Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bongkar-Pasang ala Gedung Bundar

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan Muhammad Salim dicopot dari jabatannya pekan lalu. Jaksa Agung Hendarman Supandji mengaku segera mengganti pula puluhan jaksa pengusut. Tapi banyak yang meragukan gebrakan Hendarman ini akan efektif. Inilah episode lanjutan kasus Urip Tri Gunawan, ”jaksa Rp 6 miliar” itu.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI RUANG rapat Jaksa Agung Hendarman Supandji sekitar sepuluh orang berkumpul. Lima di antaranya, jaksa agung muda, menatap lekat-lekat sepotong layar berukuran sekitar 2 x 3 meter di depan mereka. Suasana hening. Hendarman, dengan bibir terkatup, menatap tajam ”daftar dosa” Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman, yang ”disemprotkan” lewat perangkat multimedia infocus. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Marwani Slamet Rahardjo.

Rapat itu berlangsung di samping kamar kerja Hendarman di lantai dua Gedung Utama Kejaksaan Agung pada Senin pekan lalu. Pertemuan berlangsung sekitar dua jam. Sejumlah aparat keamanan–di kejaksaan disebut petugas ”kamdal”, keamanan dalam—menjaga pintu masuk rapat dengan ketat. Rahardjo menjelaskan soal pelanggaran dan sanksi yang bisa dikenakan kepada Kemas Yahya dan Direktur Penyidikan Muhammad Salim. ”Kami mendiskusikannya,” kata Halius Husen, Sekretaris Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.

Sekitar pukul 4 sore ”ekspose kasus Kemas-Salim” ditutup. Hendarman mengeluarkan putusannya. ”Mereka harus diberhentikan,” kata Hendarman, seperti ditirukan sumber Tempo di Gedung Bundar yang tahu persis soal rapat itu. Sekitar satu jam setelah pertemuan, konferensi pers digelar. Di depan puluhan wartawan, Hendarman mengumumkan pemberhentian Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan Muhammad Salim. Menurut Hendarman, anak buahnya itu sudah tidak lagi kredibel duduk di posisi mereka. ”Mereka sudah tidak layak,” ujarnya.

Dalam sejarah kejaksaan, baru kali ini seorang jaksa agung muda, posisi terpenting setelah Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung, diberhentikan dari jabatannya di tengah jalan. Mereka dicopot, tapi tidak dipecat dari korps kejaksaan—seperti yang sempat diperkirakan sejumlah kalangan.

l l l

TERTANGKAPNYA jaksa Urip Tri Gunawan, Ahad, 2 Maret lalu, membuat atmosfer Gedung Bundar panas-dingin. Di markas besar kejaksaan itu, sekitar 70 jaksa khusus tengah bertugas membedah kasus-kasus korupsi. Biasanya ramah kepada para wartawan, tiba-tiba bak orang kena sariawan sepanjang tiga pekan terakhir. Mereka enggan bicara dan menutup pintu kamar kerja rapat-rapat. ”Sang primadona sekarang ambruk,” ujar seorang jaksa sembari menunjuk Gedung Bundar, tempat berkantor para jaksa bidang tindak pidana khusus. Di lingkungan Kejaksaan Agung, bagian tindak pidana khusus yang mengurusi perkara korupsi ibarat primadona. Ini lantaran kasus-kasus yang mereka tangani banyak disorot media massa.

Urip dibekuk 15 petugas Komisi Pemberantasan Korupsi setelah beberapa menit keluar dari pekarangan rumah Sjamsul Nursalim di Jalan Terusan Hang Lekir II, Jakarta Selatan. Di mobil Kijang-nya petugas menemukan uang US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang itu diterima Urip dari Artalyta Suryani, perempuan yang dikenal sangat dekat dengan Sjamsul, bekas pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang kini hidup di Singapura.

Pemberian dana jumbo ini diduga terkait erat dengan posisi Urip sebagai Ketua Tim Penyelidik Kasus Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim. Kendati tak masuk dalam ”tim 35 jaksa kasus BLBI”, peran Urip penting. ”Karena dia harus memberikan pendapat dan kesimpulan,” ujar Hendarman. Dua hari sebelum ditangkap, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengumumkan diberhentikannya pemeriksaan kasus BLBI Bank Central Asia ataupun BLBI BDNI karena tidak ditemukan unsur korupsi. Padahal kasus BDNI diperkirakan mengamblaskan sekitar Rp 28 triliun uang negara.

Sudah sekitar lima kali Urip bolak-balik diperiksa KPK. Tapi jawabannya tetap seperti semula. Ia menyatakan duit itu hasil bisnis permata. Kekukuhan serupa ditunjukkan Urip saat Tempo mendatanginya di tempat ia ditahan, di Markas Brigade Mobil, Depok, pada Rabu pekan lalu. Sempat menyatakan terima kasih lantaran ”dijenguk,” Urip langsung bungkam saat tahu yang berdiri tegak di depannya seorang wartawan. ”Saya tidak akan bicara apa pun,” dia menegaskan.

l l l

KASUS Urip ini menampar Kejaksaan Agung telak-telak. Hendarman pun bergegas membentuk sebuah tim pemeriksa internal yang dikomandani Rahardjo. Sepanjang dua pekan lalu, lebih dari 25 orang, terdiri atas jaksa, penjaga buku tamu, hingga petugas ”kamdal” gedung Jampidsus diperiksa tim Rahardjo. Sepuluh anggota tim BLBI di bawah Urip semua menghadap tim pemeriksa. ”Dari pagi sampai malam,” ujar seorang jaksa. ”Ruangan lantai ini penuh terpakai,” katanya menunjuk lantai dua, tempat Halius Husen berkantor.

Pemeriksaan Kemas Yahya ditangani langsung oleh Rahardjo. Dua jaksa senior yang sama-sama segera memasuki masa pensiun ini saling berhadapan ditemani hanya seorang juru ketik. Dua puluh lima pertanyaan tertulis disodorkan Rahardjo kepada Kemas. ”Dari 21 kemudian berkembang menjadi 30-an pertanyaan,” ujar sumber Tempo yang ikut merancang pertanyaan untuk Kemas.

Untuk rangkaian pertanyaan berkaitan dengan uang Rp 6 miliar yang diterima Urip, Kemas menyatakan, ”Tidak tahu-menahu.” Tapi, soal Artalyta, Kemas mengaku mengenal perempuan itu sekitar 2003. ”Saat menjadi Kepala Pusat Penerangan,” kata Hendarman. Saat diperiksa, Kemas mengaku hanya dua kali menerima Artalyta di ruang kerjanya. Tapi informasi yang diperoleh majalah ini dari sumber di Kejaksaan Agung menyebutkan Artalyta kerap wira-wiri ke Gedung Bundar. Sepekan sebelum Urip ditangkap, misalnya, sumber ini menuturkan, Artalyta datang ke Gedung Bundar bersama Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Djoko Widodo. Ditemui di kantornya, Selasa pekan lalu, Joko menampik diwawancarai. ”Tak usah, pokoknya no comment,” ujarnya, sembari bergegas masuk ruang kerjanya.

Tim Rahardjo yang bekerja maraton sejak pekan lalu merekomendasikan Kemas dan Salim ”diparkir” dulu. Sanksi administrasi, kata Rahardjo, akan diberikan setelah kasus dugaan suap jaksa Urip mempunyai kekuatan hukum tetap. Senin lalu, ”eksekusi” terhadap dua orang itu pun dilakukan. Keduanya dicopot dari pos mereka. ”Sebagai bawahan saya patuh kepada pemimpin,” ucap Kemas beberapa saat setelah Hendarman mengumumkan pencopotan dirinya. Seorang jaksa memastikan nasib Kemas dan Salim. ”Mereka sudah masuk kotak. Tamat karier mereka,” ujarnya.

l l l

NASIB Kemas dan Salim bisa jadi tidak hanya berhenti sampai di situ. KPK masih menyusuri aliran uang Artalyta yang diyakini tak berhenti hanya di Urip. Pekan lalu KPK memeriksa Kepala Divisi Operasional Bank Internasional Indonesia (BII) Ari Merty. Dari bank inilah diduga duit Rp 6 miliar Artalyta berasal. ”Dia diminta menjelaskan prosedur penarikan dan pembelian dolar,” kata Wakil Presiden Direktur BII Sukatmo Padmosukarso. Untuk membongkar aliran duit, KPK meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). ”Ya, kami memang bekerja sama,” ujar Kepala PPATK Yunus Husein.

Laporan lain yang juga mulai disusun KPK adalah informasi yang menyebut Kemas beberapa kali ke Singapura lewat Batam. Sumber Tempo menyebut terakhir Kemas ke Singapura lewat Batam pada 29 Desember 2007. Pihak Imigrasi Batam membenarkan informasi ini. ”Dia berangkat lewat Pelabuhan Batam Center,” kata Kepala Kantor Imigrasi Batam Harri Purwanto. Sejumlah petugas kejaksaan yang biasa mengurus para petinggi Kejaksaan Agung jika berada di Batam menyatakan tak tahu bahwa Kemas pada tanggal itu singgah di Batam. ”Benar-benar tidak tahu,” kata Ferry Mupahir, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Batam. Sumber lain menyebut KPK kini mengembangkan hasil penyadapan pembicaraan antara Artalyta dan Urip. Di situ Urip menanyakan ”bagian” yang akan diperolehnya. Tapi, tentang adanya rekaman pembicaraan ini, juru bicara KPK, Johan Budi S.P., tak mau berkomentar banyak. ”Semua sedang kami selidiki sekarang,” katanya pendek.

l l l

KEJAKSAAN Agung kini telah menyiapkan pengganti Kemas. Pekan ini calon-calon pengganti Kemas tengah digodok tim penilai akhir yang diketuai Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mereka antara lain Sekretaris Jaksa Agung Muda Intelijen Masyhudi Ridwan dan Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Muzammi M. Hakim. ”Jaksa Agung lebih suka ketuanya bukan dari orang Gedung Bundar,” ujar seorang petinggi kejaksaan kepada Tempo.

Pergantian besar-besaran juga akan dilakukan terhadap sekitar 70 jaksa yang selama ini bertugas di Gedung Bundar. Pergantian secara menyeluruh ini diputuskan pada rapat Senin pekan lalu itu. Pergantian itu, kata Hendarman, memang dilatarbelakangi pemberitaan media soal kasus jaksa Urip dan Artalyta. ”Itu mengganggu citra Gedung Bundar sebagai pemeriksa berbagai kasus korupsi,” kata Hendarman.

Prioritas ”penyegaran” tersebut akan dimulai dari tingkat direktur, kepala subdirektorat, hingga kepala seksi. ”Tanpa pergantian, citra kejaksaan sulit dipulihkan,” ujar Hendarman, yang ditirukan sumber Tempo yang ikut rapat rencana pergantian para jaksa kasus korupsi. Lantaran tidak mungkin membedol langsung seluruh ”isi perut” Gedung Bundar, pergantian dilakukan secara bertahap.

Rencana lain yang akan diterapkan adalah memperketat saringan para jaksa yang masuk ke Kejaksaan Agung. Akan ada tes profile assessment dan tim intelijen akan melacak rekam jejak mereka. Jumlah harta kekayaan mereka juga akan didata. Koordinator Tenaga Ahli Pembaruan Kejaksaan Mas Achmad Santosa mendukung perombakan ini. ”Citra kejaksaan akan diukur dari perombakan itu,” kata Mas Achmad. Jumat dua pekan lalu, tim Mas Achmad telah bertemu dengan Jaksa Agung. ”Untuk jabatan di luar Jampidsus, seperti bidang pembinaan, saya minta jika perlu diambil orang luar yang ahli manajemen sumber daya manusia,” dia menambahkan.

Berbeda dengan Mas Achmad, Kamal Firdaus, mantan staf ahli di era Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, pesimistis dengan rencana perubahan ini. ”Saya khawatir jumlah nila dan susu di belanga kejaksaan sama banyaknya,” ujarnya. Menurut Kamal, jika Hendarman ingin merombak dan memilih orang-orang yang duduk dalam posisi penting di Gedung Bundar, ia tak boleh hanya mengandalkan masukan dari dalam. ”Dia harus mendengar masukan orang-orang di luar kejaksaan,” kata Kamal. ”Kalau tidak, ya, dia hanya dikadali.”

Lantaran nila dan susu sama banyaknya di ”belanga kejaksaan”, kata Kamal, Hendarman harus berani mengakui saat ini dia berada di lingkungan yang tak terjamin kebersihannya. Pengakuan itu, menurut dia, akan mendorong Hendarman lebih proaktif melakukan pembersihan. ”Tanpa itu semua, kasus-kasus seperti Urip akan terjadi lagi,” ujar Kamal.

LR Baskoro (Jakarta), Rumbadi Dalle (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus