Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pergantian direksi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tak hanya akan menentukan perubahan arah bisnis perusahaan yang diinginkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Nasib rencana pencabutan subsidi tarif listrik 900 volt-ampere bagi rumah tangga mampu pun makin tak menentu hingga direksi baru resmi menjabat. “Kami mau bahas dulu. Kami lihat urgensinya,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Senin, 9 Desember lalu.
Disepakati dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, September lalu, rencana pencabutan subsidi listrik belakangan tampak mundur selangkah. Gejalanya dimulai ketika Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 menggelar rapat kerja perdana dengan rombongan manajemen PLN yang dipimpin pelaksana tugas direktur utama, Sripeni Inten Cahyani, Senin, 25 November lalu.
Dipimpin Ketua Komisi Energi Sugeng Suparwoto, persamuhan yang memakan waktu lebih dari lima jam itu diakhiri dengan enam kesimpulan. Yang utama, Komisi Energi mendesak PLN menyodorkan data lengkap tentang golongan rumah tangga yang berhak dan tak berhak mendapat subsidi listrik. Dua hari kemudian, giliran Menteri Arifin dicecar parlemen soal rencana itu. Sikap Arifin saat itu sama saja. “Kami perlu memperdalam lagi data agar kebijakannya tepat,” ujarnya.
Sikap Kementerian Energi seolah-olah mundur selangkah. Pada 3 September lalu, Kementerian Energi pula yang menjadi ujung tombak dalam pembahasan dengan Badan Anggaran DPR periode sebelumnya. Subsidi untuk golongan tarif 900 VA rumah tangga mampu dicabut. Selama ini, kelompok pelanggan tersebut dianggap paling membebani anggaran subsidi karena jumlahnya mencapai 24,4 juta rumah tangga. Kesepakatan di Badan Anggaran itu pula yang menjadi dasar pemangkasan anggaran subsidi listrik dalam APBN 2020 menjadi hanya Rp 54,79 triliun dari bujet 2019 yang mencapai Rp 59,32 triliun.
Kala itu, Kementerian Energi punya hitungan jelas. Jika penyesuaian tarif dilakukan pada kelompok ini, subsidi bisa dihemat hingga Rp 6,9 triliun. Tarif listrik sebesar Rp 1.352 per kilowatt-jam (kWh) yang dibayar kelompok ini kelak menjadi Rp 1.552 per kWh. Artinya, tarif naik sekitar Rp 200 per kWh sehingga dalam sebulan tambahan pembayaran yang harus ditanggung sebesar Rp 21-29 ribu. “Tidak seberapa karena tidak sampai Rp 1.000 per hari,” ucap Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana.
Namun, menurut Sugeng Suparwoto, kekurangan keputusan tersebut adalah masih lemahnya basis data. “Apakah mereka itu sudah benar-benar sejahtera?” kata Sugeng kepada Tempo, Kamis, 13 Desember lalu.
Sugeng mengatakan Komisi Energi tak ingin pemerintah terburu-buru memangkas subsidi energi. Pencabutan subsidi di tengah tekanan resesi global dikhawatirkan menekan pertumbuhan ekonomi 2020. Apalagi daya beli tampak menurun, ditandai dengan melambatnya laju pertumbuhan produk domestik bruto konsumsi rumah tangga triwulan III 2019 yang hanya 5,01 persen dibanding 5,17 persen pada triwulan sebelumnya. “APBN sedang tidak nyaman, tapi masyarakat juga dalam kondisi yang sulit,” tuturnya.
Laporan terbaru Bank Dunia, Rabu, 11 Desember lalu, menguatkan argumen Sugeng. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan disebutkan hanya mencapai level 5,1 persen, di bawah optimisme APBN 2020 yang sebesar 5,3 persen. Bank Dunia memperkirakan inflasi meningkat dari 3,1 persen menjadi 3,5 persen akibat penghapusan subsidi tarif listrik, kenaikan premi Jaminan Kesehatan Nasional, dan tambahan cukai rokok.
Bagi PLN, penundaan kenaikan tarif listrik akan menekan arus kas perseroan yang menipis tergerus tingginya harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Hingga tahun lalu, rata-rata HPP mencapai Rp 1.406 per kWh, lebih mahal Rp 283 per kWh dari rata-rata harga jual nasional. Namun, seperti penundaan kenaikan tarif pada tahun-tahun sebelumnya, manajemen PLN kali ini bakal pasrah. “Nanti yang menentukan kementerian teknis,” ucap Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Abumanan, Kamis, 12 Desember lalu.
PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo