Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Adu patung tanpa gigi

78 patung karya 31 pematung dipamerkan di tim, jkt. sebuah pameran yang membersitkan pertanyaan tentang efektivitas pendidikan seni patung kita dan mengklaim penamaan kontemporer alias pascamodern. (sr)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Pameran Pertama Patung Kontemporer Indonesia 1973 diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (dengan sponsor Pertamina), tentunya orang berharap akan melihat pameran kedua dan seterusnya di Taman Ismail Marzuki. Tiga belas tahun menanti, dan tiba-tiba tahun ini orang mendapat kejutan: DKJ menyelenggarakan pameran pertama (lagi!), berlangsung Senin pekan lalu sampai Ahad mendatang. Tiga puluh satu pematung (pameran 1973: 20 orang) mengadu 78 karya. Sejumlah pematung memakai bahan modern -- terbanyak ialah serat kaca (fibre glass) dan poliester. Orang dapat mengamati nikel, stainless steel, pipa besi, dan resin glass, di samping bahan kurang lazim, seperti timah putih, timah hitam, dan teraso. Jumlah terbesar tentu saja masih kayu dan batu. Tidak berarti sektor-sektor yang khas dunia modern, yang sangat diberi ciri oleh konstruksi, mesin, dan matematika, mulai dengan tegas menangkap perhatian para pematung. Sekitar separuh judul yang mereka berikan berhubungan dengan dunia makhluk hidup. Belasan di antaranya dengan tegas berisi istilah atau konsep yang berkaitan dengan proses biologis. Khayal dan pikiran para pematung kita tertambat pada bentuk-bentuk yang menyerupai (atau analog dengan) bentuk-bentuk hasil pertumbuhan. Sudah tentu terdapat ragam-ragam. Ada yang mengimak-imak -- meniru-niru -- sebanyak mungkin segi yang dapat diimak pada tubuh manusia yang dijadikan model sampai-sampai kepada sikap selintas dalam perbuatan sehari-hari (Suhartono H.). Ada pula yang mengambil rupa manusia tidak selengkapnya: disarikan, dan bentuk-bentuk sarian itu diubah atau dipertegas untuk memperoleh dampak rasa tertentu. Karya Mustika Wanita Indonesia mendapatkan keanggunan dengan proses ini, di samping tentu saja dengan pilihan sikap (wanita bersimpuh, memegang mangkuk di pangkuan) dan dengan kemahiran teknik pahat kayu. Dengan bulatan-bulatan But Muchtar menonjolkan kesensualan dan kesuburan sosok perempuan (Wanita II). Meski mengimak dengan cermat sosok manusia, sebuah patung dapat saja menggugah makna yang kaya. Crucifix G. Sidharta menggugah penderitaan yang anggun melalui citra air muka dan penggarapan yang apik, tetapi juga gagasan-gagasan lain melalui lambang konvensional (Yesus di kayu salib: kekristenan), citra pohon yang terlukis dengan akrilik pada tubuh Yesus (Pohon Kehidupan?), dan wajah Yesus yang bertampang Melayu (Indonesia?). "Arus terkuat" pameran ini adalah bentuk-bentuk yang hanya dengan samar mengingatkan kita pada sosok manusia, hewan, atau tumbuhan, atau bahkan yang tidak dapat kita kenali demikian. Banyak bentuk yang "organik" karena analogi yang minim. Biomorfisme ini barangkali bukan kebetulan. Bentuk dan raut pada makhluk hidup adalah hasil tenaga yang bekerja dari dalam menuju ke segala arah. Dan ini bersangkutpaut dengan wujud trimatra yang juga menjadi urusan pematung. Oleh kekuatan-kekuatan yang bekerja dari luar (lingkungan), terjadi keragaman (variasi) yang kaya: dalam satu pohon tidak ada dua helai daun yang tepat sama bentuknya. Tambahkan bidang cembung, garis lengkung yang meliku, maka hasilnya adalah bentuk yang "hangat", dekat dengan perasaan-perasaan kita. Biomorfisme dan lirisisme berjalan bersama. Lalu: makhluk hidup adalah teladan "kesatuan organik" yang punya tempat mulia dalam estetika. Irama dan keragaman biomorfik itu agaknya telah mengasyikkan sejumlah pematung (Hanung Mahadi, Dolorosa, Hajar Satoto, Kasman, Ibnu Nurwanto, dan beberapa lainnya), sehingga -- boleh jadi -- melihat patung mereka yang kaya akan rinci dan rumit, orang akan mempertanyakan efektivitas dan efisiensi bentuk. Barangkali di sini orang berhadapan dengan "dorongan dekoratif" yang telah memberi ciri mencolok dalam seni Nusantara dan Oseania di zaman silam? Juga patung-patung Sunaryo "dekoratif" oleh irama, pengulangan dan keragaman, "grafisme" permukaan, kerapian dan keapikan kerja, dan kepekaan tajam akan paduan. Tetapi karyanya termasuk segelintir yang tidak biomorfik. Rita Widagdo pun berada di luar arus biomorfisme. Perasaannya amat peka akan wujud trimatra dan penalaran bentuk yang cerdas. Bekerja dengan lempengan, ia mampu menampilkan bentuk trimatra yang padu dan menarik. Ini penting, karena justru tidak sedikit patung menunjukkan kelemahan dalam hal ini. Arby Samah, misalnya, agaknya malah melupakan bahwa ia membuat wujud trimatra. Seorang penonton berkomentar, "Tidak ada khkhkh !" -- sambil memperlihatkan kepalan tangan. Yang lain nyeletuk, "Tidak ada yang menggigit!". Barangkali khkh dan gigi bukan hakikat patung, melainkan semacam garam hidup. Kelemahan khkh dan sakit gigi mungkin juga sedang menjangkiti seni patung kita. Dari 60 orang yang konon diajak, hanya 30 yang serta dalam kompetisi ini. Hampir 60% yang ikut itu hasil didikan ASRI Yogyakarta. Adapun peserta yang berhubungan dengan pendidikan seni rupa di ITB berjumlah tidak lebih dari lima orang, tiga di antaranya perintis pendidikan patung di situ. Tiga pertanyaan dapat diajukan: kepada Dewan Kesenian Jakarta (tentang upaya agar pameran mencerminkan seni patung kita masa kini), kepada para pematung didikan formal (tentang wawasan dan motivasi mereka), dan kepada pendidikan tinggi seni rupa (tentang efektivitas pendidikan seni patung yang mereka selenggarakan). Yang terakhir ini sangat penting. Apa boleh buat: kecuali seorang, para peserta adalah "pematung sekolahan". Sanento Yuliman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus