Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karikatur Jakarta Post Dikriminalkan
Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat sebagai tersangka kasus penistaan agama, Kamis pekan lalu. Ia dianggap bertanggung jawab atas pemuatan karikatur bendera Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang dipelesetkan menjadi bendera bajak laut di koran berbahasa Inggris itu.
"Ia dijerat dengan ancaman lima tahun penjara," kata juru bicara Polda Metro, Komisaris Besar RikÂwanto.
Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta melaporkan The Jakarta Post ke Markas Besar Kepolisian RI pada pertengahan Juli lalu. Padahal koran itu sebenarnya sudah meminta maaf kepada publik setelah Dewan Pers menyatakan karikatur tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik. Itu sebabnya, Dewan Pers menyesalkan penetapan status tersangka Meidyatama.
Menurut Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga Dewan Pers Nezar Patria, polisi seharusnya menggunakan Undang-Undang Pers, bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. "Karena karikatur itu karya jurnalistik," ujarnya. Bahkan Dewan Pers menilai kasus ini sudah selesai setelah The Jakarta Post meminta maaf. Meidyatama menyatakan terkejut terhadap status hukumnya. Namun, kata dia, "Kami akan mengikuti proses sesuai dengan ketentuan hukum."
Karikatur Berujung Tersangka
3 Juli 2014
The Jakarta Post memuat karikatur ISIS, yang dianggap sebagian kalangan menistakan Islam.
8 Juli 2014
Redaksi The Jakarta Post meminta maaf secara terbuka atas pemuatan karikatur itu.
11 Juli 2014
Sejumlah organisasi berunjuk rasa di depan kantor The Jakarta Post.
15 Juli 2014
Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta Edy Mulya melaporkan Jakarta Post ke polisi. Dewan Pers menyatakan pemuatan karikatur melanggar Kode Etik Jurnalistik.
7 Agustus 2014
Mabes Polri melimpahkan laporan Edy ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.
11 Desember 2014
Polda Metro Jaya menetapkan Pemimpin Redaksi Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat sebagai tersangka kasus penistaan agama.
*Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengatakan Meidyatama dijerat dengan Pasal 156 huruf a KUHP tentang Penistaan Agama dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Terpidana Mati Narkoba Tak Diampuni
Presiden Joko Widodo tak akan mencabut eksekusi mati terhadap bandar narkotik dan obat-obatan terlarang. Jokowi mengatakan pengadilan sudah menjatuhkan vonis mati terhadap mereka. Indonesia sedang siaga narkotik karena setiap hari 40-50 orang mati karena narkotik. "Semuanya harus menghargai bahwa setiap negara mempunyai aturan sendiri," katanya Selasa pekan lalu.
Presiden menanggapi permintaan Amnesty International agar Indonesia membatalkan rencana eksekusi mati terhadap lima terpidana perkara narkotik. Lembaga ini juga ingin pemerintah melakukan moratorium eksekusi hukuman mati.
Presiden Jokowi menolak pengajuan permohonan grasi 64 narapidana, yang tiga orang di antaranya segera menghadapi eksekusi hukuman mati. Pemerintah juga meminta Mahkamah Agung menerbitkan fatwa pembatasan pengajuan permohonan peninjauan kembali perkara narkotik.
Lumpur Lapindo Meluap Lagi
Lumpur kembali meluap di area eksplorasi PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, melalui tanggul di titik 73B pada Selasa pekan lalu. Selain merendam perabotan dan berkas di Balai Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, lumpur menggenangi permukiman di sekitarnya. Sebelumnya, lumpur meluap pada September lalu.
Tujuh perwakilan warga akan mengadu kepada Presiden Joko Widodo karena persoalan lumpur Lapindo tak kunjung selesai selama delapan tahun. "Termasuk ganti rugi yang tak jelas kapan waktu pelunasannya," kata Fattah, seorang wakil warga.
Menurut Alifaturrosyidah, anggota staf Kantor Desa Kedungbendo, balai desa yang berlokasi di sisi utara tanggul yang jebol itu tak bisa digunakan lagi. Maka perabotan dan berkas dipindahkan ke Desa Kalitengah. Upaya warga menahan tanggul dengan anyaman bambu agar tidak jebol tak membuahkan hasil.
Penembak Warga Paniai Diburu
Markas Besar Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia memburu pelaku penembakan di Lapangan Karel Gobai, Kabupaten Paniai, Papua, pada Senin pekan lalu. Empat warga tewas tertembak dan sepuluh lainnya terluka dalam insiden ini. Tujuh tentara dan polisi pun terluka ditembus panah.
Kepala Biro Penerangan Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan penyidik gabungan sudah memeriksa lokasi kejadian di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah Paniai dan sejumlah saksi. Tapi belum diketahui pelaku dan dalangnya. Juru bicara TNI, Mayor Jenderal Fuad Basya, menduga pelakunya gerakan separatis Papua. Sedangkan Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobay, menuduh pelakunya aparat keamanan.
Awalnya massa mengamuk di sekitar kantor KPUD, Komando Rayon Militer, dan Kepolisian Sektor Paniai Timur pada Senin pagi pekan lalu karena rekan mereka dianiaya sehari sebelumnya. Ketika polisi menenangkan massa, muncul tembakan dari atas bukit sehingga massa makin beringas. Sehari kemudian, kondisi Paniai berangsur tenang. l
Hakim Korupsi Dihukum Tujuh Tahun
Mantan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Ramlan Comel, dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan kurungan pada Selasa pekan lalu. Dia dinilai terbukti menerima suap dari bekas Wali Kota Bandung Dada Rosada. Hukuman itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni sepuluh tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Menurut ketua majelis hakim Barita Lumban Gaol, Ramlan terbukti menerima suap Rp 1,9 miliar dan US$ 160 ribu dari Dada dan bekas Sekretaris Kota Bandung Edi Siswadi. Suap ini untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi dana bantuan sosial Kota Bandung. Ramlan, yang bertindak sebagai ketua majelis hakim, dibantu hakim Setyabudi Tejocahyono. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Setyabudi pada Maret 2013. Dia divonis 12 tahun penjara, sedangkan Dada 10 tahun penjara.
Ramlan dan pengacaranya, Irfan Ardiansyah, belum memutuskan langkah hukum berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo