Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Budiman Sudjatmiko kembali mencuat bersamaan dengan viralnya kabar proyek Bukit Algoritma, kompleks pengembangan teknologi di lahan Cikidang Plantation Resort, Sukabumi, Jawa Barat. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memimpin langsung Kiniku Bintang Raya, pelaksana kerja sama operasi (KSO) dalam kongsi bisnis PT Kiniku Nusa Kreasi dan PT Bintangraya Lokalestari—pemilik lahan—pada proyek yang digadang-gadang akan menjadi Silicon Valley ala Indonesia tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah banyaknya keraguan terhadap masa depan proyek ini, optimisme Budiman justru sedang tinggi-tingginya. Budiman mengklaim telah mengantongi komitmen calon investor untuk memulai pembangunan fase pertama yang diperkirakan menelan investasi hingga Rp 18 triliun. “Baru satu, yang lain baru penjajakan,” ujar Budiman didampingi Direktur PT Kiniku Nusa Kreasi Tedy Trijahjono, Kamis, 15 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana mulanya proyek Bukit Algoritma ini digagas?
Dhanny Handoko (Direktur Utama PT Bintangraya Lokalestari) yang approach di akhir 2018 lewat pengacaranya. Mereka tahu saya lagi ngumpulin talenta muda Indonesia. Ada 240 orang muda. Sayang betul kalau negara enggak memaksimalkan kualitas mereka. Ilmunya akan jadi penentu percaturan global.
Ilmu bidang apa?
Rekayasa genetika, neurosains, artificial intelligence, robotik, macem-macem teknologi yang selama ini hanya bisa kita baca sebagai temuan di luar negeri. Indonesia enggak ada. Saya sudah pernah ajak mereka ketemu Jokowi pada 18 Agustus 2019. Ada 35 orang saya ajak ke Istana.
Estimasi investasi senilai Rp 18 triliun itu dari mana perhitungannya?
Kami membuat perencanaan berdasarkan studi kelayakan, tentang apa aja yang akan dibangun di awal. Ada lima fokus utama yang kami sebut Lima Menara, yakni fokus di teknologi kuantum dan kecerdasan buatan, nanoteknologi, bioteknologi, semikonduktor untuk hardware-nya, dan energy storage. Ini driving growth ekonomi ke depan. Harus selesai di fase pertama semua.
(Dalam paparan Budiman Sudjatmiko, proyek Bukit Algoritma terbagi menjadi tiga fase. Tahap pertama berlangsung selama satu-tiga tahun di lahan seluas 353 hektare. Disusul fase kedua dan ketiga masing-masing di lahan seluas 432 hektare dan 103 hektare yang diproyeksikan dikerjakan sampai tahun kelima dan kesepuluh.)
Semuanya pakai uang dari Kiniku?
Uangnya Kiniku. Yang diminta mencari investor kan Kiniku. Target KSO semua aset ini jadi bisnis. Hanya yang konstruksi dan lainnya itu oleh PT Amarta Karya (Persero).
Apa peran PT Bintangraya Lokalestari selain sebagai pemilik lahan?
Urusan perizinan terutama oleh Bintangraya. Kami urusannya talent, investor, pasar, dan value added.
Banyak yang ragu proyek ini bakal terealisasi….
Tantangan kita saat ini berbeda. Sudahlah, kita semua bakal enggak relevan sebentar lagi. Yang bikin kita relevan adalah kalau punya imajinasi. Yang membedakan kita dan hewan cerdas cuma imajinasi kita.
Jadi sebenarnya seperti apa Bukit Algoritma ini nanti?
Kami mendorong Bukit Algoritma ini bukan sekadar tempat bikin yang online-online. Kan, (untuk riset) butuh clean room, butuh ruang kedap suara. Dan ini bukan dibangun dari nol. Brandware-nya desa dan sumber daya manusianya tadi. Bukit itu hanya ujung. Bukit Algoritma bukan memindahkan toko ke handphone, tapi pabrik ke handphone, pabrik ke rumah, memindahkan sumber informasi ke tubuh.
Selama ini Indonesia tidak ada dalam percakapan itu. Kami bukan cuma bikin aplikasi, ya. Kami bikin handphone, bikin modem, jaringan sendiri. Ada yang sudah bisa bikin tapi pasarnya belum ada. Mereka bisa melanjutkan risetnya berkaitan dengan device, segala macam kebutuhan masyarakat sehari-hari di masa depan, di Bukit Algoritma. Tapi kami enggak mau ini dikuasai oleh perusahaan besar. Makanya ada peran koperasi dan badan usaha milik desa (bumdes). Nanti ada Bumdes Tower agar mereka punya research and development, seperti di pertanian, kesehatan, perikanan. Jadi kita punya banyak diversity.
Apakah koperasi dan badan usaha milik desa itu sudah ada?
Sudah ada beberapa koperasi yang kami buat. Juga bumdes yang sempat kami bantu, atau dibantu orang lain, sejauh punya visi yang sama, enggak ada masalah. Visinya energi, digital, industri kreatif, pangan, transportasi, kesehatan. Nanti yang berinvestasi harus bermitra dengan koperasi.
Kita punya bumdes ada uang dari negara, harus berpikir untuk investasi. Masak, cuma buat bangun jalan, jembatan. Harus berpikir, dong, untuk investasi manusia dan teknologi. Ini justru berbeda dengan Silicon Valley Amerika. Di sini yang mau investasi kapitalistik murni boleh. Yang mau pendekatan sosialistik boleh. Yang penting sepakat, kita harus inovasi teknologi. Karena zamannya udah beda. Saya kan kebetulan membina organisasi desa-desa. Mereka boleh chip in untuk RnD (melakukan riset dan pengembangan) di Bukit Algoritma.
Tedy:
Nanti bukit Algoritma itu enggak kayak kawasan industri Jababeka. Spiritnya sama dengan Silicon Valley, jadi kawasan yang nyaman untuk, misalnya beralgoritma, berimajinasi. Ini bisa jadi kawasan ekonomi khusus yang melayani KEK lain, untuk belanja teknologinya, patennya. Yang keluar dari Bukit Algoritma adalah patennya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo