Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sekutu dan Seteru dalam Konflik Century

22 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMAKIN dekat akhir penyelidikan skandal Bank Century, makin ba­nyak kasus baru muncul. Pasti bukan sebuah kebetulan bila kasus yang mendadak datang bak cendawan di musim hujan itu menyangkut anggota Dewan Perwakilan Rakyat ”penyerang” kebijakan pemerintah yang menyelamatkan Bank Century. Banyak orang yakin, partai pendukung pemerintah dan Istana punya peran di balik serangan balik ini.

Serang-menyerang selama sidang Panitia Khusus Century berlangsung ada ”hikmah”nya. Sebab masa lalu politikus ”penyerang” bailout Century ternyata tidak mulus-mulus amat, untuk tidak menyebut belepotan kasus, karena itu mereka harus diusut. Selanjutnya, baku banting ”kartu as” di antara partai pendukung kebijakan pemerintah dan barisan pengkritik sesungguhnya menyehatkan penyelenggaraan negara ini. Kasus demi kasus yang terkuak semua diduga merupakan urusan korupsi, ”lemak jahat” yang mengancam keselamatan keuangan negara.

Kompetisi politik di Senayan memang bising dan mulai membuat orang jenuh, tapi pastilah meningkatkan mutu demokrasi kita. Persaingan membuat konflik antarelite mustahil dihindari. Pada saat yang sama, pergeseran posisi dari sekutu menjadi seteru mudah sekali terjadi, terutama karena persekutuan didasari aneka kepentingan jangka pendek. Pihak yang berseteru lumrah saja saling membuka kebobrokan lawan—misalnya dengan membocorkan sebagian rahasia lawan kepada media massa. Persekongkolan yang semula ditutup rapat pun terkuak.

Kasus dugaan penggelapan pajak Rp 2,1 triliun oleh tiga perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, merupakan contoh terbaik. Menjadi bahan gunjingan kalangan terbatas sudah setahun lebih, pengusutan kasus ini bergerak secepat siput. Besar kemungkinan, penyelidikan tersendat karena Aburizal ketika itu masih sekondan terkuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu bisa dilihat dengan dukungan Istana ketika Aburizal terpilih menjadi ketua umum dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar, Oktober tahun lalu.

Dugaan penggelapan pajak terbesar dalam sejarah Indonesia itu baru dipublikasikan di tengah silang sengkarut penyelidikan kasus Bank Century. Terutama, setelah Partai Beringin secara demonstratif menentang penyelamatan bank itu dengan sejumlah argumen. ”Serangan” ini langsung ditanggapi. Meski tak menyebutkan nama, di depan para pejabat kepolisian, Presiden memerintahkan pengemplang pajak ditindak. Aburizal membalas pernyataan itu dengan menyatakan, ”Jangankan ancaman pajak, ditembak mati pun Golkar tidak gentar.”

Serangan ”balik” tak berhenti pada Partai Beringin. Tiba-tiba mencuat dugaan hibah tak wajar dalam daftar kekayaan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Kita tahu, laporan investigasi BPK banyak dipakai sebagai ”peluru” untuk menyerang kebijakan penyelamatan—padahal sejumlah petinggi pemerintah yakin laporan BPK mengandung banyak kelemahan.

Saling serang dengan membuka data kebobrokan lawan ini bukan hal baru. Di negara Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina, sangat lazim muncul skandal di media massa yang berawal dari konflik antarelite. Persoalannya, aneka skandal yang terkuak dari Senayan ini tak akan ada artinya jika penyelesaiannya dilakukan dengan cincay, kompromi di bawah meja. Semua kasus yang terbongkar dari pertikaian politik ini semestinya dituntaskan lewat jalur hukum. Apa pun rekomendasi yang akan dikeluarkan oleh Panitia Khusus Angket Kasus Bank Century, misalnya, penegak hukum harus menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak oleh kelompok usaha Bakrie.

Yang mencemaskan, ada kesan Istana terlalu jauh ter­se­ret dalam adu silat politik ini. Semestinya partai pendukung pemerintahlah yang berada di depan tentu dengan catatan wakil-wakilnya di Senayan segera memperbaiki kemampuan berpolitik mereka yang rendah. Tawar-me­nawar di bawah meja biarlah menjadi urusan Partai Demokrat saja. Sekalian gerakan politik yang sekarang dilakukan Istana, misalnya mendekati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan agar merapat bergabung dengan pemerintah Yudhoyono, mesti menjadi pekerjaan Partai Demokrat. Partai biru itulah yang perlu beraksi ”menyiapkan” Partai Banteng untuk menjadi kekuatan pengganti bila, umpamanya, konflik Yudhoyono-Aburizal Bakrie memuncak dan Partai Golkar keluar dari koalisi.

Politik memang tak bisa lepas dari tawar-menawar dan pemberian konsesi. Namun tak bisa dibenarkan bila aneka kasus yang sekarang muncul ternyata hanya menjadi senjata penguasa untuk memenangi pertarungan dan menjaga koalisi. Melanggengkan koalisi dengan cara menutupi berbagai kasus, apalagi yang sudah terbuka di depan publik, merupakan kesalahan politik yang tak termaafkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus