Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURANG dari sebulan setelah tak lagi menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla kembali bergerak di pusaran bisnis keluarganya. Rabu, 13 November lalu, pria 77 tahun itu berkunjung ke Desa Sulawena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Di wilayah antara Danau Poso dan Teluk Tomini itu, PT Poso Energy, perusahaan milik PT Hadji Kalla dan PT Bukaka Teknik Utama Tbk, tengah mengebut ekspansi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso. Terakhir kali Kalla berkunjung ke pembangkit energi terbarukan ini pada Juli 2018.
Achmad Kalla, adiknya, mengatakan PLTA Poso existing dibangun pada 2005 dan mulai beroperasi pada 2012. Adapun proyek ekspansi dikerjakan sejak tiga tahun lalu. “Saat ini pembangunan power house pertama sudah selesai. Normalisasi sungai sedang berjalan dan sedang proses pembangunan power house kedua,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 13 Desember lalu. Kelak PLTA Poso hasil ekspansi dengan kapasitas total 515 MW menjadi peaker alias pembangkit yang dioperasikan pada waktu beban puncak.
Poso hanya satu lokasi yang digarap keluarga Kalla. Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, mereka juga sedang membangun PLTA Malea dengan kapasitas 2 x 45 MW.
Investasi di pembangkitan memang paling gurih di bisnis kelistrikan. Seorang bos kelompok usaha di sektor ini menyebut pembangkit sebagai “daging”. Adapun proyek transmisi dan distribusi, bagian lain dari dagang setrum, “Lebih banyak durinya,” tutur pendiri konglomerasi yang memiliki sejumlah pembangkit tersebut.
Peluang independent power producer (IPP) mendapat pengembalian investasi sangat besar lantaran setiap listrik yang mereka produksi harus dibeli PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), baik terpakai maupun tidak. Skema ini dikenal sebagai take or pay. Bisnis pembangkit juga menarik minat perusahaan tambang batu bara untuk memastikan produksinya terserap.
PT Adaro Energy Tbk, misalnya, saat ini sedang menuntaskan dua pembangkit listrik tenaga uap, yakni PLTU Batang di Jawa Tengah dan PLTU Tanjung di Tabalong, Kalimantan Selatan. Menelan investasi sebesar US$ 4,2 miliar atau senilai Rp 58 triliun, PLTU Batang ditargetkan rampung pada 2020 dengan kapasitas 2 x 1.000 MW. Sedangkan PLTU Tanjung dengan kapasitas 2 x 100 MW diproyeksikan dapat beroperasi tahun ini dengan total investasi sekitar Rp 7,6 triliun.
Raksasa energi lain, Medco Group, meng-operasikan pembangkit di 20 lokasi di Tanah Air dengan total kapasitas mencapai 3.100 MW. Yang terbaru, kelompok -usaha milik keluarga Panigoro ini mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Riau 275 MW di Tenayan, Pekanbaru, lewat PT Medco Ratch Power Riau. Selain itu, Medco akan mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen di Jawa Timur dengan kapasitas 110 MW.
Barito Pacific Group milik taipan Prajogo Pangestu juga menguasai bisnis ini. Melalui Star Energy, Barito Pacific adalah pemilik PLTP terbesar di Indonesia dan ketiga terbesar di dunia setelah mengakuisisi PLTP Darajat dan Salak (610 MW) dari Chevron Corp senilai US$ 2,3 miliar atau lebih dari Rp 32 triliun pada 2017.
Pionir pengembangan energi panas bumi di Indonesia, PT Supreme Energy, juga sedang mengembangkan PLTP Muara Laboh 80 MW di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, yang ditargetkan beroperasi pada akhir 2019. Proyek PLTP Rantau Dedap 90 MW di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, akan menyusul pada 2020.
Sebaliknya, ada juga yang menahan diri. PT Indika Energy Tbk, misalnya. “Kami berfokus mengembangkan PLTU Cirebon 2 dulu,” kata Presiden Direktur Indika, Arsjad Rasjid, Kamis, 12 Desember lalu.
RETNO SULISTYOWATI, KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo