Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tawa dan celoteh anak-anak terdengar dari balik dinding. Kegaduhan itu tak mengusik 15 perempuan yang sedang berdiskusi di dalam kelas. Mereka asyik bertukar pengalaman dan mengasah teori mengenai pola-pola pengasuhan anak. Dua pekan silam, 15 wanita itu datang jauh-jauh ke Lembang, Jawa Barat, meninggalkan rumahnya di Banda Aceh, Meulaboh, dan Medan. Mereka adalah calon ibu asuh yang sedang menjalani pelatihan di SOS Kinderdorf, yang lebih dikenal sebagai SOS Desa Taruna Lembang.
Motif mereka seragam. Ida Riyani, 25 tahun, perempuan asal Banda Aceh itu, bergabung dengan SOS Kinderdorf karena ingin membantu anak-anak di kotanya yang kehilangan orang tua akibat bencana tsunami. Ia tahu SOS Kinderdorf dari siaran radio. Kendati sempat kaget setelah mengetahui ada larangan menikah selama menjadi ibu asuh, Ida tetap meneruskan langkahnya. ”Menikah juga ujung-ujungnya mempunyai anak. Di sini tidak perlu menikah tapi sudah punya anak. Sama saja.”
Peserta lain adalah Rosamaeda Purba, 42 tahun. Hati janda beranak dua itu terpincut SOS Kinderdorf karena lembaga yang kegiatannya sekilas mirip panti asuhan itu melarang anak-anak asuhnya diadopsi. ”Saya tertarik metode mendidik anak di sini dengan pendekatan sebuah keluarga,” ujar perempuan yang tadinya berdagang baju di Medan itu.
Mereka semua akan menjalani pendidikan di Lembang selama tiga bulan. Sebuah korting besar dari masa pelatihan yang lazimnya selama dua tahun—mulai dari proses wawancara, tes, pembekalan teori, dan magang menjadi ibu asuh. ”Ada pengecualian,” kata pimpinan SOS Desa Taruna Lembang, Sutrisno Setiawan.
Para peserta pelatihan itu ditempa menjadi ibu asuh di perkampungan SOS Desa Taruna, yang sedang dibangun di Banda Aceh, Meulaboh, dan Medan. Mereka akan mengasuh anak-anak korban gempa dan tsunami di Aceh dan Nias hampir dua tahun lalu.
Setiap pekan, para calon ibu asuh di Desa Taruna itu berpindah rumah. Mereka magang dan melakukan pekerjaan yang sama seperti ibu asuh di rumah-rumah itu. Sebagai selingan, selama tiga jam setiap hari mereka mendapat pembekalan teori mengenai pola pengasuhan anak dari pengelola desa.
Mari kita teropong kegiatan para ibu asuh.
Teriakan seorang perempuan terdengar dari dalam rumah. ”Fathur, main sepeda di luar, ya.” Seorang bocah terlihat segera menghela sepeda kecilnya ke halaman. Di sana ia berputar-putar dengan sepedanya seperti hendak pamer. Sri Andiani, perempuan yang tadi berteriak, cuma memperhatikan sambil tersenyum.
Di dalam rumah, seorang perempuan muda lain sedang menyetrika pakaian. Dia Santi, kini sedang menuntut ilmu di Jurusan Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta. Tak lama kemudian, masuk seorang anak berseragam sekolah dasar. ”Assalamualaikum,” gadis kecil itu menguluk salam sambil menghampiri dan mencium tangan Sri Andiani. Dia Desy Indah Sari. Seorang anak lain menyusul masuk. Namanya Selmi Fitriani.
Dalam soal anak, perempuan berperawakan sedang dengan rambut pendek itu memang terhitung subur. Selain empat anak tadi, dia masih memiliki dua anak lain. Simak pula pengakuannya ini, ”Saya telah mantu 10 kali dan memiliki 15 cucu.”
Jadi, wanita 48 tahun ini punya 16 anak? Betul, tapi semuanya bukan anak kandungnya. Inilah berkah yang didapat Sri Andiani sebagai ibu asuh di perkampungan SOS Desa Taruna, Cibubur, Jakarta Timur. Jumlah anak yang ia asuh sejak menjadi ”ibu” pada 1984 bahkan lebih dari angka tersebut. Mereka adalah anak-anak dari keluarga tak mampu yang menjadi asuhan Yayasan SOS Desa Taruna.
Sri berperan layaknya ibu kandung bagi anak-anak tersebut. Dia harus mendampingi saat mereka belajar. Mendengarkan pelbagai keluh-kesah. Datang ke sekolah untuk mengambil rapor, atau menyelesaikan masalah yang mereka dapat di tempat mereka belajar.
Bila anak-anak itu kekurangan uang, duit gajinya yang tak seberapa pun ia berikan. Bahkan anak-anak yang sudah tak tinggal di rumah kadang-kadang masih menadahkan tangan. Soalnya, ”Hanya aku ibu yang mereka kenal,” ujarnya.
Di rumah lain, ada Supriatni. Perempuan 37 tahun ini mengurus 12 anak. Ketika Tempo bertandang pekan lalu, anak-anak berusia sekolah dasar mondar-mandir di ruang tamu—ruang yang hanya dipisahkan oleh lemari rendah dengan meja makan yang sekaligus menjadi meja belajar. Untuk tidur, mereka harus berbagi tilam di empat kamar.
Mengurusi anak-anak yang begitu banyak dan dengan latar belakang berbeda-beda jelas bukan hal yang mudah. Sri bercerita pernah memiliki empat anak bersaudara kandung yang terlibat bermacam masalah. Anak pertama mogok sekolah dan meninggalkan rumah. Adiknya, yang sempat kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, terlibat pemakaian narkoba. Seorang adiknya yang lain kabur hanya sebulan sebelum mengikuti ujian sekolah menengah kejuruan. Si bungsu lari saat pendidikan di balai latihan kerja. Tentu saja Sri stres. Biasanya, ia lalu berusaha menenangkan pikiran dengan jalan-jalan sendiri keluar rumah. Setelah pikiran tenang, barulah ia kembali ke rumah.
Ada pula cerita mengesankan. Supriatni menuturkan seorang anaknya pernah mencuri uang. Uang kertas Rp 500 itu kemudian disobek menjadi tiga potongan. Begitu Supriatni pulang, si anak ingin menukar potongan uang kertas itu menjadi uang receh untuk jajan.
Saat ditanya kenapa uang kertas itu dipotong, si anak menjawab jujur, ”Dari nyuri kemudian harus dibagi bertiga.” Jawaban itu mau tak mau membuat Supriatni tersenyum.
SOS Desa Taruna menerapkan pola pengasuhan anak yang berbasis keluarga dan bersifat jangka panjang. Anak-anak diharapkan mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan adik-kakak layaknya dalam sebuah keluarga. ”Anak-anak baru dilepas dari desa setelah mandiri,” kata Direktur Nasional SOS Desa Taruna, Gregor Hadiyanto Nitihardjo.
Keluarga yang dibentuk adalah keluarga yang seagama. Keluarga Sri, misalnya, merupakan keluarga muslim. Sedangkan keluarga Supriatni merupakan keluarga Katolik. ”Kami membantu tanpa memandang agama ataupun suku,” kata Hadiyanto.
Di kompleks SOS Desa Taruna Cibubur seluas 3,5 hektare, terdapat 15 keluarga. Dari jumlah itu, enam di antaranya keluarga muslim, enam keluarga Katolik, dan sisanya keluarga Kristen. Begitu pula di Lembang. Dari 13 keluarga di sana, lima merupakan keluarga muslim, lima Katolik, dan tiga keluarga Kristen.
Proporsi hampir serupa diterapkan di Semarang dan rencananya juga di Medan. Namun, untuk Bali, semuanya keluarga Hindu. Di Maumere, semuanya keluarga Katolik. Untuk di Banda Aceh dan Meulaboh direncanakan semuanya keluarga muslim.
Aturan bagi para ibu asuh untuk tak menikah, menurut wakil pimpinan SOS Desa Taruna Lembang, Lukas Formiatho, merupakan upaya agar anak-anak bisa menerima kasih sayang ibu sepenuhnya. ”Tidak terbagi-bagi dengan orang lain,” ujarnya. Ibu asuh yang menikah terpaksa diberhentikan. Adapun sosok ayah digantikan beberapa bapak pembina yang juga tinggal di desa.
Yayasan SOS Desa Taruna didirikan di Indonesia pada 1970 oleh Agus Prawoto, yang baru selesai menuntut ilmu di Austria. SOS Desa Taruna merupakan waralaba SOS Kinderdorf, yang didirikan oleh Hermann Gmeiner pada 1949 di Imst, Austria. Gmeiner mendirikan SOS Kinderdorf untuk menolong anak-anak yang telantar akibat perang dunia.
Perkampungan SOS Desa Taruna pertama beroperasi tahun 1972 di Lembang, Jawa Barat. Tiga belas keluarga tinggal di desa ini dan menampung 165 anak. Sepuluh tahun kemudian, menyusul pendirian perkampungan di Cibubur, Jakarta Timur.
Di kompleks ini 150 anak bisa tertampung. Tak lama kemudian menyusul perkampungan serupa di Semarang, Jawa Tengah, Tabanan (Bali), dan Maumere (Nusa Tenggara Timur).
Selain bantuan uang untuk hidup dan sekolah, yayasan memberikan keluarga dan komunitas bagi anak-anak. Rumah-rumah SOS Desa Taruna selalu berada dalam sebuah kompleks yang biasa disebut village (desa). Di desa tersebut anak-anak banyak dibantu.
Bila di rumah, ibu-ibu yang bekerja. Di sekolah, para guru yang bekerja mengasuh anak. Setiap sore, yayasan menyediakan berbagai program, termasuk pemberian pelajaran tambahan seperti matematika dan bahasa Inggris. Ada pula pelatihan keterampilan seperti komputer atau menari. Desa juga menyediakan lapangan tempat anak-anak bisa berolahraga bersama. Di Cibubur bahkan didatangkan pelatih sepak bola.
Purwani Diyah Prabandari, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo