilihan langsung pertama, sepuluh tahun silam, pergerakan politik betul-betul dilakukan partai pendukung atau kelompok yang berafiliasi dengan sang kandidat. Hal yang kurang-lebih sama terlihat lima tahun berikutnya.
Tahun ini, ketika persaingan politik hanya terkutub pada dua kandidat presiden, partisipasi publik semakin luas. Ada yang membuat poster-poster kreatif dan lucu, lalu mengedarkannya ke dunia maya. Ada yang menyusun kata-kata indah, kemudian menebarkannya melalui grup percakapan. Mungkin tak semua melakukannya buat menambah suara kandidat yang mereka dukung. Mereka bisa jadi bahkan tidak terikat pada penghitungan-penghitungan politis.
Yang menggembirakan, gerakan semacam itu juga meluas ke daerah dan melebar ke bidang-bidang lain. Ketika berbagai kalangan merasa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam bahaya karena diserang kekuatan politik yang mencalonkannya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pada awal 2014, banyak orang sukarela membelanya. Mereka berkampanye di dunia maya, juga membentangkan spanduk-spanduk bertulisan "#Save Risma".
Kelompok yang semula apolitis juga bergerak untuk isu lingkungan. Ada yang berkampanye dan mengumpulkan dana demi perlindungan terhadap terumbu karang yang terancam. Kelompok lain lantang berteriak tentang perlunya perlindungan terhadap buruh migran. Dalam hal ini, gerakan politis tidak hanya berkaitan dengan perebutan kursi kekuasaan, tapi juga dengan isu-isu sosial lain.
Kami melihat, tumbuh suburnya "relawan" itu merupakan satu hal yang menonjol pada tahun ini. Karena itu, mereka kami pilih sebagai Tokoh Tempo 2014. Definisi "relawan" di sini mungkin bisa diperdebatkan. Ada yang menilai, lebih cocok mereka disebut sebagai "penggerak". Tim penyusun edisi khusus ini memberikan definisi sendiri tentang relawan, yakni orang-orang yang tidak aktif dalam partai politik tapi terlibat dalam gerakan besar yang bersifat politis.
DEMI alasan teknis penyusunan edisi khusus Tokoh Tempo, kami perlu mempersonifikasikan "relawan" itu ke dalam tokoh-tokoh. Dan memang, dalam setiap kerumunan, ada beberapa orang yang menonjol. Tim pimpinan Jobpie Sugiharto, redaktur yang biasanya menulis berita politik, mengidentifikasi kelompok-kelompok relawan, sekaligus menentukan tokoh kelompok itu.
Tim menugasi reporter-reporter Tempo di daerah untuk melihat gerakan politis, yang melibatkan banyak orang di daerah masing-masing. Kami juga melihat daerah-daerah yang dilanda bencana, untuk mencari sukarelawan yang tidak "sekadar" menolong korban. Hasilnya digabungkan dengan daftar yang sudah diperoleh di Jakarta.
Daftar lalu dibahas dalam rapat redaksi. Ada yang dicoret karena setelah diverifikasi ternyata terafiliasi dengan partai politik. Kelompok lain urung ditulis karena Tempo tidak menemukan tokoh yang perannya menonjol dibandingkan dengan anggota lain di kelompok itu. Contohnya gerakan mendukung Tri Rismaharini. Gerakan ini ternyata benar-benar sporadis oleh pendukung sang Wali Kota.
Walhasil, kami memutuskan lima perwakilan "relawan" sesuai dengan kriteria yang ditentukan tim edisi khusus. Di antaranya Abdee Negara, mewakili kelompok yang sukarela membantu memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada pemilihan presiden; Kartika Djoemadi, yang mewakili relawan dunia maya juga untuk memenangkan Joko Widodo; Ainun Najib, sebagai wakil relawan teknologi yang berperan besar mengawal hasil pemilihan presiden; dan Teuku Radja Sjahnan, yang berperan dalam gerakan pendidikan pemilih.
Kami juga memilih penggebuk drum grup musik cadas Superman Is Dead: I Gede Ari Astina alias Jerinx. Pria penuh tato ini sangat aktif dalam gerakan menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali, yang dianggap bakal merusak lingkungan Pulau Dewata.
Mereka adalah orang yang kami nilai luar biasa. Abdee, misalnya, kini menjadi ikon baru gerakan politik dan antikorupsi. Gitaris grup musik Slank ini bukan lagi sekadar pekerja kesenian. Ia kini menjelma menjadi aktivis. Konser Salam 2 Jari di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, yang dihadiri seratusan ribu orang, merupakan penahbisannya sebagai tokoh penggerak massa.
Ainun Najib pun demikian. Pemuda imut yang penampilannya mirip santri ini mengajarkan pentingnya teknologi dalam gerakan mengawal suara banyak orang. Ia dan kawan-kawannya menunjukkan perubahan peran, dari kalangan profesional menjadi tokoh gerakan politis dalam arti positif.
Jerinx tak kalah menarik. Memang, banyak lagu kelompok musiknya mengambil tema kritik sosial, seperti Slank. Salah satu bagian lagu berjudul Marah Bumi, misalnya, berbunyi: Manusia, dan sejuta alasan merusak bumi/ dengan kesombongan yang sempurna// Ketakpeduliannya, lelah aku bertanya.// Mungkinkah akan tiba hari terakhir di dunia? Tapi keterlibatannya membantu membesarkan gerakan perlawanan terhadap reklamasi Teluk Benoa.
Tokoh-tokoh itu memiliki kegiatan yang tidak terlalu dekat dengan politik. Setelah mencapai tujuan bersama, mereka kembali ke habitat masing-masing. Kartika kembali dengan dunia konsultan komunikasinya, Radja balik ke bisnisnya, begitu juga Abdee yang telah menggelar tur bersama kelompok musiknya.
Mereka adalah orang yang berpolitik dengan gembira. Setidaknya begitulah yang kami rasakan ketika mereka kami undang untuk berfoto bersama.
Tantangan penyusunan edisi ini adalah menghindari publikasi berlebihan pada setiap tokoh. Sebab, gerakan mereka umumnya pernah kami tulis secara terpisah dalam edisi-edisi sebelumnya. Karena itu, tim kemudian menyusun sudut pandang atau angle baru dari setiap tokoh. Tentu saja, dalam banyak hal kami mustahil tak menulis kembali kegiatan mereka.
Pembaca yang terhormat, sekali lagi, lima tokoh ini kami pilih sebagai perwakilan dari jutaan "relawan", yang menjadi Tokoh Tempo 2014 sebenarnya. Selamat membaca.
Tim Edisi Khusus Relawan Penanggung jawab: Budi Setyarso Kepala proyek: Jobpie Sugiharto Koordinator: Bagja Hidayat, Dwi Wiyana, Jajang Jamaludin Sunudyantoro Penulis: Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Akbar Tri Kurniawan, Ananda Teresia, Anton Septian, Bagja Hidayat, Dwi Wiyana, Febriyan, Ira Guslina Sufa, Istman M.P., Jajang Jamaludin, Jobpie Sugiharto, Kartika Candra, Muhamad Rizki, Mustafa Silalahi, Prihandoko, Rusman Paraqbueq, Sunudyantoro, Yuliawati Penyunting: Arif Zulkifli, Bina Bektiati, Budi Setyarso, Dwi Wiyana, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, Jajang Jamaludin, Jobpie Sugiharto, L.R. Baskoro, M. Taufiqurohman, Philipus Parera, Qaris Tajudin, Seno Joko Suyono, Setri Yasra, Tulus Wijanarko, Yos Rizal, Yosep Suprayogi Penyumbang bahan: Anang Zakaria (Yogyakarta), Istman M.P., Kartika Candra (Singapura), Maria Yuniar, Prihandoko (Bali), Rofiqi Hasan (Bali), Rusman Paraqbueq, Yuliawati Bahasa: Uu Suhardi (Kepala), Sapto Nugroho, Iyan Bastian Foto: Ratih Purnama N. (Koordinator), Jati Mahatmaji, Nita Dian Fotografer: Aditia Noviansyah, Franoto, Ijar Karim , M. Iqbal Ichsan, Nurdiansah Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Kendra H. Paramita, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo