Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOLOM tempat dan tanggal lahir dalam formulir pembuatan paspor itu sengaja dilewati Mayor LeoÂnardus Benjamin Moerdani. Setelah seluruh dokumen atas nama Letnan Kolonel Ali Moertopo itu penuh, Benny Moerdani mulai kembali ke kolom yang ditinggalkan tersebut. Tanpa ragu-ragu, ia menulis tanggal kelahiran Komandan Operasi Khusus itu: Blora, 23 September 1924.
Sesungguhnya itu bukan tanggal lahir Ali Moertopo, melainkan Ria Moerdani, putri tunggal Benny Moerdani. Kepada Jusuf Wanandi, pendiri Centre for Strategic International Studies—lembaga yang dibidani Ali Moertopo—Benny mengaku sengaja memilih putrinya yang dia ingat demi melengkapi dokumen Ali Moertopo.
Menurut Jusuf, hal itu dilakukan karena Benny kepepet sewaktu mengurus paspor kepergian Ali Moertopo ke luar negeri pada 1965. Sedangkan Ali selalu menjawab tidak pernah tahu tanggal lahir persis kecuali tahun dan tempat kelahirannya di Blora, Jawa Tengah. "Akhirnya diambillah jalan pintas itu," kata Jusuf kepada Tempo, September lalu.
Sejak itulah tanggal lahir Ali 23 September 1924. Putri Benny, Ria Moerdani, tak pernah mendapat kisah ini dari bapaknya. Namun ia membenarkan itu memang tanggal kelahirannya. "Bapak tak pernah bercerita soal ini," kata Ria kepada Tempo.
Ali dan Benny dipertemukan dalam operasi Trikora, pembebasan Irian Barat dari Belanda pada 1962. Saat itu, Ali perwira yang ditugasi sebagai komandan kesatuan intelijen dengan tugas mengatur penyusupan untuk mendarat di Irian oleh Soeharto, Panglima Mandala ketika itu. Sebelum operasi Trikora, Ali Asisten Intel Komando Tempur II Tjadangan Umum Angkatan Darat, cikal-bakal Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Benny waktu itu masih bergabung dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan memimpin Operasi Naga menyerbu Merauke. Dalam aksi ini, ia terjun bersama 215 gerilyawan dekat Merauke. Seluruh operasi Benny saat itu dalam pantauan Ali Moertopo. Benny sukses dan mendapat anugerah bintang sakti dari Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Februari 1963.
Mereka bertemu lagi di Kostrad pada awal 1965 ketika Benny terlempar dari RPKAD setelah gagal menjadi panglima pasukan baret merah itu. Benny dirotasi ke Kostrad sebagai perwira yang diperbantukan pada biro operasi dan latihan. "Saat itu, Benny kerjaannya hanya luntang-lantung di Kostrad," kata Aloysius Sugiyanto, mantan perwira intelijen Kostrad. Sugiyanto kemudian dikenal sebagai tangan kanan Ali Moertopo di Opsus.
Saat itu, Ali sedang bersiap atas tugas baru dari Soeharto: menormalisasi konfrontasi dengan Malaysia. Wakil asisten intelijen Kostrad ini mendengar Benny ada di Kostrad dan nganggur. Sadar betul kemampuan Benny, Ali memasukkan namanya ke tim operasi khusus untuk menyusup ke Malaysia.
Singkatnya, sejak operasi khusus menormalkan konfrontasi Indonesia-Malaysia itulah karier Benny terentang. Ia diangkat sebagai Asisten I Kopur II Kostrad di bawah pantauan Soeharto.
Mungkin karena pengalaman berurusan dengan Malaysia itu, Benny mendapat jabatan diplomatik sebagai kepala perwakilan, lalu minister counselor di Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur. Benny kemudian menjadi konsul jenderal di Seoul, Korea Selatan (1971-1974).
Diplomat Benny sesungguhnya kerap menerima perintah langsung dari Ali, yang jelas-jelas bukan atasan struktural. Saat itu, Ali ditugasi Soeharto sebagai pelaksana aneka operasi khusus. Benny ditugasi mempelajari kondisi keamanan di Kamboja, Vietnam, dan negara anggota ASEAN ketika itu. "Benny selalu menjadi andalan Pak Ali setiap ada penugasan operasi ke luar negeri," kata Joseph Halim, dokter tentara yang juga perwira Opsus.
Menurut Halim, sejak awal Ali Moertopo terlihat menyiapkan Benny Moerdani. Dari pilihan tugas yang diberikan, Benny selalu menjadi prioritas bahkan lakon utama. Cerita serupa disampaikan Agum Gumelar, ajudan Ali Moertopo semasa menjadi asisten pribadi Soeharto dan Komandan Opsus. Benny termasuk yang paling sering dikontak Ali Moertopo jika ada tugas penting di luar negeri. "Kalau keduanya bertemu, itu bisa berjam-jam," Agum mengenang.
Boleh jadi karena itu, ketika peta politik di Indonesia berubah dan posisi Ali Moertopo tersingkir pascaperistiwa Malari pada 15 Januari 1974, Ali menyodorkan nama Benny ke Presiden Soeharto untuk menangani intelijen. Ali menelepon Benny di Korea Selatan agar segera pulang. Ali Moertopo pula yang mengantar Benny menghadap langsung Soeharto. Benny diserahi jabatan sebagai Komandan Satuan Tugas Intel Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) merangkap Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan menggantikan Mayor Jenderal Kharis Suhud enam bulan kemudian. Artinya, Benny bertugas mengendalikan seluruh aparat intelijen Angkatan Darat dan Kepolisian RI.
Selain itu, Benny ditugasi membantu Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Di situ sudah ada Yoga Soegomo, yang ditarik pulang dari New York, Amerika Serikat, sebagai Kepala Bakin. Ali Moertopo sendiri menjadi Wakil Kepala Bakin.
Sejak itu, karier Benny kian melesat. Ia tak hanya menjadi pelaku, tapi juga sutradara sejumlah operasi intelijen. Salah satunya pembebasan pesawat Woyla di Bandar Udara Dong Muang, Bangkok. Ia juga mereorganisasi badan intelijen dengan mengubah G-1 Hankam menjadi Badan Intelijen Strategis atau Bais.
Agaknya catatan prestasi panjang itulah yang mengantarkan Benny menjadi Panglima dan Panglima Kopkamtib pada 1983. Padahal ia tak pernah menjadi komandan komando resor militer dan panglima komando daerah militer, jenjang normal dalam struktur kepemimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Menurut Harry Tjan, karib Benny, keberhasilan Benny lebih karena kemampuan pribadinya dan bukan faktor Ali Moertopo. Meski Ali kerap mengajaknya berdiskusi, itu lebih bersifat memotivasi. "Benny sesungguhnya orang luar biasa dengan talenta dan kecerdasannya," ujar Harry. Mereka, menurut Harry, adalah dua orang yang berbeda tapi saling melengkapi. "Mereka dekat sekali dan saling menghormati,"
Karier Benny yang meroket berbanding terbalik dengan Ali, yang kian jauh dari kekuasaan. Ali, yang di akhir masanya menjabat Menteri Penerangan dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, merasa ditinggalkan. Kepada Halim, Ali mengungkapkan rindu diskusi dengan Benny. "Mau dibilang apa lagi, Benny saat itu ada di pusat kekuasaan dan sibuk sekali," kata Halim.
Ali mulai tak nyaman terhadap perilaku dan bisnis anak-anak Soeharto. Karena itu, suatu ketika kepada Jusuf Wanandi, Ali meminta Benny menyampaikan kritiknya terhadap bisnis keluarga dan anak-anak Presiden Soeharto yang bisa merusak kepemimpinan sang Presiden. "Kritik itu saya sampaikan kepada Benny," kata Jusuf. Dua hari setelah itu, Ali Moertopo terkena serangan jantung dan meninggal.
Jusuf menyampaikan pesan tersebut ke Benny, yang kemudian meneruskannya kepada Soeharto saat itu. Setelah itu, Benny terdepak dari kumparan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo