Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUDIANTARA menyandang kemeja kasual berkelir krem ketika melintas di selasar Bursa Efek Indonesia, Jakarta Selatan, awal November lalu. Menenteng sekantong berkas, dia bergegas menuju pintu keluar. “Ini untuk mengurus Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara,” katanya. “Masuk kabinet lapor, selesai juga harus lapor kekayaan.”
Pria 60 tahun itu baru saja lengser dari kursi Menteri Komunikasi dan Informatika. Namanya tidak masuk formasi kabinet Presiden Joko Widodo periode 2019-2024. Sekretaris Jenderal Partai NasDem Johnny Gerard Plate menggantikannya.
Beberapa pekan setelah itu, Rudiantara muncul lagi. Kali ini hanya nama. Dia mencuat sebagai kandidat kuat Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), satu dari 20 badan usaha milik negara yang berstatus strategis. Di tengah perombakan direksi PT Pertamina (Persero) dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Sekretaris Kabinet Pramono Anung memberikan sinyal bahwa rencana kembalinya Rudiantara ke PLN telah melewati sidang tim penilai akhir yang diketuai presiden. “Mudah-mudahan segera dilantik. Yang jelas, saya sudah tanda tangan,” ucap Pramono, Senin, 25 November lalu.
Besar di industri telekomunikasi, Rudiantara memang pernah menjadi Wakil Direktur Utama PLN pada 2008-2009. Pada Senin, 9 Desember lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan penunjukan Rudiantara sebagai bos baru perusahaan setrum negara. “Jadi saya kira presiden menunjuk Pak Rudi sudah keputusan yang sangat tepat,” ujar Luhut di Hotel Sultan, Jakarta.
Rudiantara, yang awalnya menyebut penunjukannya sebagai bos PLN hanya rumor, kini tak bisa mengelak. Namun dia tidak mau mendahului hitam di atas putih. “Administrasi rapat umum pemegang sahamnya masih berproses,” tuturnya ketika dihubungi pada Rabu, 11 Desember lalu.
Posisi Direktur Utama PLN menjadi kursi panas sejak awal 2019. Lebih dari satu semester, perusahaan dengan aset senilai Rp 1.492 triliun ini tak punya bos definitif. Direktur utama sebelumnya, Sofyan Basir, diberhentikan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Belakangan, Sofyan divonis bebas dalam perkara yang lebih dulu menjebloskan dua politikus Partai Golkar, Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham, ke penjara ini.
Baru dua hari didapuk sebagai pelaksana tugas direktur utama, Direktur Pengadaan Strategis 1 PLN Sripeni Inten Cahyani ketiban bala. Listrik di separuh Pulau Jawa bagian barat padam total pada 4 Agustus lalu. Blackout menyebabkan aktivitas di Ibu Kota lumpuh. Moda transportasi berbasis listrik, seperti kereta rel listrik dan moda raya terpadu, tak berfungsi. Perlu lebih dari dua hari bagi PLN untuk memulihkan jaringan listrik wilayah utara tersebut.
Menteri BUMN Erick Thohir menolak menyalahkan Sripeni, yang ia anggap telah menjalankan tugas dengan baik sebagai pelaksana tugas Direktur Utama PLN. Namun, setelah meninjau ulang bisnis PLN, Erick menilai perseroan membutuhkan bos yang istimewa. “Diperlukan figur yang besar,” kata Erick di ruang kerjanya, kantor Kementerian BUMN, Jakata, Sabtu, 7 Desember lalu.
Ketika ditanyai tentang mencuatnya nama Rudiantara, Erick memberikan penjelasan, tapi ia meminta pernyataannya tidak dikutip. Begitu pula ketika disinggung soal Darmawan Prasodjo, mantan Deputi I Kantor Staf Presiden. Munculnya nama kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang akrab dipanggil Darmo itu disebut-sebut sebagai faktor yang mewarnai tarik-ulur di bursa kursi Direktur Utama PLN.
Bagi Erick, ada hal krusial lain yang mendesak dilakukan di PLN saat ini. Dia ingin perusahaan menggeser fokus model bisnis dari pembangkitan ke distribusi. “Kalau strateginya terjebak bikin pembangkit, punya pertambangan, akhirnya akan berat. Sedangkan yang terpenting itu distribusi listrik,” ucap Erick.
Direktur Strategis II PLN Djoko Abumanan mengatakan PLN akan menyanggupi perubahan fokus bisnis yang diinginkan Kementerian BUMN. Dia tak menampik, lima tahun terakhir, perseroan jorjoran menggarap pembangkit.
Rudiantara di Jakarta, Juni 2017. / Dok.TEMPO/Eko Siswono Toyudho
KONDISI keuangan PLN tak kunjung membaik sejak Menteri Keuangan Sri Mul-yani memperingatkan Kementerian BUMN soal potensi perusahaan gagal membayar utang (default) pada September 2017. Dalam surat bernomor S-781/MK.08/2017 yang juga ditembuskan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu, Menteri Sri meminta PLN menyesuaikan target investasi. Sebab, tiga tahun berturut-turut sebelum itu, Kementerian Keuangan harus meminta penundaan dan peringanan (waiver) kepada kreditor perseroan.
Pangkal masalahnya kala itu ada pada rendahnya pertumbuhan kas bersih operasi akibat keputusan pemerintah meniadakan kenaikan tarif penjualan listrik. Sedangkan utang pokok dan bunga pinjaman PLN diperkirakan terus meningkat seiring dengan tugas mengawal program 35 ribu megawatt.
Belakangan, pemerintah mengundurkan proyek 35 ribu megawatt dari target kelar pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo. Namun beban keuangan perseroan telanjur berat. Laporan keuangan PLN 2018 mencatat kas perseroan jeblok 21,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan beban usaha PLN lebih kencang dua kali lipat dibanding pendapatan hingga menyebabkan kerugian operasi perusahaan makin dalam. Sebaliknya, total liabilitas perseroan mencapai Rp 565,07 triliun, melonjak 21 persen dibanding tahun sebelumnya.
Untuk menjaga kesehatan kantong perusahaan, PLN mengandalkan pundi-pundi dari jualan listrik pelanggan dan subsidi. Masalahnya, seperti dicantumkan pula dalam surat Menteri Sri pada 2017, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir menahan PLN menaikkan tarif bagi pelanggan nonsubsidi. Pada 2018, penundaan kenaikan tarif itu dimasukkan PLN ke pendapatan kompensasi senilai Rp 23,17 triliun yang sebenarnya piutang kepada Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara. PLN pun akhirnya tercatat meraup laba Rp 11,57 triliun. Duit perusahaan hanya gemuk di buku, kempis di kantong.
Dari laporan keuangan itu pula tampak partisipasi PLN, lewat anak dan cucu perseroan, dalam berderet proyek pembangkit. Dua tahun terakhir, misalnya, PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI)—cucu PLN dari PT Pembangkitan Jawa Bali—menggelontorkan Rp 746,08 miliar dalam dua tahap untuk 25 persen saham PT North Sumatra Hydro Energy, yang sedang menggarap Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru berkapasitas 510 megawatt di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Lewat PJBI pula PLN turut serta dalam konsorsium pembangunan proyek PLTU Riau-1, yang belakangan terindikasi sarat suap.
Seorang bos perusahaan setrum swasta menjelaskan, penyertaan saham PLN lewat anak usahanya belakangan harus diladeni kontraktor sebagai syarat mendapat proyek pembangkit lewat mekanisme penunjukan. Skema penunjukan langsung dipayungi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batu Bara untuk Pembangkit Listrik, yang mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Dua ketentuan ini diteken beriringan pada 13 dan 14 Februari 2017.
Belakangan, model penunjukan dengan syarat penyertaan saham tersebut, kata sumber tadi, membuat banyak produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) gerah dan memikirkan ulang rencana proyeknya. Hal ini dibenarkan Presiden Direktur PT Indika Energy Tbk Arsjad Rasjid.
Darmawan Prasodjo di Jakarta, 6 Agustus lalu. / Foto: ksp.go.id
Menurut Arsjad, Indika menahan diri untuk berekspansi sejak PLN masuk ke bisnis pembangkit dengan saham mayoritas 51 persen. Sebab, PLN hanya menyetorkan modal 10 persen. Sisa kewajiban modal sebesar 41 persen harus diambil lewat pinjaman yang ditanggung swasta rekan kerja. “Tahu skemanya begitu, kami menarik diri,” ucap Arsjad saat ditemui di Jakarta, Kamis, 12 Desember lalu. Indika kini berfokus menggarap PLTU Cirebon 2 berkapasitas 1.000 MW dalam konsorsium yang dipimpin Marubeni Corporation, yang sebelumnya membangun PLTU Cirebon 1 (660 MW).
Produsen listrik swasta lain yang mundur dengan skema PLN itu adalah PT Adaro Energy Tbk, yang sebagian sahamnya dimiliki Garibaldi Thohir, abang Menteri Erick. Boy—begitu Garibaldi biasa dipanggil—mundur teratur dalam proyek PLTU mulut tambang Kaltim 5 di Muara Wahau, Kalimantan Timur, setelah diminta menggendong saham PLN dengan skema yang sama. PLN, menurut Boy, juga meminta Adaro melepas 51 persen saham di tambang itu. “Enggak jadi sajalah,” tutur Presiden Direktur Adaro ini ketika dihubungi Tempo, Kamis, 12 Desember lalu. “Enggak apa-apa. Toh, batu bara kan enggak busuk. Ha-ha-ha....”
Saat menjadi saksi dalam kasus korupsi PLTU Riau-1 dengan terdakwa Eni Maulani Saragih, mantan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, beralasan skema itu diterapkan agar PLN menguasai keuntungan lebih besar. Menurut Sofyan, itu metode baru, meski tidak disukai pengusaha. “Pola ini harus kami lakukan karena PLN harus menguasai hajat hidup orang banyak. Jangan sampai dikuasai pihak swasta,” kata Sofyan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 11 Desember 2018.
Batu bara memang masih akan mendominasi bauran energi penyediaan listrik nasional. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2019-2028 memuat rancangan kebutuhan tambahan kapasitas sebesar 56 ribu MW. Hampir separuhnya dari PLTU dan PLTU mulut tambang baru atau ekspansi. Tambahan daya dari PLTU mulut tambang ditargetkan mulai masuk pada 2021. Semuanya direncanakan digarap oleh IPP.
Tempo berupaya kembali menanyakan keluhan para pengusaha listrik tersebut kepada Menteri Erick. Namun hingga Sabtu, 12 Desember lalu, dia belum merespons pertanyaan tentang hubungan keluhan tersebut dengan rencana perubahan bisnis PLN yang diinginkannya.
Sebelumnya, Sabtu, 7 Desember lalu, Erick berdalih perubahan diperlukan lantaran Indonesia akan bermasalah pada 2023 jika tak ada investasi baru di pembangkit listrik. “Karena itu, dengan perubahan arah yang baru, kita perlu komisaris dan direksi yang tepat.”
KEMENTERIAN Badan Usaha Milik Negara sebenarnya hanya menyodorkan tiga calon nakhoda baru PLN. Dua kandidat selain Rudiantara adalah pelaksana tugas Direktur Utama PLN, Sripeni Inten Cahyani, serta Direktur Bisnis Regional Maluku dan Papua PLN Ahmad Rofiq. Namun, pada saat bersamaan, nama Darmawan Prasodjo mencuat. Dua pejabat di Kementerian BUMN mengungkapkan, Darmawan, yang selama ini juga menjabat komisaris PLN, bahkan lebih dulu muncul sebagai kandidat kuat lantaran disokong PDI Perjuangan.
Darmawan sempat menjadi anggota tim transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla pada pemilihan umum 2014. Pria 49 tahun ini pun maju dalam pemilihan legislatif pada tahun yang sama dari PDI Perjuangan. Bertempur di Daerah Pemilihan V Jawa Tengah, Darmawan tak lolos ke Senayan setelah kalah suara dari koleganya di partai, Puan Maharani dan Aria Bima. Dia lantas diangkat sebagai Deputi I Kantor Staf Presiden.
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Bambang Wuryanto menyatakan telah lama mengetahui Darmawan menjadi calon bos PLN, bahkan jauh sebelum kabinet Jokowi periode kedua terbentuk. Tepatnya, kata Bambang, setelah pemerintah mencopot Sofyan Basir. “Nama Darmo sudah naik saat itu,” ujar Pacul—panggilan akrab Bambang—di ruang kerjanya, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Bambang “Pacul” kini menjabat Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi energi.
Bambang tidak membantah atau mengiyakan bahwa partainya yang menyorongkan Darmawan menjadi bos PLN. Tapi, menurut dia, Darmawan memang layak memimpin perusahaan setrum itu lantaran kompeten di bidang keuangan energi. Darmawan doktor lulusan Texas A&M University, Amerika Serikat, dengan fokus studi sumber daya ekonomi. “Dia anak cerdas, punya kompetensi dan kapasitas besar,” ujar Bambang, mempromosikan sejawatnya itu. “Yang belum oke dari dia hanya wisdom dan understanding about life.”
Namun Erick Thohir, kata dua pejabat di Kementerian BUMN, lebih sreg dengan Rudiantara. “Darmo bukan sosok yang pas buat PLN,” tutur salah seorang pejabat ini. Walau begitu, Darmawan tak benar-benar tersingkir. Dia akan menduduki kursi Wakil Direktur Utama PLN yang akan berfokus bekerja menggarap program listrik masuk desa.
Satu nama baru dalam formasi direksi PLN adalah Sinthya Roesly sebagai direktur keuangan. Penunjukan Sinthya, yang kini menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), bukan tanpa alasan. Dua pejabat tadi menjelaskan, Erick memilihnya demi menggaet kepercayaan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sinthya adalah profesional yang 19 tahun meniti karier di PLN hingga pada 2009 boyongan ke PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dan berlanjut ke LPEI. Dua lembaga tersebut milik Kementerian Keuangan. Langkah serupa diambil Erick ketika mengisi kursi Direktur Keuangan Pertamina dengan Emma Sri Martini, yang sebelumnya lama dipercaya Kementerian Keuangan untuk memimpin PT Sarana Multi Infrastruktur.
Disinggung soal strategi tersebut, Erick menjelaskan posisi PLN yang tak ubahnya Pertamina: berhubungan erat dengan subsidi negara. “Jadi individu ini—direktur keuangan—harus punya tingkat kepercayaan yang sangat tinggi dari Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Ketika dihubungi pada Selasa, 10 Desember lalu, Sinthya hanya menjawab singkat soal kemunculan namanya sebagai Direktur Keuangan PLN yang baru. “Tunggu pengumumannya saja.” Adapun Darmawan Prasodjo tidak menjawab pertanyaan Tempo sejak Rabu, 11 Desember lalu, termasuk tentang apakah dia akan menanggalkan seragam banteng setelah pindah ke Trunojoyo—kantor PLN.
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI, VIDRY FLORENTIN, AGOENG WIJAYA
Terasak Besarnya Pasak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo