Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Digarap di Tanah Abang III
Ali Moertopo menggunakan "orang dalam" untuk menjinakkan pengusung Negara Islam Indonesia (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Mereka dijanjikan pula menjadi anggota DPR dan DPRD.
Rumah di Jalan Situ Aksan 240, Bandung, itu terlihat sangat sederhana. Bangunan bertiang kayu dan berdinding gedek itu luasnya sekitar 40 meter persegi. Cat putihnya sudah terlihat kusam dan di sana-sini mengelupas.
Rumah itu makin terasa sempit karena ruang bagian depannya dijadikan warung kelontong. Di sisi kanan warung, dipisahkan halaman selebar sekitar lima meter, berdiri rumah tembok dengan luas yang hampir sama. Dindingnya bercat putih. Juga seperti rumah sebelahnya, terlihat mulai kusam.
"Ini rumah Danu Muhammad, ayah saya," kata Dedeh Kurniasih, anak ketiga Danu Muhammad Hasan, salah satu tokoh Negara Islam Indonesia (NII) bentukan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Saat ditemui Tempo pada akhir September lalu, perempuan 61 tahun ini tengah menjaga warung kelontongnya. Di rumah itu, selain dengan suaminya, tinggal Siti Aminah, 89 tahun, istri Danu. Rumah itu ditempati Danu sejak 1965 dan sampai sekarang bentuknya tak berubah, tetap asli seperti semula. "Tidak boleh diutak-atik sama Ibu," ujar Dedeh.
Di pekarangan dan rumah inilah, pada 21 April 1971, Danu mengumpulkan sekitar 3.000 pemimpin dan anggota NII atau yang kerap disebut juga dengan Darul Islam. Acara kumpul-kumpul berlangsung tiga hari dan digelar menjelang Pemilihan Umum 1971. Menurut warga sekitar rumah Danu yang ditemui Tempo, saat itu area di sekitar rumah Danu masih ada tanah lapang. Selain masih ada hutan, di situ terdapat danau.
Kepada Tempo yang mewawancarainya pada Desember 1983, di sela-sela persidangan dirinya di Pengadilan Negeri Bandung, Danu menyebut pertemuan itu untuk membendung bahaya komunisme. Acara itu, kata dia, diadakan atas permintaan Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan Kodam VI Siliwangi (Tempo, 24 Desember 1983). Untuk melawan komunisme, dalam hajatan itu, Danu dan kawan-kawan menyatakan dukungannya kepada Golkar.
Pitut Soeharto, tangan kanan Ali Moertopo yang juga menjabat Deputi Kepala Bakin, terlihat hadir dalam hajatan akbar tersebut. Meski begitu, Pitut membantah menjadi penyandang dana acara tersebut. Dia mengatakan saat itu hadir karena kegiatan tersebut merupakan pertemuan terbesar setelah Kartosoewirjo dihukum mati pada 1962. Danu merupakan tokoh DI/TII yang bisa "digarap" Bakin. Selain Danu, tokoh di lingkaran terdekat yang dapat "ditaklukkan" Bakin adalah Ateng Jaelani dan Dodo Muhammad Darda, anak KartoÂsoewirjo.
Kartosoewirjo adalah pendiri NII. Dia memulai gerakan politik untuk lepas dari Republik Indonesia di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Secara resmi, NII didirikan pada 7 Agustus 1949. Saat itu, KartoÂsoewirjo memiliki pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang beranggotakan sekitar 4.000 orang. Mereka terdiri atas pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
Perlawanan Kartosoewirjo berakhir setelah dia ditangkap pasukan Indonesia di wilayah Gunung Rakutak, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962. Pada 16 Agustus, ia divonis hukuman mati oleh pengadilan militer. Pada September 1962, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905, itu dieksekusi dan jasadnya dimakamkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Berbeda dengan pemimpin mereka yang dihukum mati, ribuan pengikut Kartosoewirjo mendapat amnesti dari pemerintah, termasuk 32 petinggi dari sayap militer. Jumlah ini belum termasuk Haji Ismail Pranoto dan anak buahnya, yang baru turun gunung dan menyerah kepada pasukan Ali Moertopo pada 1974. Mereka yang menyerah, pada 1 Agustus 1962, menyatakan ikrar kesetiaan. Isinya, antara lain, "Demi Allah, akan setia kepada pemerintah RI dan tunduk kepada UUD 1945...."
Pertemuan Situ Aksan merupakan salah satu bukti sukses Ali Moertopo dalam "menjinakkan" pengusung DI/TII sekaligus mengukuhkan rezim Orde Baru. Tentu dukungan Danu dan kawan-kawan itu tidak gratis. Bakin memberinya modal untuk berdagang. Namun Danu, yang lama bergerilya di hutan, tampaknya tidak lihai memutar uang. Walhasil, usahanya bangkrut. Adapun Ateng sukses menjadi penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat di bawah bendera PT Taman Sebelas.
Iming-iming lain untuk para eks DI/TII ini adalah tawaran menjadi legislator di DPR atau DPRD jika Golkar menang. Belakangan janji ini ternyata hanya di ujung lidah. Meski Golkar meraih kemenangan pada Pemilu 1971 dan lima pemilu berikutnya, "Tak ada satu pun dari mereka yang menjadi anggota parlemen," kata Yusuf Supendi, salah satu deklarator Partai Keadilan—kini menjadi Partai Keadilan Sejahtera—yang intensif meneliti soal NII, termasuk perihal Danu.
Menurut Aloysius Sugiyanto, tangan kanan Ali Moertopo di Operasi Khusus, pembinaan tokoh-tokoh Islam, termasuk DI/TII, dilakukan di paviliun di sebuah rumah di Jalan Tanah Abang III/19, Jakarta Pusat. Di sinilah Pitut sebagai orang kepercayaan Ali "menggarap" mereka. Selain "jalan-jalan" ke pusat-pusat kegiatan umat Islam, Pitut memanggil para tokoh umat yang dinilai masih "liar" ke Tanah Abang III. "Dibina, kami arahkan ke nasionalisme," kata Sugiyanto saat ditemui pada akhir September lalu.
Kini, setelah 42 tahun berlalu, rumah dan paviliun yang disebut Sugiyanto sudah tak ada bekasnya, berganti menjadi kompleks toko dan perkantoran. "Ali ahli dalam masalah penggalangan. Salah satu kerjanya, penggalangan kelompok Islam DI/TII," kata Rahman Tolleng, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Suara Karya, koran corong Golkar yang pernah berkantor di Tanah Abang III/17, saat awal koran ini terbit pada Maret 1971.
Soemitro, mantan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang memilih pensiun dini setelah meletus Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, mengakui Ali Moertopo adalah tokoh yang berperan amat penting dalam kemenangan Golkar pada Pemilu 1971. Sukses itu, seperti ditulis Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (Pustaka Sinar Harapan, 1998), membuat pamor Ali Moertopo naik di mata Presiden Soeharto. Meski pemanfaatan orang-orang DI/TII sempat dilarang oleh Kepala Bakin Sutopo Juwono, Ali jalan terus. "Lho, saya tidak di bawah Pak Topo saja, kok. Saya juga di bawah Pak Harto langsung. Saya bertanggung jawab kepada Pak Harto," begitu kata Ali, seperti diungkapkan Soemitro.
Pemanfaatan bekas anggota DI/TII, Soemitro menambahkan, agaknya dianggap menguntungkan. Melalui pola "pancing dan jaring", mereka dikumpulkan, lalu dikorbankan dan dilumpuhkan. Melalui rekayasa, diciptakanlah kerusuhan politik sehingga mengesankan bahwa umat Islam selalu berhadapan dengan tentara, selalu memberontak supaya timbul rasa alergi terhadap Islam. Peristiwa Malari, Komando Jihad—yang antara lain membuat Danu dipenjara—kerusuhan Lapangan Banteng, dan pembajakan pesawat Woyla, kata Soemitro, pada dasarnya merupakan produk rekayasa intelijen.
Komando Jihad menyeret Danu Muhammad dan Haji Ismail Pranoto—keduanya orang terdekat Kartosoewirjo—ke pengadilan dengan dakwaan akan mendirikan NII Gaya Baru. Meski Danu membantah tudingan itu, bahkan menyebut dirinya justru sebagai pembantu Bakin di persidangan, vonis bersalah—melakukan makar terhadap negara—tetap ditimpakan kepada dirinya.
Danu Muhammad, Sang Pembantu Bakin
OPERASI Khusus membawa Aloysius Sugiyanto mengenal tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Danu Muhammad Hasan. Dengan kepiawaiannya sebagai intelijen, Sugiyanto berhasil merekrut Danu. "Tahun 1956, Danu sudah bersama saya. Dia sering kontak, meski tidak terus-terusan," ujar Sugiyanto, akhir September lalu.
Sugiyanto dekat dengan Ali Moertopo. Dia adalah asisten intelijen Markas Besar Angkatan Darat. Pada 1950, bersama pasukan tentara Indonesia, ia menghadapi pasukan Negara Islam Indonesia (NII), yang juga kerap disebut pasukan Darul Islam. Sugiyanto dan kawan-kawan menghadapi tentara Kartosoewirjo—Tentara Islam Indonesia (TII)—setelah menumpas Angkatan Perang Ratu Adil pimpinan Kapten Raymond Westerling di Bandung pada tahun yang sama.
Penanganan DI/TII di Jawa Barat inilah yang membuka jalan Sugiyanto bertemu dengan Danu. Pria kelahiran Tasikmalaya, 29 Agustus 1919, yang semula di pihak Kartosoewirjo, itu bersedia bekerja untuk tentara Indonesia. Tugasnya: memasok informasi untuk Operasi Khusus jika ada gerakan DI/TII. Pada 1962, Sugiyanto mengenalkan Danu kepada Ali Moertopo, "orang penting" di Operasi Khusus dan Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Danu tak menyangkal jika dia disebut "binaan" Bakin. Itu diakuinya saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Bandung pada Desember 1983. Ketika itu, dia menjadi terdakwa kasus subversif, dituduh berniat mendirikan NII Gaya Baru. Di depan hakim, pria yang oleh jaksa disebut sebagai Panglima Komandemen Perang Wilayah Besar Jawa-Madura itu menegaskan soal dirinya, "Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin."
Di luar sidang, Danu bercerita bahwa dia dibina Bakin sejak 1962. Ia bahkan menegaskan masih menjadi anggota Bakin. "Kalau tidak percaya, tanya ke Bakin," katanya kepada Tempo (Tempo, 24 Desember 1983).
Di Bakin, Danu dibina oleh Kolonel Pitut Soeharto. Bahkan Pitut—ia meninggal pada November 2011—menyatakan Danu mendapat gaji dari Bakin.
Hilmi Aminuddin, anak kedua Danu yang kini menjadi Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera, membantah pernyataan Pitut. Menurut Hilmi, ayahnya mendapat tunjangan dan beras dari Komando Daerah Militer Jawa Barat sebagai eks pejuang 1945. "Saya yang ambil amplop dan berasnya," kata Hilmi kepada Tempo (Tempo, 22 Agustus 2010).
Keberadaan Danu di Bakin ini pula yang disebut-sebut membuat Hilmi bisa melanjutkan pendidikan ke Fakultas Syariah Universitas Islam di Madinah, Arab Saudi. Danu sendiri yang mengakui soal ini. Dalam berkas pemeriksaan Danu sebagai saksi untuk Haji Ismail Pranoto, terdakwa NII Gaya Baru, Juli 1977, Danu menyatakan Hilmi bersekolah di Madinah dengan mendapat bantuan dari Jenderal Ali Moertopo.
Hilmi belum bisa dimintai konfirmasi perihal bantuan Ali ini. Surat permohonan wawancara dan permintaan konfirmasi yang dikirimkan ke rumahnya di Lembang, Bandung, 29 September lalu, tak berbalas. Demikian pula panggilan telepon atau pesan pendek (SMS) yang dikirim Tempo.
Akhir hidup Danu tragis. Dia dihukum sepuluh tahun penjara. Ia meninggal beberapa jam setelah menghirup udara bebas, keluar dari penjara Cirebon. "Begitu dibebaskan, 10 jam kemudian Bapak meninggal," kata Dedeh Kurniasih, anak ketiga Danu.
Perempuan 61 tahun itu tak merinci penyebab kematian ayahnya. Penyebab kematian Danu masih misterius hingga kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo