Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berawal dari hobi berburu sang pemilik, Bintangraya Group mengembangkan kawasan wisata dan resor di Cikidang.
Budi Handoko tercatat pernah menggarap bisnis pengolahan minyak sawit di Kalimantan Timur.
Budi Handoko bebas dari tuntutan jaksa dalam kasus dugaan korupsi proyek kapal cepat.
VILA-VILA yang terkapar di Cikidang Plantation Resort adalah rumah singgah bagi para investor terdahulu. Tak hanya mengembangkan tempat pelesiran, PT Bintangraya Lokalestari sempat membuka peluang investasi di lahan yang kini kondang sebagai Bukit Algoritma tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika mulai membuka kebun pada 2008, Bintangraya memberikan penawaran: setiap pemodal yang menggelontorkan Rp 150 juta mendapat rumah singgah lengkap dengan beberapa hektare lahan kebun sawit. Investasi ini sudah mencakup biaya perawatan kebun. Bintangraya yang akan menyerap tandan buah segar sawit dari kebun para investor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu rumah singgah selama kerja sama dengan kami. Bisnis yang kami tawarkan adalah perkebunannya, bukan propertinya,” kata Dhanny Handoko, Direktur Utama PT Bintangraya Lokalestari, Rabu, 14 April lalu. Dhanny saban hari tinggal di resor itu.
Model bisnis itu rupanya kurang laku. Perusahaan banting setir membuka resor di bawah bendera PT Kidang Gesit Perkasa—lini bisnis properti Bintangraya Group.
Sebelum membuka kebun sawit, perusahaan sebenarnya juga menggelar wisata berburu bagi kalangan berduit yang suka menembak pada 2006. Bisnis ini, dengan nama lokasi Cikidang Hunting Resort, berawal dari kegemaran Budi Handoko, ayah Dhanny yang juga pemilik Bintangraya Group.
Budi, pemburu yang tergabung dalam Perbakin Jaya, tercatat pernah berburu bison, ibex, dan elk di Texas, Amerika Serikat. Untuk setiap elk yang dirobohkan, Budi kudu membayar Rp 60 juta. Adapun tarif menembak bison Rp 50 juta.
Pada 1998, Budi juga sudah membuka wisata berburu di Bengkulu. Dikutip dari Jurnalberburu.com, wisata di area seluas 1.000 hektare tersebut digagas bersama Abdullah Mahmud Hendropriyono, yang kala itu menjabat Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. Dalam pengakuan Budi, wisata berburu di Bengkulu dibuka untuk melestarikan hobi para pemburu sekaligus membasmi babi hutan yang dianggap sebagai hama oleh warga transmigran. Babi hutan ternak yang menjadi obyek perburuan merupakan tangkapan warga yang dijual kepada Budi.
Di Cikidang, kawasan perburuan semula dibuka di atas lahan seluas 30 hektare. Seiring dengan waktu, menurut Dhanny, luas lahan yang dikelola keluarganya bertambah hingga saat ini mencapai 11 ribu hektare dan tersebar di delapan kecamatan di Sukabumi. Bisnis properti, wisata, dan perburuan di Cikidang dikelola keluarga Handoko lewat Kidang Gesit Perkasa.
Dhanny menceritakan, di antara lahan tersebut, tanah seluas 900 hektare dibeli pada 2008 dari Perkebunan Baros yang dikelola keluarga Didi Sukardi. “Ayah saya bilang gitu, tapi enggak tahu, ya, benar apa enggaknya Didi Sukardi yang pahlawan itu,” ucap Dhanny.
Budi Handoko kini sudah sepuh, 71 tahun. Jika proyek Bukit Algoritma lancar, Cikidang Hunting Resort akan disulap menjadi semacam taman safari. “Memang kesukaannya dulu alam bebas,” tutur Dhanny tentang hobi sang bapak.
•••
SEBAGAI pengusaha, nama Budi Handoko tidak sekondang konglomerat sawit lain. Meski begitu, bisnis sawit Budi pernah berkembang hingga ke Kalimantan Timur lewat bendera PT Agro Bintang Dharma Nusantara.
Data Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mencatat perusahaan Budi tersebut pernah mengelola pabrik pengolahan minyak sawit di Desa Pekasau, Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser. Data yang sama, per 2019, menyebutkan pengelolaan pabrik berkapasitas 30 ton tandan buah segar per jam itu beralih ke PT Harapan Sawit Sejahtera.
Di Kalimantan Timur, nama Budi justru sempat memenuhi pemberitaan ketika terjerat kasus dugaan korupsi yang disidangkan dua windu lalu. Rupanya, dua dekade lalu, Budi juga membangun PT Bontang Transport, patungan dengan Pemerintah Kota Bontang.
Ceritanya, pada 2001, Budi menggandeng Pemerintah Kota Balikpapan, Pemerintah Kota Bontang, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, dan Pemerintah Kabupaten Paser untuk mendirikan perusahaan patungan yang bergerak di bidang jasa angkutan kapal cepat. Empat pemerintah daerah itu merogoh duit senilai total US$ 3,2 juta agar mengempit saham masing-masing 20 persen.
Budi yang semestinya ikut menyetor modal US$ 800 ribu tidak mengeluarkan duit, tapi tetap kebagian 20 persen saham. Budi kemudian menggunakan setoran modal empat pemerintah daerah itu untuk membeli dua kapal bekas dari Belanda seharga US$ 1 juta, termasuk ongkos kirim dan asuransi.
Dua kapal itu pun dicatatkan sebagai milik PT Bontang Transport, bukan perusahaan patungan tersebut. Belakangan, dua kapal itu rusak. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Balikpapan mendakwa Budi melakukan korupsi dan merugikan keuangan daerah sebesar US$ 2 juta.
Sempat ditahan sepanjang Maret 2004-Januari 2005, Budi dibebaskan Pengadilan Negeri Balikpapan dari dakwaan jaksa yang menuntutnya dengan hukuman 15 tahun penjara. Majelis hakim menganggap perbuatan Budi bukan tindak pidana. Majelis kasasi Mahkamah Agung yang dipimpin Bagir Manan pada Januari 2007 menguatkan vonis bebas tersebut.
Menurut Dhanny Handoko, kasus itu tak lebih dari ulah sejumlah orang yang mencari-cari permasalahan hukum ayahnya. Dia mengklaim kongsi bisnis di Kalimantan Timur kala itu lancar sebelum akhirnya kasus tersebut mencuat. “Sebelumnya ada permintaan ayah saya jadi ‘ATM’,” kata Dhanny, merujuk pada istilah orang-orang yang diperas oleh penegak hukum. “Ayah saya orangnya keras, diramaikan.”
Budiman Sudjatmiko, Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO yang menjadi mitra Dhanny dalam pengembangan Bukit Algoritma, mengaku sudah memeriksa kasus yang pernah menjerat Budi Handoko. Dia berpegang pada putusan pengadilan yang menyatakan Budi tak berbuat pidana. “Saya juga harus menjaga reputasi saya,” ujar Budiman. “Toh, saya berpartner dengan anaknya.”
AISHA SHAIDRA, KHAIRUL ANAM, M.A. MURTADHO (SUKABUMI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo